Wednesday, July 31, 2013

SUNAN BONANG [WALI SONGO DAN KISAH KISAH TELADAN]


CERITA TELADAN
[WALI SONGO DAN KISAH KISAH TELADAN] SUNAN BONANG
Begitu banyak refrensi yang mengungkapkan nama asli Sunan Bonang, yaitu Sekh Maulana Makdum Ibrahim, beliau merupakan putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang terkenal dengan Nyai Ageng Manila, banyak juga yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo. Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. 
 
Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin. Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. 

Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. 

Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di Tuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat. 

Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya. Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. 

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka. Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Diantara tembang yang terkenal ialah :  “Tamba ati iku sak warnane, Maca Qur’an angen-angen sak maknane, Kaping pindho shalat sunah lakonona, Kaping telu wong kang saleh kancanana, Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe, Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe, Sopo wongĂ© bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
 
Artinya : Obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya. Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya, Kedua mengerjakan shalat malam (sunnah Tahajjud), Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh (berilmu), Keempat harus sering berprihatin (berpuasa), Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam, Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan. 

Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. 

Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di PerpustakaanUniversitas Leiden, Belanda. (Nederland) Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.

Dibawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul. Suluk Wragul Dhandhhanggula :

Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga. Belum ketemu hakikatnya. Ada atau tidakkah ia.  Sebenarnya aku ini siapa. Impian beraneka ragam. Kalau dipikirkan Akhirnya menyedihkan Yang mustahil banyak sekali. Segala wujud di semesta ini. Tak putus-putus sama sekali 

Wragul 2
Maka dengarlah perlambang ini. Ada kera hitam sedang berdiri. Di tepi sungai.  Tertawa keras tak kepalang. Kepada berang-berang yang mencari makan. Siang dan malam. Terus tanpa kesudahan .Tak ingat bahwa ia diciptakan. Tuhan Yang diingat hanya makanan.  Tanpa memperdulikan. Bahaya mengncam

Wragul 3 Dilalapnya apa saja ia dapatkan Tidaklah ia memperhatikan Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan Mustahil ia tak sanggup memberi makan Dari kehidupan hingga kematian Apapun saja yang dikodratkan Telah disesuaikan Ulat dalam batu pun diberi santunan Maka jangan hanya suntuk mencari makan 

Wragul 4 Akibatnya terlupa bahwa ia ciptaan Allah Berang-berang berkata dengan ramah Duh kera hitam, sungguh engkau kejam Kau paksa aku mengikutimu Yang kata orang tanpa dipikirkan Ya, aku terpaksa Mencari makan, tapi tidaklah Dengan susah payah Sekedar semampu diriku ini Aku tak mencari-cari

Wragul 5 Hak orang lain tak kurebut Tak kuperhatikan bencana dan kutuk Tak kulihat yang hidup Demikian pulalah halnya burung elang Mengikuti tenggiling untuk cari makan Susah untuk memberi peringatan Jika engkau merasa Sebagai makhluk Tuhan adanya Janganlah hati mendua Tak usah campuri urusan orang lain Karena semua punya kadar masing-masing 

Wragul 6 Sudah diberi hak hidup sendiri-sendiri Seperti juga berbagai tetumbuhan ini Atau yang memakan dedaunan Mengikuti takdir Tuhan Siapa akan mengikuti kata-katamu Siapa menuruti ajakanmu Sedangkan di hutan tempatmu Sang kera hitam menjawab Tidaklah akan kuubah Makananmu, hanya ingatlah Kepada yang memberi makan kepadamu 

Wragul 7 Perbuatlah amal kebajikan Terpaksa harus kuberitahukan Hal-hal yang berfaedah saja Sekedar menunjukkan yang benar adanya Jawab Berang-berang Tahulah aku Maksud omonganmu Kau inginkan Agar kuberi kau makan Tapi aku tak akan tunduk kepadamu 

Wragul 8 Ibarat sudah tahu kebohongannya Mulut jujur hati berdusta Karena memaksa harus berbuat begini Menghormat kepada yang belum mengerti Agar dipercaya di dunia ini Berapa kekuatannya Tak tahu bahwa Dengan bertapa sesungguhnya bersembunyi Ingin kulihat mana pendeta yang benar-benar sakti Kalau berhasil melebihi 

Wragul 9 Kelihatannya luhur dan muli Serba benar pembicaraannya Tuntas luar dalamnya Bagus penampilannya Kena kotoran sedikitpun tak bersedia Seperti burung elang akibatnya Terbang tinggi Lupa melihat kanan kiri Begitu musuh disiasati Selamat sampai akhir hari 

Wragul 10 Apabila ibarat ikan Ikan gegenjong yang lemah badannya Namun tajam tajinya Hai kera hitam Mana kata-katamu yang benar Yang diharamkan ditolaknya Itu kalau sedikit jumlahnya Dan walaupun haram Tapi kalau ada sedikit manisnya ditutupi Dengan amat tersembunyi 

Wragul 11 Jelas itu dicampur aduk Ada yang diucapkan dengan pura-pura Yang terlihat tindakannya Pujangga maupun pendeta Sama-sama kurang budinya Aku tahu semuanya Sama-sama meminta-minta Hanya satu dua yang mengamalkan Meminta tanpa dibantah Walaupun tidak sungguhan 

Wragul 12 Kikir kalau dimintai Lagaknya seperti pendeta sakti Usaha seakan tak henti Dalam hidup ini hendaklah mengerti Upaya orang lain Dalam hidup ini seyogianya. Tak demikian tindakannya Di mana ada niat yang tak semestinya Kata ahli kitab tak mau makan riba Sebab ia pendeta 

Wragul 13 Orang besar orang kecil berebut bersaing Berupaya menggunakan akal masing-masing Yang namanya raga manusia Siap semuanya Untuk beramal senantiasa Sedangkan apa kelebihan pendeta Sibuk mengolah ilmu pengetahuan Rahasianya mencari pekerjaan Berkah yang melimpah diharapkan Jaksa pun demikian 

Wragul 14 Demikianlah yang tersembunyi pada para penulis Mencari nafkah dengan menipu mengemis Supaya ada kaulnya Demikian para dukun adanya Menjual mantra Juga para guru yang terhormat Mengajarkan ilmu luhur Sama saja yang diharapkan Yaitu pengabdian murid Seperti burung kuntul 

Wragul 15 Bertapa ada tujuannya Agar memperoleh ikan di rawa Agar semua itu kena olehnya Adapun yang bertapa di gunung Tujuannya pun Untuk memperoleh Negara Oleh masyarakat dipercaya Begitu yang namanya pendeta Terus menerus bertukar pikiran Berbuat kepercayaan dalam pemerintahan 

Wragul 16 Pendapat yang benar ditentang Mencari saksi makin kesulitan Diuji dengan kepercayaannya Tak tahu bahwa terlalu asyik ia Membicarakan keburukan orang Sementara pada dirinya sendiri tak kelihatan Padahal kejelekannya sebesar gunung Lagi pula ia tertarik pada rupa Serta keanekaragaman suara yang masuk telinganya Dari awal hingga akhir diterimanya 

Wragul 17 Karena banyak orang membingungkan Tersandunglah ia di tempat yang rata Sembuh, tapi mati akhirnya Yang samar dikira nyata Yang bukan-bukan dikira mengalir Yang duduk dikira air Yang tidak terlihat Senantiasa melihat cela orang lain. Sedang aku, cari makan tak sembunyi-sembunyi Sang kera bicara gusar 

Wragul 18 Ya, kamu jadinya Mencela tingkah laku pendeta Kalau begitu Kamu pantas diburu Hidupmu bagiku gambling Merintangi pekerjaan Kemudian sang berang-berang Berucap : Apa maumu ! Seraya merunduk sambil menerjang Tapi telah meloncat si kera hitam 

Wragul 19 Pada dahan kayu sambil bersiaga Sehingga mengagetkan kera-kera lainnya Semua pun angkat bicara Dengan bahasa lambang mereka Marah mereka Siapa saja yang mencela pendeta Boleh kita mengejarnya Sampai mati ia Semua kera mengepung di pinggir sungai itu Tapi berang-berang sudah tahu 

Wragul 20 Ketika sudah berkumpul semua kera hitam Berang-berang masuk ke dalam air pelan-pelan Karena kera sebanyak itu tidaklah terlawan Kemudian si berang-berang Sambil makan ikan, memberi peringatan: Kera hitam, pulanglah kau Bersama teman-temanmu Sebab siapa tahu si empunya datang Yang di sungai ini ia punya larangan Siapa tahu firasat ia dapatkan 

Wragul 21 Sanggupkah kau lindungi teman-temanmu ? Maka semua kera hitampun bubar berlalu Agaknya mereka malu Dan sang berang-berang keluar dari air Mengamati kiri kanan dengan rasa khawatir Kalau-kalau masih ada kera yang belum menyingkir Sang berang-berang berkata dalam hati Berangan-angan ia Kera hitam merasa suci dirinya Mencela orang yang sedang mencari mangsa 

Wragul 22 Memang perbuatan yang cemar Adalah perbuatan melanggar Hanya saja tak terlihat Sungguh, cari saja yang mempunyai Kebahagiaa, berlakulah laku sejati Meskipun seorang pendeta Seulung apapun ia Jika menulis, lupa beribadah Dirinya sendiri tak tampak olehnya Karena orang lain saja yang dilihatnya 

Wragul 23 Jadi, tingkah laku orang peroranglah Yang merupakan makanan kesukaannya Kelihatan bijak perbuatannya Namanya pujangga Yang terkandung di hati yang ditatapnya Tapi setelah keluar darinya Terlihat ia ingin menjiplaknya Demikian ibarat seekor burung Bertengger di pohon beringin yang terbalik 

Wragul 24 Sementara sang berang-berang Bersoal jawab dengan kera hitam Turunlah burung tuhu Menanyakan kesejatian Mungkin selama perbincangan itu Yang demikian yang diinginkan Kepada kalimat tauhid amat senang Sehingga dipertuhankan Tak ingat yang sungguh-sungguh Tuhan 

Wragul 25 Lahir dan batin, dulu dan kemudian Baik buruk, suka dan duka. Sudah nasib manusia, tiada bedanya Takdir Allah yang Maha Agung Siang malam sembah puji senantiasa Jika rahmat tak datang juga Jika belum mencapainya Masih ragu adanya Berterus teranglah dalam memperolehnya Demikian burung tuhu berkat.

Wragul 26 Sudah sebulan aku berdampingan Namun dengan gagak belum tercapai kesepakatan Sebab semua. Yang ia makan adalah kotoran Jadi selalu kuhindari Tak akan aku ikuti Yang najis Sungguh selama hidupku Yang halal saja makananku Yang diajak bicara menjawab begitu.

Wragul 27 Tahu semua pengetahuan Namun tak mengerti sastra agama Dari mana asalnyaYang meskipun seolah telah merasuk dihati Tak mungkin ditolak di dunia ini Burung tuhu berujar : Walau manis tutur katanya Sebenarnya takhyul yang dibeberkan Sang berang berkata : Pernah kudengar Bahwa dalang tak pernah ditanya 

Wragul 28 Pemburu tak henti berkelana Ibarat burung bangau bertapa di rawa Tiada lain niatnya Kecuali mencari ikan di air Dimakannya siang malam Seperti bangau botak Seperti kambing prucul Maka orang yang menjalani laku Jangan cepat melangkah dulu Bertanyalah kepada yang tahu 

Wragul 29 Haruslah lahir batin kalau memuji Yang diucapkan musti dimengerti Yang dilihat hendaknya dipahami Juga segala yang didengar Betapa sukar orang memuji Maka sebaiknya carilah guru Yakni orang yang lebih tahu Yakni ahli ibadah Dan memujilah hingga merasuki hati Begitulah orang melakukan sembah puji 

Wragul 30 Kalau tak tahu apa yang disembah Hilanglah apa yang disembah Karena sesungguhnya tak ada tirai itu Tataplah gunung Dan bunga dalam kesepian Ikan tanpa mata Wahyu sejati Pandanglah Arjuna Kalau bertapa tak tergoda Oleh apa saja 

Wragul 31 Ada tiga macam pepuji Pertama melihat yang disembah Kedua melihat rupanya Ketiga tak melihat Kepada sesuatu, namun Menghadap yang disembah Ibarat mencari Dalang topeng yang sedang melakukan pertunjukan Tak beda segala yang dimiliki Berpadu satu ragawi ruhan  

Wragul 32 Kalau tak begitu kafir jadinya Yang namanya gajah, gerangan mana ia Sejauh-jauh usiaku Belum mengerti hal itu Ibarat menyatukan perjalanan gajah Dengan petualangan burung garuda Ibarat menyatukan punggung dengan dada Atau wayang dengan kelirnya Tapi sesungguhnya cermin satu adanya 

Wragul 33 Itu jelas sama Yang dicari sedang tak ada Tapi burung tuhu sedang memahaminya Ibarat malam yang dibakar Tak ada yang dipikirkan Ajaran dari berang-berang Biasanya sudah diajarkan Jiwa yang hidup dan yang mati itu satu Ingat bahwa engkau dikuasai Tuhanmu 

Wragul 34 Seperti halnya tinta Masih menyatu dengan tempatnya Jangan menghindar meski mati bayarannya Kalau hidup, hiduplah seperlunya Selalu perhatikan guru Jangan seperti orang bermimpi Atau seperti burung yang disuruh berbicara Mengikuti kata-kata Dijadikan panutan pikirannya Berang-berang bersiap-siap menyingkir Burung tuhu terbang ke dahan 

Wragul 35 Ketika kemudian matahari terbenam Terdengar suara pertunjukan wayang Tampaknya di istana Tergetar tabirnya Di depan kelir berada semua wayangnya Burung tuhu tampak Ki dalang terlihat Yang terlihat gawang-gawangnya Wayangnya tiada, hanya dalangnya Padahal tabir penglihatan tidaklah ada 

Wragul 36 Dalang dapat bertukar rupa Banyak orang jatuh cinta Menyaksikan tingkah wayangnya Terlihat segala tingkah lakunya Semua saling jatuh cinta Betapa mendalam keinginan Menatap sang dalang Namun dicari tak ketemu Meskipun dengan susah dan rindu 

Wragul 37 Lebih-lebih jika kurenungkan ini Dengan teliti Betul-betul ingin bekerja Terlalu penuh perhitungan akhirnya Atas kekayaan orang-orang kaya Maka kalau tak paham Jangan ikut-ikutan Sampai kapan demikian Sesungguhnya engkau disuruh mencari kembali Raga yang tersembunyi

Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopot. Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya. “Ampun, hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya. 

“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.” “Ya, kami menyerah, kami tobat ! Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya. “Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang. “Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.” 

“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.” “Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu. “Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.” Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke Tuban. 

Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. 

Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir. “Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.” kata sang Brahmana. Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang ?” tanya lelaki itu. “Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan, kata sang Brahmana.” Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.”

Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana. “Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut ?” Tanya lelaki itu. Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu. 

“Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini ?” tanya sang Brahmana. “Tuan berada di pantai Tuban !” jawab lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri. Siapa lagi orang sakti berilmu tinggi yang berada di kota Tuban selain Sunan Bonang. 

Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia. Ada lagi legenda aneh tentang Sunan Bonang. Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk dimakamkan di samping Sunan Ampel yaitu ayahandanya. Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.