Wednesday, July 24, 2013

[Kisah Keluarga Islam] HATINYA LEBIH LUAS DARI RUMAHNYA

[Kisah Keluarga Islam] HATINYA LEBIH LUAS DARI RUMAHNYA
[Kisah Keluarga Islam] HATINYA LEBIH LUAS DARI RUMAHNYA 
Benar lah ayat-ayat  al-qur’an yang menyatakan bahwadunia ini penuh dengan permainan, begitu banyak kisah , cerita setiap individu manusia yang sudah di laluinya, ada yang pahit ada juga yang manis, ni salah satu kisah yang di alami oleh Endang di dalam keluarga yang mempunyai anak 16 orang anak, namun 16 anak tersebut tidak semuanya anak kandung Endang. Anak kandungnya hanya 4, hasil pernikahannya dengan Achmad Badawi Rifai (67). Lainnya adalah anak angkat.Sekalipun anak angkat, mereka sudah seperti anak kandung sendiri. Mereka tinggal satu rumah dengan Endang dan keluarganya di komplek Kopo permai I Blok M 8 Bandung, Jawa Barat.

Endang juga tidak pernah membedakan perlakuan antara anak kandung dengan anak asuh. Semua diperlakukan sama. Dalam hal waktu misalnya, tidak ada jatah khusus untuk anak kandung. “Dalam sehari waktu kita hanya 24 jam. Kalau harus ada waktu khusus, malah repot,” katanya. Apalagi, dia berkerja sebagai guru di SMA Negeri 4 Bandung.

Demikian juga dalam hal pakaian. Perempuan berkelahiran Madium, Jawa Timur ini tidak membeda-bedakan. Jika satu dibelikan pakaian baru, maka semuanya juga dibelikan. Syukurlah, anak-anak Endang tidak ada yang complain. Anehnya, yang protes justru teman ending. Ia dianggap telah membagi perhatian. Padahal, kata temannya anak sendirinya butuh perhatian. Endang hanya menanggapi dengan senyum.

Protes dari temannya itu kebalikan dari keadaan sebenarnya. “Anak saya  justru senang dengan kehadiran mereka. Katanya lucu, “tutur Endang. “Sepertinya di hati ayah dan ummi itu ada kamar-kamar yang banyak. Setiap anak mendapat kamar masing-masing. Begitu ada adik baru datang, langsung menempati kamar baru”. Kata syida (19)  anak kandung Endang nomor 3. Endang adalah perempuan yang punya rasa empati besar.

Jauh sebelum mengasuh anak-anak telantar, ia sudah bisa mengasuh anak dari keluarganya terdekat. Misalnya, keponakan dan anak pembantunya. Suatu kali (2001) ia mengantarkan salsabila (anak ke-4) ketukang pijat. Di tempat ini, tiba-tiba ia diserahi bayi. Tak jelas orang tuanya siapa. Karena belum dapat izin suami, bayi itu kemudian diserahkan kepada temannya. Sejak itu ia kerap dititipi bayi-bayi malang.

Seperti tiga tahun ke kemudian, ditempat yang sama, kembali Endang diserahi bayi. Kali ini bayi hasil hubungan di luar pernikahan. Suaminya member ijin untuk merawat bayi tersebut. Maka bayi itupun ia bawa pulang. Enam bulan berikutnya, datang pria menyerahkan bayinya. Ibu si bayi itu telah meninggal, sementara sang ayah tidak sanggup untuk merawatnya. Tak lama kemudian, datang lagi bayi hasi perzinaan seorang pelajar SMA.

Karena orang tua pelajar itu menganggap bayi itu aib, mereka memilih membuang bayi itu ke Endang. Pernah juga datang seorang perempuan hamil 7 bulan. Dia putus asa karena ditinggal kabur suami. Bahkan perempuan itu hendak membunuh diri. Syukurlah bisa dicegah Endang. Begitu lahir, orol itu diserahkan kepada Endang, sedangkan ibunya memilih pergi entah kemana.Ada satu hal yang membuat Endang tidak kuasa menolak bayi-bayi malang itu. Ia terngiang-ngiang pada ayat Alquran surat al-Maidah ayat 3 “ Barangsiapa memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seakan-akan ia memelihara kehidupan semua manusia”

“Ayat itu telah mendorong saya untuk mengasuh anak-anak itu”, katanya. Semua keluarga mendukung langkah Endang. Tapi ada juga orang lain yang meledeknya. “Ada yang bilang saya anggota PKK, perempuan yang kurang pekerjaan,” katanya sambil tertawa. Ada juga orang yang tidak setuju dengan tindakan Endang itu. Mereka menganggap Endang merestui tindakan para orang tua yang tidak bertanggung jawab itu.

“Tidak sama sekali, saya kerap menghimbau para orang tua untuk bertanggung jawab dan menjauhi perbuatan keji dan mungkar (zina). Tetapi bayi-bayi itukan tidak bedosa dan harus diselamatkan dan ikhtiar yang saya mampu,” paparnya. Untuk mengurus bayi-bayi tersebut, Endang tidak memungut biaya sepersen pun. Justru dia menanggung seluruh kebutuhan biaya bayi-bayi itu.

Uniknya, Endang tak pernah minta bantuan atau mengirim proposal, baik kepada perorangan atau lembaga. Menurutnya, mengasuh anak yatim dan terlantar adalah bagian dari menolong agama Allah dan Allah pasti menolong hamba-Nya. “Jika merasa tidak berkecukupan, maka Allah Maha Mencukupi”, katanya dengan penuh keyakinan. “Soal rezeki, yakinlah Allah pasti akan mencukupi, jangan su’uzhan pada Allah, Dia maha kaya”.

Katanya lagi sambil menyitir surat al-Baqarah  ayat 255: “……Allah tidak tidur, juga tidak mengantuk untuk mengurus hamba-Nya”. “Masak manusia diurus masih juga tidak mempercayai-Nya,” kata Endang sambil tersenyum. Endang kerap mendapat rezeki tak terduga. Pernah suatu pagi berasnya habis, namun ketika hendak membeli, sebelum melangkah ke took, di teras rumahnya sudah ada tiga karung beras. Begitupun saat anak asuhnya ingin pisang dan Endang belum sempat membelikannya.

Saat suami dan anak asuhnya pulang dari shalat subuh di mesjid, dip agar rumahnya sudah bergantungan pisang. “Saya tidak tahu dari siapa, tapi saya yakin itu dari Allah lewat tangan-tangan hamba-Nya yang saleh,” ujar ending. Sebenarnya, Endang sudah mengantongi legalitas sebuah yayasan yang bernama yayasan Darul Hanin. Namun, papan nama yayasan tersebut tidak pernah dipasang.

Alasannya, dia tidak tega anak-anak disebut anak panti. “saya hanya khawatir mereka tidak percaya diri dan hubungan psikologis diantara kami menjadi terganggu.” Jelasnya. Endang ingin mencontoh pola anak asuh di zaman rasulullah maupun sahabat. Di zaman Rasulullah katanya, anak yatim yang ayahnya menjadi syuhada ataupun anak dhuafa,  mereka dititipkan kepada para keluarga sahabat dan diasuh dalam satu rumah.

Dirnya bukan tidak bermaksud tak menghargai kaum muslimin yang mendirikan yayasan ataupun panti asuhan. “Saya tetap menghargai dan menghormati mereka. Saya hanya mencoba mencontoh apa yang telah dilakukan Rasulullah dulu, sesuai dengan yang saya mampu. Itu yang kami pahami,” tuturnya. Dengan mengandalkan gaji dari mengajar dan pensiun serta hasil dari usaha rumah makan suaminya, Alhamdulillah, sampai saat ini aktivitasnya tetap berjalan lancar.

Namun dengan kerendahan hati, dirinya menampik bahwa yang membiayai semua anak asuhnya adalah uangnya sendiri, “Bukan saya sendiri yang membiayai, sahabat-sahabat saya, jamaah, sangat mempunyai kontribusi,” kata Endang yang juga seorang ustazah ini. Iapun mengajak kaum muslimin untuk menjadi orang tua asuh sesuai dengan kemampuan. Menurutnya, untuk menjadi orang tua  asuh, seseorang tidak harus kaya dengan harta melimpah. Anak asuh pun tidak harus banyak. Endang juga meyakini bahwa mempunyai anak asuh tidak mengurangi rizki kita, “Justru insyaallah akan bertambah dan berkah. Bahwa setiap mahluk, Allah sudah memenuhi dan mencukupi rezekinya,” katanya.