
Cromwell
dilahirkan tahun 1599 di Huntingdon, Inggris. Selaku orang muda dia hidup di
Inggris yang tercabik-cabik oleh pertentangan agama dan dipimpin oleh seorang
raja yang percaya dan ingin mempraktekkan monarki absolut. Cromwell sendiri
seorang petani dan tokoh pedesaan serta seorang puritan yang taat.
Di tahun
1628 dia terpilih jadi anggota parlemen. Tetapi, jabatan ini sangat singkat
dipegangnya karena pada tahun berikutnya Raja Charles I memutuskan membubarkan
parlemen dan memerintah negeri sendirian. Tak sampai tahun 1640 tatkala dia
perlu uang untuk melancarkan perang terhadap Skotlandia, raja memanggil lagi
parlemen baru.
Parlemen baru ini yang Cromwell juga jadi anggotanya, minta
jaminan kepastian dan perlindungan terhadap tidak kembalinya kekuasaan raja
yang semau-maunya. Tetapi, Charles I keberatan berada di bawah kekuasaan
parlemen. Apa daya? Satu-satunya jalan yang tersedia adalah perang, dan
pecahlah perang itu tahun 1646, peperangan antara kekuatan antek raja dan yang
pro parlemen.
Oliver Cromwell pemimpin militer yang brilian dan memikat yang
mengepalai kekuatan parlementer dan mencapai kemenangan dalam perang saudara
Inggris adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap terbentuknya
demokrasi parlementer sebagai bentuk pemerintahan Inggris. Cromwell berpihak
pada yang pro parlemen.
Kembali ke kotanya Huntingdon, dia membangun pasukan
berkuda untuk menggempur raja. Selama perang yang berlangsung empat tahun,
kemampuan militernya mendapat sorotan umum. Cromwell pegang peranan penentu,
baik di pertempuran Marston Moor (2 Juli 1644) yang amat kritis dan merupakan
titik balik peperangan, maupun dalam pertempuran yang menentukan di Naseby (14
Juni 1645).
Di tahun 1646 perang berakhir dan Charles I dipenjara. Cromwell
diakui sebagai jendral paling sukses dari pihak golongan pro parlemen. Tetapi,
perdamaian penuh tidak juga datang karena golongan pro parlemen terpecah-pecah
dalam fraksi-fraksi yang secara mendasar saling berbeda tujuan.
Raja mengetahui
perpecahan ini, karena itu dia menghindar dari penyelesaian damai. Dalam tempo
setahun, perang saudara kedua pecah lagi disertai segera lolosnya Charles I dan
percobaannya menghimpun pasukan pendukungnya. Hasil dari konflik baru ini
adalah kekalahan pasukan Raja Charles I oleh gempuran Cromwell.
Mengikis
orang-orang yang berpendirian moderat di parlemen dan menghukum mati Raja
Charles I di tahun 1649 bulan Januari. Inggris kini menjadi republik (disebut
"Conmmonwealth"), diperintah untuk sementara oleh Dewan Negara, yang
diketuai Cromwell.
Tetapi, golongan pro kerajaan segera dapat menguasai
Irlandia dan Skotlandia dan beri dukungan kepada putera men diang Raja Charles
II di masa depan. Hasilnya adalah pendudukan yang berhasil atas Irlandia dan
Skotlandia oleh pasukan Cromwell.
Rangkaian pertempuran yang panjang berakhir
tahun 1625 dengan kekalahan mutlak para pendukung raja. Perang sudah rampung,
kini tiba waktunya untuk mendirikan suatu pemerintahan baru. Tetapi, masih ada
sisa masalah mengenai bentuk pemerintahan yang konstitusional yang harus
dijelmakan.
Masalah ini tak pernah terpecahkan selama Cromwell masih hidup.
Jendral-jendral puritan telah mampu memimpin pertempuran yang membawa
kemenangan bagi mereka yang menentang monarki absolut.
Tetapi, baik kekuatan
maupun prestisenya tidak cukup trampil menyelesaikan konflik sosial diantara
pendukungnya dan tak berhasil mengajak mereka menyepakati konstitusi baru,
karena konflik ini telah kait-berkait dengan konflik agama yang memecah
penganut Protestan dan golongan lain, juga dengan kaum Katolik Romawi.
Tatkala
Cromwell berada diatas tampuk kekuasaan, sisa parlemen tahun 1640 sedikit
sekali jumlahnya, tidak representatif, minoritas yang ekstrim yang disebut
"Rump." Langkah pertama yang ditempuh Cromwell ialah melakukan penjajagan
untuk suatu pemilihan umum baru. Ketika usaha penjajagan itu gagal berantakan,
dia membubarkan "Rump" dengan kekerasan (ini terjadi bulan April
tahun 1653).
Sejak itu hingga wafatnya Cromwell tahun 1658, ada tiga parlemen
yang berbeda-beda terbentuk dan dibubarkan. Dua macam konstitusi disepakati,
tetapi tak satu pun berfungsi sebagaimana mestinya. Sepanjang periode ini,
Cromwell memerintah atas dukungan Angkatan Bersenjata. Akibatnya, dia menjadi
diktator militer.
Tetapi, percobaannya yang berulang kali melaksanakan
praktek-praktek demokratis dan juga penolakannya atas tawaran tahta yang
diusulkan buatnya, jelas menunjukkan bahwa kediktatoran bukanlah sesuatu yang
dicari dan dikehendakinya.
Ini dipaksakan kepadanya oleh ketidakmampuan para
pendukungnya dalam hal mendirikan sebuah pemerintahan yang berjalan sebagaimana
mestinya. Dari tahun 1653 sampai 1658, Cromwell, dengan gelar Lord Protector
(Sang Pelindung), jadi penguasa Inggris, Skotlandia dan Irlandia.
Selama lima
tahun itu, Cromwell membuat Inggris punya pemerintahan yang secara umum baik
dan administrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dia memperbaiki pelbagai rupa
hukum yang tak genah dan dia mendukung sektor memajukan pendidikan.
Cromwell
seorang yang punya toleransi terhadap agama, dia ijinkan orang-orang Yahudi
kembali menetap di Inggris dan mengamalkan ibadat menurut kepercayaannya.
(Mereka terusir dari Inggris tiga abad lamanya oleh Raja Edward I). Cromwell
juga menjalankan politik luar negeri yang berhasil. Dia meninggal di London
tahun 1658 akibat serangan malaria.
Anak sulung Cromwell, Richard Cromwell,
menggantikan sang bapak tetapi cuma sebentar memerintah. Tahun 1660 Charles II
dinaikkan kembali ke atas tahta. Sisa-sisa pengikut Cromwell dibabat habis dan
digantung mati sampai lidahnya terjulur.
Tetapi, usaha penumpasan macam apa pun
yang dilakukan, upaya balas dendam yang bagaimanapun berkobarnya tidaklah
mungkin bisa menutupi fakta bahwa perjuangan mati-matian demi adanya suatu
monarki absolut sudah musnah. Charles II menyadari hal ini, karena itu dia
tidak mencoba melawan keunggulan parlemen.
Tatkala penggantinya, James II,
mencoba mengembalikan sistem monarki absolut, dia segera digulingkan lewat
revolusi tak berdarah tahun 1688. Hasil yang tampak adalah persis seperti apa
yang diinginkan oleh Cromwell di tahun 1640, yaitu suatu monarki konstitusional
dimana raja jelas berada di bawah parlemen dan menghormati lembaga itu, serta
negara menganut politik bertoleransi terhadap semua agama.
Selang tiga abad
sesudah wafatnya, watak Oliver Cromwell telah menjadi bahan perselisihan
pendapat. Sejumlah kritikus menyebutnya seorang munafik seraya menunjuk contoh
bukti betapa dia senantiasa mendambakan keunggulan parlemen tetapi pada saat
berbarengan dia senantiasa menuntut kekuasaan eksekutif di satu tangan.
Jadi,
pada hakekatnya dia mendirikan suatu sistem diktator militer. Tetapi, sebagian
terbesar pandangan melihat bagaimanapun juga pengabdian Cromwell untuk
kehidupan demokrasi sangat jujur dan bersungguh-sungguh meski keadaan yang
tidak bisa diatasinya memaksa ia untuk bertindak keras dan diktatorial. Telah
diamati mereka bahwa Cromwell tidak pernah plintat-plintut, dan juga tak pernah
ia menerima tawaran duduk di tahta atau mendirikan kediktatoran yang bersifat
permanen.
Pemerintahannya senantiasa bersifat moderat dan penuh toleransi. Bagaimana
kita bisa menyimpulkan pengaruh Cromwell secara keseluruhan dalam sejarah? Arti
penting utamanya, tak syak lagi, dia seorang pemimpin militer yang brilian,
mampu mematahkan kekuatan kerajaan dalam perang saudara Inggris.
Sebelum
Cromwell tampil di gelanggang, keadaan kekuatan parlemen berada dalam tingkat
keburukan yang terendah, karena itu dapatlah dibilang kemenangan terakhir tak
akan pernah terjadi tanpa kehadiran Cromwell. Hasil kemenangan Cromwell adalah
membikin semakin mapan dan kuatnya pemerintahan demokratis di Inggris.
Ini
jangan dianggap sepele. Ini tidak bisa terjadi begitu saja dalam keadaan biasa.
Di abad ke- 17, hampir seluruh Eropa bergerak ke arah sistem monarki absolut.
Kemenangan demokrasi di Inggris merupakan hal yang berlawanan dengan arus yang
sedang deras-derasnya mengalir.
Di tahun-tahun sesudahnya, contoh kehidupan
demokrasi di Inggris merupakan faktor pendorong bagi gerakan pembaharuan di
Perancis dan sekaligus Revolusi Perancis dan berbarengan dengan itu menjelmanya
pemerintahan-pemerintahan demokratis di Eropa.
Dan tak dapat disangkal,
kemenangan kekuatan demokratis di Inggris memegang peranan penting berdirinya
sistem pemerintahan demokratis di Amerika Serikat dan lain-lain daerah jajahan
Inggris seperti Kanada dan Australia. Kendati Inggris sendiri menduduki hanya
sebagian kecil dari daerah dunia, demokrasi menjalin pengaruh ke daerah-daerah
lain yang lebih-luas.
Oliver Cromwell bisa ditempatkan lebih tinggi
kedudukannya dalam urutan daftar buku ini, kecuali hampir semua penghargaan
bagi pendirian sistem demokrasi di Inggris dan Amerika Serikat harus
dipersembahkan kepada filosof John Locke.
Sedikit sulit menetapkan arti penting
relatif buat Cromwell yang pada hakekatnya adalah orang lapangan yang bertindak
sedangkan Locke adalah seorang penggagas ide-ide. Tetapi, diukur dari iklim
intelektual jaman Locke, ide politik yang serupa akan juga segera muncul
meskipun andaikata Locke tidak pernah hidup.
Sebaliknya, kalaulah tak ada Cromwell,
besar kemungkinan kekuatan parlemen tidak akan mampu mengalahkan kekuatan
kerajaan dalam perang saudara Inggris