SUNAN GRESIK |
1. Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa
Tanggulangin. Dari ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai
meneriakkan kata-kata kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan
tinggi. Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar rumah,
langsung berteriak ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing ketika
melihat gerombolan orang berkuda itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus memacu kudanya
hingga ketengah-tengah perkampungan penduduk. Dua orang berada di barisan
terdepan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang
dibelakangnya berhenti. Agaknya dua orang yang berada paling depan itu adalah
pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda
tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu dikenakan enaknya saja tanpa
mengindahkan aturan satuan pasukan.
Yang seorang lagi bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih
bersih dan rapi. Hanya saja pakaian yang dikenakannya adalah pakaian biasa
pakaian para petani perdesaan. Delapan belas orang di belakang lebih parah
lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit kerajaan, tapi cara berpakaian
mereka sudah tidak keruan. “Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar
dan berewokan dengan kerasnya.” Aku Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian
menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran rumah masing-masing.
Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis rumah
kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat.
Tak seorangpun berani menampakkan diri. Wajah si penunggang kuda berpakaian
petani nampak murung mendengar ucapan orang yang menyebut dirinya Julung Pujud
itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai kapan ini akan
berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?” “Tidak
apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan. “Jangan macam-macam,”
tukas Julung Pujud.” Kita harus melakukannya.
Terus melakukannya hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat
kita gunakan untuk bersenang-senang hingga tujuh turunan .” Orang yang disebut
Tekuk Panjalin hanya berdiam diri. Beberapa saat kemudian, karena tak ada
jawaban dari penduduk setempat. Wajah Julung Pujud nampak merah padam. “Kurang
ajar !” Bentaknya marah.” Di desa manapun orang akan membungkuk-bungkuk dan
menyembah kakiku jika mendengar namaku disebut.
Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak memandangku sebelah mata. Baik !
Kalian memang perlu diberi pelajaran!” Ia menoleh kepada anak buah yang berada
di belakangnya. “Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”
Beberapa orang segera turun dari kuda untuk menyalakan obor yang sudah mereka
siapkan. Lalu naik lagi ke atas kuda beberapa rekannya yang lain tinggal
menyahutkan api pada obor itu.
Dalam tempo singkat tiga belas orang itu sudah memegang obor menyala di
tangan kanan. Sementara tangan kirinya tetap memegang kendali kuda. Kini mereka
mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding
rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang. Sepasang mata
Julung Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh.
Sebuah rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng. Nampaknya baru
saja didirikan di sebelah barat pusat perkampungan. Sepasang matanya yang tajam
dapat melihat sekelompok orang sedang duduk bersila dengan mulut komat kamit.
Julung Pujud segera mendekati bangunan baru itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan.
Tapi makin dekat hatinya makin yakin jika bangunan itu bukan tempat
beribadahnya orang-orang beragama Hindu maupun Budha.
Tepat pada saat itu orang yang duduk di bagian paling depan mengorak sila,
berdiri dan mengajak orang-orang yang berada di belakangnya untuk keluar
menemui Julung Pujud. “Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan bersembunyi di tempat
ini. Apa yang kalian rundingkan. Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan
suara mengejek. Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun maju menghampiri
Julung Pujud yang masih duduk di atas kudanya.
Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih
hingga sebagian rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap.” Sudah lama kudengar
nama dan sepak terjangmu ! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat
bertemu denganmu. Mana anak buahmu ?” Julung Pujud mendelik. Hampir saja
sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada seorang
penduduk berani berkata seperti kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan
menyembah-nyembah. “Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali
mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan
para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini ?” Pemuda itu malah menatap lekat
kearah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk
Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang. Tak ada rasa
takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan.
Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita
yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya
bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan
itu. Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam diri namun
sepasang matanya menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor
macan atau sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya Cuma mengonggong
!” “Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi. “Baik, panggil anak
buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk anjing
muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari melompat
dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya yang
sudah bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk. Cepat berkumpul. Buang
obor kalian ! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin
begitu melihat anak buahnya. Maka delapan belas orang berkuda itu segera
mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud
sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud.” Sebelum nyawamu lepas dari badan.
Katakan siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang
anak muda berani coba-coba melawanku, dan akhirnya bernasib sial !” “Namaku
Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan
kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat
!”
“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung Pujud” Pantas wajah dan kulitmu
putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat !” Tepat pada saat
itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya. “Hem,” ujar
Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ? Apakah kaupun
hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong ?” Julung Pujud
melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol.
“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu !”
ujarnya pedas. “Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar
anak muda itu ?” tukas Tekuk Penjalin. Sementara itu pemuda bernama Gafur
segera melipat lengan bajunya yang panjang. Agaknya pertarungan antaranya
dengan Julung Pujud tak bias dihindarkan lagi. ‘sebenarnya aku paling benci
menggunakan kekerasan.
Tapi kepala kalian memang kepala batu yang patut dipukul dengan tangan besi
!” ujar Gafur. “Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi karena malu terus diejek Tekuk
Penjalin, lelaki berewokan itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya
membentuk cakar rajawali di arahkan ke wajah Gafur yang putih bersih. Semua
orang, terutama para pendududk desa yang berdiri di belakang Gafur berteriak
kaget. Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja, Seolah membiarkan
Julung Pujud menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.
“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak serangan tinggal sekilan
(kurang lebih 10 cm) Gafur menangkis tangan yang hendak mencengkeram wajahnya
bahkan langsung balik mengirim serangan dengan menendang dada Julung Pujud.
Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan tubuh terdorong ke belakang beberapa
langkah. Dadanya terasa bagai di hantam palu godam puluhan kilo.
Benar-benar kecele. Sudah diperhitungkan, melihat keberanian si pemuda
tentulah Gafur itu mempunyai sedikit kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya
jika kepandaian ilmu silat si pemuda demikian tingginya sehingga sekali gebrak
dia dibikin mundur sempoyongan dengan dada ampek. Tadinya ia berharap akan
meringkus pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya dia langsung
mengerahkan jurus Rajawali Sakti tingkat ke delapan belas.
Dia ingin mencengkeram dan langsung memutar leher Gafur, sekali pelintir
putuslah nyawa pemuda itu. Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik. Justru dia
yang terkena tendangan telak. Kini dengan wajah merah padam Julung Pujud
langsung mencabut golok di pinggangnya. Dan dengan teriakan mengguntur dia
merangsak lagi ke depan. Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur.
Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari. Semua serangan
Julung Pujud hanya mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera membasahi
wajahnya. Ia merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.
Dia adalah seorang pendekar kawakan. Belum pernah dia melihat kecepatan gerak
seorang pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan cara-cara Gafur mengelak
dan balas menyerang.
Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang dimiliki
pemuda itu. “Lembu Sekilan ?” teriaknya agak ragu. Julung Pujud yang mendengar
teriakan Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan adalah ilmu tingkat
tinggi. Tak sembarang orang mampu mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia
semuda itu sudah menguasainya dengan baik. Sehingga setiap serangan yang
dilancarkan tidak akan pernah menyentuhnya. Selalu berjarak kurang dari sekilan
dari sasaran.
Tiga puluh jurus telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia
lebih sering mengelak atau menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan
tenaga biasa. Sementara Julung Pujud sangat bernafsu merobohkan atau membunuh
pemuda itu dengan seluruh kemampuan yang ada. Ia telah mengerahkan semua
ilmunya. Baik ilmu yang dipelajarinya dari satuan pasukan elite Majapahit
maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji yang penuh gerak tipuan.
Semua itu ternyata tak mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh Gafur.
“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk Penjalin angkat bicara. “Kalau mau
sebenarnya sudah mampu mencabut nyawamu sejak tadi !” Julung Pujud makin panas
mendengar ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu jadi saingannya
dalam segala hal. Ilmu mereka berimbang tapi Tekuk Penjalin nampak lebih tenang
dan penuh perhitungan.
Tak gampang terbawa arus nafsu amarah yang merusak segala pertimbangan akal
sehat. Kini Julung Pujud menyerang Gafur dengan membabi buta. Hingga suatu
ketika Gafur merasa sudah saatnya memberikan pelajaran kepada pemimpin
gerombolan perampok itu. “Trang ! Desss ! Desss !” Saat itu Julung Pujud
membacokan goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur menangkis dengan tangan
kirinya. Semua orang terkejut.
Mengira tangan Gafur yang bakal putus dibabat golok itu. Ternyata justru
golok itulah yang patah menjadi dua. Dan sebelum hilang rasa terkejutnya,
Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena tendangan teramat keras dari sepasang
kaki Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh Julung Pujud terjungkal ke
belakang dengan terjembab ke tanah dengan keras sekali. Mulutnya mengeluarkan
darah segar.
Nafasnya terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya memandanginya dengan
bengong, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Goblok !” umpatnya dengan nafas
tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu bangsat itu ! Bunuh dia !”
Delapan belas prajurit itu langsung turun dari kudanya masing-masing. Dengan
menghunus golok di tangan mereka menyerbu ke arah Gafur.
Namun puluhan penduduk yang tadinya hanya berdiri di belakang Gafur segera
mengambil senjata seadanya. Dan mereka segera menyerbu ke arah kawanan perampok
yang hendak mengeroyok Gafur. Ternyata ada beberapa pemuda desa yang telah
mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup membuat kawanan rampok itu repot
meladeni serangannya. Belum lagi puluhan penduduk yang menyerang dengan nekad
dengan senjata parang, golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk padi, lemparan
batu dan sebagainya.
Selama menjarah desa puluhan kali belum pernah kawanan rampok itu mendapat
perlawanan sesengit ini. Biasanya para penduduk desa sudah mengkeret begitu
mendengar gertakan mereka. Tak ada yang berani melawan. Apa yang dikatakan
Tekuk Penjalin bahwa mereka sedang bertemu dengan macan rupanya benar-benar
menjadi kenyataan. Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah
menjadi sekawanan harimau terluka.
Siap menerkam siapa saja yang coba-coba mengusik ketenangannya. Julung
Pujud melangkah tertatih-tatih ketepian. Menjauhi pertempuran. Mendekati
kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas anak
buahnya bertarung sengit dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung
meloncat ke depan Gafur. “Senang sekali bertemu denganmu anak muda.”
Katanya dengan wajah berseri-seri. “Sudah lama sekali aku tak bertemu
lawan tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.” Habis berkata demikian dia
langsung melancarkan serangan dari jarak jauh. Serangkum hawa panas meluncur ke
dada Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin sebelum tenaga dalam
yang dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca beberapa
ayat Al-Qurán.
Kedua telapak tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk menangkis. “Wesssss !
Hiaaaaat ! Tap !” Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah menduga serangannya
bakal membalik. Maka dia meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga. Dan
hinggap disalah satu dahannya. Gafur memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke
arah penduduk desa yang sedang bertempur melawan kawanan perampok.
Ia mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok itu
bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya, bahkan ada lima orang
penduduk yang sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat golok. “Aku
tak bisa membiarkan ini terjadi.” Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk
Penjalin yang masih tertengger diatas dahan pohon mangga. Tampa diduga
tiba-tiba Tekuk Penjalin menyambitkan sebuah daun ke arahnya.
Gafur berjumpalitan di udara beberapa kali untuk menghindari daun mangga
yang meluncur bagai sebatang anak panah. “Tasss ! Jreppp !” Gafur berhasil
menghindari sembitan daun mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti. Daun itu
mengenai batang pohon pisang di sebelahnya, tembus dan meluncur lagi ke arah
batang pohon kelapa. Amblas dan menancap do batang pohon kelapa itu. Gafur
bergidik ngeri.
Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya ? Nalurinya berkata lawannya
kali ini bukan sembarang orang. Melainkan lawan tangguh yang mempunyai ilmu sangat
tinggi. Ia sudah berhasil hinggap di salah satu dahan pohon mangga, tepat
diseberang Tekuk penjalin. “Ki Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar perkasa,
“Tegur Gafur dengan sopan sekali. “Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon
seperti tupai ?
Mari kita tuntaskan pertarungan ini di atas tanah.” “Kau takut bertempur di
atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin. “Andika salah sangka. Saya hanya tidak mau
merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang benar. Kasihan penduduk desa yang
telah menanamnya dengan susah payah selama puluhan tahun” ujar Gafur dengan
suara datar. Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon mangga. Pemuda itu
demikian menghargainya.
Ia merasa malu karena selama bertahun - tahun membunuh dan memperlakukan
manusia bagaikan barang yang tidak berharga. “Baiklah, kuturuti apa maumu !”
kata Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan tubuhnya hinggap di
atas tanah. Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk
Penjalin tercekat. Cepat bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning
jatuh ke tanah. “Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.
Gafur memang bermaksud segera menyudahi pertempuran itu. Ia merasa kasihan
pada para penduduk desa yang terus menerus berjatuhan karena kalah pengalaman
dibanding kawanan perampok yang asalnya memang dari pasukan tempur kerajaan
Majapahit. Tampa basa basi lagi Gafur mengerahkan ilmunya. Ilmu silat yang
berasal dari Perguruan Al-Karomah. Tekuk Penjalin langsung roboh terjungkal ke
tanah.
Nafasnya terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian
tubuhnya nampak matang biru. Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang sudah
naik ke atas punggung kuda menjadi kecut hatinya. Ia menggiring kudanya secara
diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya Julung Pujud bersiap-siap
hendak melarikan diri jika ternyata pihaknya menderita kekalahan.
“Ilmu setan !” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata penasaran. “Andika
keliru !” sahut Gafur sembari melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar
tanpa dapat bangun lagi.” Kami bahkan sangat membenci ilmu setan. Ilmu yang
barusan kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat Karomah.” “Kau berasal dari
perguruan mana ?” Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah penduduk yang masih
terus bertempur dengan kawanan perampok. Kemudian berpaling dan mendekati ke
arah Tekuk Penjalin.
“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur dengan
pandang mata mencorong. Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi gelisah. Ia
melangkah makin dekat. Sepasang kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin
yang terkapar. “Jika kau tak mau perintahkan anak buahmu menyerah, maka sekali
kuinjakkan kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !” ancamnya tanpa
main-main.
Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara. Sepasang matanya memandang Gafur
dengan penuh penasaran. Rasanya dia masih belum percaya jika telah dirobohkan
pemuda itu hanya dalam tiga kali gebrakan. Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan
telah membuka pandangan hidup bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada orang
sakti selain dirinya. “Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk menyerah !
“ Ancam Gafur dengan hati galau. Kini ia mengangkat tangannya
tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke dada Tekuk Penjalin. Tekuk Penjalin sendiri
masih bungkam. Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara. Ingin bertemu
dengan tokoh silat tingkat tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak
muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung malu, lebih baik aku mati
ditangannya.”
Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk Penjalin menggerakkan mulutnya.
Bukan untuk memberi perintah agar anak buahnya menyerah. Melainkan justru
meludahi wajah Gafur yang hendak menginjak dadanya. “Juhhhhh !” Gafur tak
sempat mengelak. Ludah itu menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih
bersih berubah jadi merah padam pertanda marah. Sepasang tangannya terkepal
erat.
Kaki kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak tentu ambrol dada
Tekuk Penjalin. Melihat wajah Gafur yang merah membara itu tergetarlah hati
Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia tidak rela mati begitu saja. Kini
lenyaplah kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan ciut. Wajahnya seketika
berubah jadi pucat pasi. “Kali ini tamatlah riwayatku” Desis Tekuk Penjalin
melihat kaki kanan Gafur diangkat tinggi-tinggi.
Siap menggempur dadanya. Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur mengrungkan
niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin dengan kakinya. Dia menarik kaki
kanannya dan berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia menyebut ,
“Astaghfirullah ..” Wajahnya yang tadi merah pedam karena dialiri darah amarah
yang menggelegak mendadak berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia
membersihkan ludah Tekuk Penjalin yang menempel di wajahnya.
“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin
keheranan. “Karena tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar. “Aku
tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk dosa !” “Kenapa
berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok
jahat yang pantas di bunuh ?” “tadi .......... “kata Gafur.” Sebelum kau
meludahiku dan sebelum aku marah.
Aku boleh membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah untuk jihad fi
sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka hatiku jadi
marah. Yang marah adalah aku pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung.
Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan antara kepentingan pribadi dengan
niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah menyeleweng dari
jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa besar jika membunuhmu atas dasar
kebencian pribadi.
Bukan atas dasar perang di jalan Allah, yang sesuai dengan ajaran agamaku
!” Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak. “Betapa luhur ajaran agamamu,
apakah nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk Penjalin. “Islam !” jawab
Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat
hidupnya di dunia dan akhirat.” “Aku adalah bekas perwira Majapahit yang
membelot dan menjadi pemimpin rampok. Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah
Tuhanmu masih mau mengampuniku ?” tanya Tekuk Penjalin. “Kenapa tidak ?” Sahut
Gafur. “Misalkan dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi. Namun kalau
kau masuk agama Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh.
Artinya kita tidak akan mengulangi perbuatanmu yang jahat, menggantinya
dengan perbuatan baik, maka Tuhan akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu
akan dihapus semua.” “Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu. “Aku bicara
apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur. Tiba-tiba Tekuk Penjalin
berusaha bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka ia segera
roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya.
Sementara itu, pertempuran antara penduduk desa dengan kawanan perampok
masih berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang membahana. “Berhenti
! Hentikan pertempuran !” Semua orang terkejut dan segera menghentikan
pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak
di samping Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali
segar bugar seperti semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak mau lagi
hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam menjadi
pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak !” Semua orang terkejut mendengar
perkataan itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun para perampok itu
sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan petir
menyambar di telinganya.
Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah menyeberang ke
pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh anak
buahnya. “Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan risiko
diburu petugas pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup
baik-baik, bertobat dan membaur dengan masyarakat !” Delapan belas perampok itu
sekarang tinggal lima belas.
Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa. Delapan orang langsung
membuang senjatanya ditanah begitu mendengar seruan Tekuk Penjalin. Tujuh
lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud.
“Ki Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh
jalan kami sendiri !” “Terserah kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi jangan
coba-coba mengganggu desa ini lagi.
Bila itu kalian lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi kalian !” “Ha
ha ha ha !” Julung Pujud tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita
tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi banci !” Julung Pujud mendahului
memacu kudanya keluar desa. Diikuti tujuh orang anak buahnya yang tidak mau
menerima fitrah kebenaran abadi. Beberapa penduduk desa yang masih merasa geram
dan dendam segera menendang dan memukuli delapan perampok yang telah menyerah,
duduk bersimpuh di atas tanah tanpa mengadakan perlawanan sama sekali.
Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas
menyerang orang yang sudah menyerahkan diri !” “Mereka sudah membujuk
teman-teman kami !” protes penduduk. “Serahkan mereka padaku. Aku akan
mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara berwibawa. Kemudian ia memberi isyarat
kepada seluruh penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk Penjalin dan anak buahnya
duduk bersimpul di belakang Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang segera
berkumpul di hadapan Gafur.
“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur membuka suara.” Muslim yang kuat
lebih disukai Allah. Dengan adanya kekuatan kita dapat mempertahankan diri dari
pemaksaan kehendak orang lain, itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari
ilmu pencak silat di samping belajar ilmu agama !” Demikianlah, secara panjang
lebar Gafur memberikan bimbingan kepada penduduk setempat untuk mengenal dan
memperdalam agama Islam.
Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan dibuktikan dengan perbuatan
nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal yang ditugaskan membina desa-desa
tertinggal, dan masyarakat yang belum mengenal Islam. Dia membantu para
penduduk untuk meningkatkan taraf kehidupannya dengan cara membimbing mereka
bertanam padi dengan cara yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang
dipelajari dari gurunya ia juga telah banyak menolong para penduduk yang
menderita sakit. Penduduk setempat akhirnya menaruh simpati.
Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan mengenalkan keindahan dan
keluhuran agama Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin dan anak buahnya dibina di
desa itu. Akhirnya mereka menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung desa
dari rongrongan para perampok. Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur yang
oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria Mega Pethak atau Satria Awan putih.
Seputih hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh perjalanan hidupnya.
Gafur sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran
agama. Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada henti-hentinya menegakkan kebenaran
yang dinodai sekelompok orang tak bertanggung jawab. Gafur hanyalah salah satu
di antara sekian banyak murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi atau
Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu. “Ya, siapakah sebenarnya Guru
saudara Gafur yang disebut Kakek Bantal itu ?” tanya Tekuk Penjalin pada suatu
hari. Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama besar
dari Negeri Seberang.
Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut
demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga boleh
dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang
mengatakan Bantal adalah bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu
tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan semua orang yang mendengarkannya
sehingga hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat mereka tidur nyenyak
diatas bantal empuk.”
2. Menanti Tetes Air
Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan
Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu
pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara
terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih
merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Wibawanya masih terasa kuat di dunia
luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos.
Perang saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi
korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para
pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke
tangan raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan,
perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang
melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah
harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata. Karena tak ada jaminan stabilitas
keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian
mereka.
Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Ditambah adanya musim
kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin menggenaskan. Di
saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan
peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib
penduduk setempat. Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai
di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup.
Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di
tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun.
Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda
itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling
memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Setiap pukulan nampaknya
disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang
biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah. Terus menerus kedua
pemuda itu saling menghantamkan rotan ditangannya.
Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa
lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada
akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan. Irama gending
segera berhenti. Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua
adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar
arena.
Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal
kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar. “Bawa kemari anak perawan
itu !” Teriak sang pendeta. Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke
tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu
altar persembahan. “Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu
ketakutan.
Dia berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki
bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa. Si gadis yang sudah
diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki
memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta
ketakutan. Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati kerumunan
orang itu.
Kini sang pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke
atas langit. “Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau
panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian
teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua segera mendekati si gadis dengan senyum
menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu mencabut belati dari balik
pinggangnya. Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa
Hujan.
Sederas darah yang keluar dari jantungmu sederas itu pula hujan yang akan
diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu tidak akan dilupakan oleh seluruh
penduduk desa ini !” “Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak mau ...... !” rintih
si gadis cantik dengan tubuh gemetar ketakutan. “Diam !” bentak lelaki berwajah
seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret, pucat
pasi. “Ayo kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang memegangi
sepasang tangan dan kaki si gadis makin mempererat cekalannya.
Sang pendeta mendekati altar persembahan. Ia mengangkat belati itu di atas
dada si gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak menikam jantung si
gadis cantik dengan belati itu. “Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut
namun jelas terdengar oleh semua orang. Kakek Bantal dan kelima orang muridnya
menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri si pendeta yang memegang
belati, siap dihujamkan ke jantung si gadis.
“Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal. Kami mengharap
turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak suka
atas kedatangan Kakek Bantal itu. “Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap
hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis cantik ?” “Ya, hanya dengan
mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air.” Sahut
sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi.
Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang
lain. Maka ia segera memberi isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang
bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal. Dua orang bertubuh kekar segera
menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek Bantal. Tanpa basa-basi
mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala Kakek Bantal.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya
terhenti. Mereka berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat
tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak menyaksikan hal itu. Namun ia tak mau
rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke jantung si
gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk
meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Kau ? Kau ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.”
Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?” Kakek Bantal dan kelima muridnya
maju ke tengah arena. “Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan
gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Sudah dua kali
!” jawab pendeta dengan sengit. “Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi
sudah dua jiwa melayang sia-sia !”
“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua. “Apakah dengan
mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek
Bantal. Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa
dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum “. Wajah sang pendeta
nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan lantang ia
berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa
Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali.
Barulah sesudah itu hujan akan diturunkan !” Bagaimana jika pengorbanan
dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya Kakek Bantal.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar
dibelakangnya untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau.
Dua lelaki itu, yang agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak
maju. Mereka bermaksud menghajar Kakek Bantal hingga babak belur.
Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tiba-tiba terasa kejang tanpa ada
sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya. “Kau bermaksud
menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja mengganggu
upacara kami !” “Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan
kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.” “Puih !” pendeta tua
meludah sambil bertolak pinggang.”
Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini ?” “Apa yang kalian
inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya. “Hujan ! Kami minta hujan !”
jawab para penduduk desa serentak. “Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal. Huh !”
Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu !
Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami
tak segan-segan akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”
“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal
dengan tenang.
“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala
kepadanya ?” “Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta
segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal. Sudah
! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!”
bentak pendeta tua. “Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan
hujan aras ijin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek
Bantal. “Untuk apa ?” tukas pendeta tua
.” Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah
pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !” Kakek Bantal
menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami
dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?” “Mauuuuu …… !” jawab
orang-orang desa dengan serentak. “Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.”
Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang
tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan,
melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan
kepada Dewa Hujan !” Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek
Bantal. Sementara Kakek Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam
keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan
berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh
mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang
kering kerontang. Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai
kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan
dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya. “Sihir ! Pasti kalian
mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya
khayalan saja !” Kakek Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata,
“Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam.
Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah
nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi !” Agaknya pendeta tua
itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat
anak buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera
mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu. Ketika hujan sudah reda,
orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Kakek Bantal dan kelima muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hampir
saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek Bantal. “kalian tidak boleh bersujud
kepada sesama manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah dalam
sujud.” Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal, semua orang segera bangkit untuk
bersila, salah seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami
sangat berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan
hujan yang telah lama kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata
cara meminta hujan seperti tadi ?” Ya !” sahut penduduk lainnya.
“Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia !”
Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati
kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam
kepada mereka. “Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata
Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama
Islam.
Maukah kalian ?” “Mauuuuuu ! jawab para penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari Kakek Bantal tinggal di desa itu. Membimbing
para penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat
pemahaman mereka selaku orang awam. Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan
perjalanan pulang ke Gresik. Ia telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli
dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing penduduk desa itu.
Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk desa itu. Pada setiap desa
yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu
untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan
untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.
3. Siapa Kakek Bantal?
Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada
masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu
bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun
yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.
Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman dari kerajaan Sriwijaya
di Sumatra telah masuk Islam. Kemudian pada abad pertama Hijriyyah, menurut
K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau Jawa sudah ada seorang raja yang masuk agama
Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen disebut Ratu Simon. Dalam dokumen itu
disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa kerajaan Kalingga di Jepara Jawa
Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur, tetapi sekarang kota Jepara adalah
daerah Jawa Tengah).
Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik,
yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah
berkorespondensi dengan Maharaja Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut.
Kumpulan dari surat-surat itu masih tersimpan baik di Musium Granada Spanyol
sampai sekarang. Jadi, sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di Pulau Jawa
yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang
secara besar-besaran.
Kakek Bantal diperkirakan datang ke Gresik tahun 1404 M. Beliau berdakwah
di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419. Pada masa itu kerajaan
yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan
masih beragama Hindu atau Budha. Sebagaian rakyat Gresik sudah ada yang
beragama Islam tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak
beragama sama sekali. Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang
bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu : “Hendaknya
engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan
petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka berdialoq (bertukar pikiran)
dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki. Dan pernah mengembara
di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di
Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduknya
beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat
Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun
mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan imam dari
orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik.
Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu
melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan
ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Dari huruf-huruf
Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik
Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para
pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan
betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas
melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu nisannya terdiri dari : Surat
Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya : “Allah, tidak ada Tuhan malainkan
Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada
yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui
apa-apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi
(ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya. Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.”
Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya : “Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka
sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan.”
Surat Ar-Rahman ayat 25, 27, terjemahannya : “Semua yang di bumi
akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.” Surat At-Taubah ayat 21, 22, terjemahannya : “Tuhan
mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan
dan surga. Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”
Selanjutnya tertulis data siapa yang dimakamkan di kuburan itu. “Inilah
makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran,
sendiri Sultan dan para Menteri, penolong para fakir dan miskin, yang
berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim
yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan Rahmat-Nya dan
keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari senin 12
Rabiul Awwal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan.
Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam.
Dan orang-orang sakit banyak yang di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik
sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh
masyarakat yang disegani dan dihormati.
Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat
sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan
menjadi pengikut beliau yang setia. Sebagai misal, bila beliau menghadapi
rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan
Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah
agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu
mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah
SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal,
terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi
masyarakat menjadi empat kasta; kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari
keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah dan sering
ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana
Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seorang di dalam Islam, orang-orang Sudra
dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa
dalam agama Islam semua manusia sama sederajat.
Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak
dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia
di antara mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya. Taqwa itu letaknya di
hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha
sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangannya.
Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di
akhirat kelak, orang yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta Sudra bisa jadi
lebih mulia dari pada mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana. Mendengar
keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega,
mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga
wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk
beribadah bersama-sama dan mengaji.
Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari
Raja Carmain. Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat
meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa yang seluruh
Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan
Islam. Tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.
Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh
kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan pendeta Brahmana yang mendidik
cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka. Inilah salah satu
strategi para wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan
mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan
beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik
kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring ummat.
Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian
muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara. Tradisi Pesantren
tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang. Dimana para ulama menggodok
calon Mubaligh di pesantren yang diasuhnya. Bila orang bertanya sesuatu masalah
agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan
di jawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang
menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, ummat harus dibuat
gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles;
pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya : “Apakah yang dinamakan
Allah itu ?” Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi
pahala sorga hambaNya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba
yang membangkang kepadaNya.” Jawabnya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah
adalah Zat yang diperlukan adaNya.”
Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau
tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam,
melainkan juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik
menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari
gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk.
Dengan adanya sistim pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur
dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat
mengerjakan ibadah dengan tenang. Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak
ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar
diajak beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran
menjurus pada kekafiran.
Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan
dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru. Seorang imam surau,
musholla atau masjid adalah pemimpin jamaahnya. Pada saat imam mengucapkan,
“Iya kana’budu waiyya kanasta’in, “KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami
mohon pertolongan. Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah sang imam atau
pemimpin tadi menjamin bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi, menyembah
dan mohon pertolongan hanya kepada Allah ? Bagaimana jika shalat makmumnya
tidak khusyu’? sebabnya tidak khusyu’ karena masalah ekonomi.
Apakah imam yang menjadi wakil makmum menghadapkan diri kepada Tuhan itu
bersiap masa bodoh dan tidak menghiraukan masalah ekonomi makmumnya. Sehingga
setiap kali memimpin shalat sang imam terus saja berbohong kepada Tuhannya
bahwa dia menyatakan siap mengabdi, menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi
makmum atau orang yang dipimpinnya ternyata belum siap dikarenakan masalah
duniawi. Itulah sebabnya para Wali tidak hanya membimbing agama kepada ummatnya
melainkan juga berusaha meningkatkan taraf kehidupan ummatnya.
4. Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil
mengislamkan sebagaian besar rakyat Gresik adalah bagian dari wilayah
Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya
penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul
ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk menghindari hal itu maka Syekh
Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk
agama Islam.
Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja
Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak
Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 M. Raja Cermain datang ke
Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama
Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan
kepada para putri istana Majapahit mengenal agama Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu
menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya
bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia
bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri.
Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan
kepentingan duniawi. Beragam seperti itu hanya hanya akan merusak keagungan
agama Islam. Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik.
Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal
untuk berlayar pulang. Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu
banyak anggota rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit.
Banyak diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari. Kabar kematiannya Dewi
Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa
jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa
kerajaan ke desa Leran.
Brawijaya sang raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa
kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara
kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan. Setelah rombongan dari
negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan
seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri
dibawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang
beragama Islam itu tidak memberontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim denga suka rela.
Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir
zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau hidup bersampingan dengan aman
dalam satu negara. Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim,
seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Wali Sanga. Beliau wafat di Gresik
pada tahun 882 H atau 1419M.