“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At Tin
: 5)
Firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh
kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan
alangkah indahnya!
Lalu pernahkan kita
memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya?
Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari
setetes mani yang hina?
Pembahasan berikut
ini mengajak Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang kesombongan
di hati dengan kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih
memuji Allah ‘Azza wa Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam ‘Alaihis
Salam :
“Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” (Shad : 71)
Begitu pula dalam
ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan orang-orang musyrikin
yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka diciptakan. Dia Yang Maha
Tinggi berfirman :
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (Ash Shaffat : 11)
Dua ayat di atas dan
ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal
kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia
telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri.
Berkaitan dengan hal
di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menentukan tahapan-tahapan
penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam hadits-haditsnya.
Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman :
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik.” (Al Mukminun : 12-14)
“Wahai
manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu
dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … .” (Al Hajj
: 5)
Ayat-ayat di atas
menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada keadaan
lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa
‘Alaa saja yang berhak untuk diibadahi.
Begitu pula
penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu
saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi
bentuk.
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (Al Hijr : 26)
Tanah tersebut
diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya
Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang
diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi
dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit
merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang
bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir)
dan ada yang baik (Mukmin).” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan
Tirmidzi, berkata Tirmidzi : ‘Hasan shahih’. Dishahihkan oleh Asy Syaikh
Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih
Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga Allah
merahmati orang yang berkata dalam bait syi’irnya :
Diciptakan
manusia dari saripati yang berbau busuk.
Dan ke
saripati itulah semua manusia akan kembali.
Setelah Allah Subhanahu
wa Ta'ala menciptakan Adam ‘Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan
pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :
“Dia
menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya …
.”
(Az Zumar : 6)
Dalam ayat lain :
“Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan
istrinya, agar dia merasa senang kepadanya … .” (Al A’raf : 189)
Dari Adam dan Hawa ‘Alaihimas
Salam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari
air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan
hingga hari kiamat nanti. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman
457)
Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman :
“Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (mani).” (As Sajdah : 7-8)
Imam Thabari rahimahullah
dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam
sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9
halaman 202)
Allah Subhanahu
wa Ta'ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari
laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima’) dalam rahim seorang
ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai
tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia nyatakan dalam
firman-Nya :
“Bukankah
Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam
tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan.” (Al
Mursalat : 20-22)
Dari nuthfah,
Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di
dinding rahim. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong
daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal
anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian membentuknya
memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya.
Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar
menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut
menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa
dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir
Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah
kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman
dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah
meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang
penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :
“Fatabarakallahu
ahsanul khaliqin”
Maha Suci Allah,
Pencipa Yang Paling Baik
Lalu Allah turunkan
firman-Nya :
“Fatabarakallahu
ahsanul khaliqin” untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun
Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut
Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)
Maha Kuasa Allah Tabaraka
wa Ta’ala, Dia memindahkan calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah.
Dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut
sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan,
sebagaimana firman-Nya :
“ … Dia
menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan …
.”
(Az Zumar : 6)
Yang dimaksud “tiga
kegelapan” dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi
dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut. Demikian yang
dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As
Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan
keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)
Sekarang kita lihat
keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Abi ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu
'anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan
dibenarkan. Beliau bersabda :
“Sesungguhnya
setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa
nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian
menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus
kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat
perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi
Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada
yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan
Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan
takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan
sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli
neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal
sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan
amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul
Bari dan Muslim 2643, shahih)
Berita Nubuwwah
di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung
selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40
hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk
segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah
berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan
menuliskan untuknya 4 perkara di atas.
Dalam riwayat lain :
Malaikat
masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45
malam, maka Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara
atau bahagia?” Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata lagi : “Wahai Rabbku!
Laki-laki atau perempuan?” Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya,
atsarnya[1], ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung
lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR.
Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu 'anhu, shahih)
Dalam Ash
Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah
mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : “Wahai
Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging.”
Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu
berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara
atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?” Maka ditulis yang
demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477 -Fathul Bari
dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu)
Dari beberapa
riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya Malaikat
yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia
berkata : “Wahai Rabbku! Ini ‘alaqah, ini mudhghah” pada
waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu
wa Ta'ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui
setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan
menjadi anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang
pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau
bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas
yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran,
penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki
ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga
saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh karena ruh
baru ditiup setelah sempurna bentuknya.
Adapun sabda beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam :
Apabila
telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat,
maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya,
dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku!
Laki-laki atau perempuan … .”
Al Qadhi ‘Iyadl dan
selainnya mengatakan bahwasanya sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
di atas tidak menunjukkan dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan
hadits ini pada makna dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia
membentuknya dan membentuk pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya
adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya
pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada
waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan tersebut sebagaimana firman Allah
Ta’ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai 14. (Lihat keterangan hal ini
dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi, halaman 189-191)
Ibnu Hajar Al
Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (II/484)
membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : “Adapun sabda beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya pembentukan terjadi
pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir hadits Ibnu Mas’ud
dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak manusia menjadi mudhghah
(segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits Hudzaifah) dibawa
pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara penulisan saja belum
ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana pembentukan calon anak
manusia dan Malaikat yang ditugasi menuliskannya.”
Dalam ta’liq
kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204 disebutkan bahwasanya hadits
yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah berada di rahim
selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang lain. Karena
pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah
tersebut bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah
menjadi mudhghah. Wallahu A’lam.
Perubahan
janin dari nuthfah menjadi ‘alaqah dan seterusnya itu berlangsung
setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang pertama, darah
masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi sedikit
hingga sempurna menjadi ‘alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum itu
tidaklah ia dinamakan ‘alaqah. Kemudian ‘alaqah bercampur dengan
daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul
Bari)
Tatkala telah
sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini telah disepakati oleh
ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun madzhabnya yang
masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud bahwasanya anak ditiupkan ruh
padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin seorang wanita
gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah memiliki ruh
kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa’id Ibnul Musayyib
dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan Ishaq.
Dinukilkan dari Imam
Ahmad bahwasanya ia berkata : “Apabila janin telah mencapai umur 4 bulan 10
hari, maka pada waktu yang 10 hari itu ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan
atasnya (bila janin tersebut gugur).” (Lihat Iqadzul Himam Al Muntaqa min
Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al
Hilali)
Kita lihat dalam
hadits Ibnu Mas’ud di atas bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah
berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas,
penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat
tersebut tidaklah bertentangan.
Imam An Nawawi rahimahullah
menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191) setelah
membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini :
‘Sesungguhnya
penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai
nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi
segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan
diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara
atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .’
Yang jelas penulisan
takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan
untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian
telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu 'anhuma :
“Sesungguhnya
Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum
menciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim 2653,
shahih)
Dalam hadits ‘Ubadah
bin Shamit radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,
beliau bersabda :
Pertama
kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya :
“Tulislah!” Maka pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari
kiamat.
(HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh
Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam)
Banyak nash yang
menyebutkan bahwa penetapan takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang
bahagia atau sengsara telah ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain
dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak
ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka
dan telah ditulis sengsara atau bahagia.” Maka seorang laki-laki berkata :
“Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang
telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?” Maka beliau bersabda : “Beramal-lah,
maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun
orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang
yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal
dengan amalan orang yang sengsara.” Kemudian beliau membaca : “Adapun orang
yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang
mudah.”
(QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647]
Bahagia atau
sengsara seseorang ditentukan oleh akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan
dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas. Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl
bin Sa’ad radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,
beliau bersabda :
“Sesungguhnya
hanyalah amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya).” (HR.
Bukhari 11/330 -Fathul Bari)
Sebagai penutup
dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki.
Dia menciptakan manusia pertama (Adam ‘Alaihis Salam) dari tanah,
sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah hingga akhir
kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga oleh
seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal
daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak
manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan,
dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah
rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan
datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang
sengsara. Naudzubillah!
Dari tanah manusia
berasal dan pada akhirnya akan kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi
bahan renungan untuk kita semua.
Wallahu
A’lam Bis Shawab.
Daftar Bacaan :
2. Adlwaul Bayan. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi.
3. Ad Durul Mantsur fi At Tafsir Al Ma’tsur. Imam As Suyuthi.
4. Ahkamuth Thifli. Asy Syaikh Ahmad Al ‘Aysawi.
5. Asbabun Nuzul. Imam As Suyuthi.
6.‘Aunul Ma’bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
7. Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
8. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani.
9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam. Syaikh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali.
10. Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam. Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbali.
11. Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Qur’an. Ibnu Jarir Ath Thabari.
12. Mu’jam Mufradat Alfadzil Qur’an. Al ‘Allamah Al Ashfahani.
13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi.
14. Shahih Sunan Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
15. Shahih Sunan At Tirmidzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
16. Tafsir Ibnu Katsir. Al Hafidh Ibnu Katsir.
17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi.
- [1] Artinya : Jejak kehidupannya.
- [2] Ma’thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna kurang lebih lafadh yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak sebelumnya.
- [3] Ma’thuf ‘alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu yang terletak sesudahnya.