Diharamkan bagi seorang
suami mentalak istrinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah subhaanahu
wa ta’aala :-
] يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن [
“Hai Nabi, apa bila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya ( yang wajar)-
Maksudnya, istri-istri itu
ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak
ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum di gauli. Sebab jika
seorang istri ditalak dalam keadaan haid
ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada
saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan jika ditalak
dalam keadaan suci setelah digauli, berari iddah yang dihadapinya tidak jelas
karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut apakah
tidak hamil, jika ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan jika tidak
hamil maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya,
maka diharamkan bagi sang suami mentalak istrinya sehingga jelas permasalah
tersebut.-
Jadi mentalak istri yang sedang haid haram hukumnya.
Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam
shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah
menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar ( bapaknya ) mengadukan itu
kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam , Maka Nabipun marah dan
bersabda :-
"
مره فليراجعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد وإن شاء
طلق قبل أن يمس، فتلك العدة التي أمر الله أن تطلق لها النساء "
“Suruh ia merujuk istrinya kemudian
mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid, lalu suci lagi, setelah itu, jika
ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli, karena itulah
iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak istri”-
Dengan demikian, berdosalah
seorang suami andaikata mentalak istrinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat
kepada Allah subhaanahu wa ta’aala
dan merujuk istrinya untuk kemudian mentalaknya secara syar’i sesuai
dengan perintah Allah subhaanahu wa ta’aala dan RasulNya. Yakni, setelah
merujuk istrinya hendaklah ia membiarkannya sampai suci dari haid yang
dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia
menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.-
Dalam hal diharamkannya mentalak istri yang sedang haid,
ada tiga masalah yang di kecualikan :-
1.Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan istri atau
sebelum menggaulinya ( dalam keadaan pengantin baru misalnya) maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab dalam kasus
demikian , si istri tidak terkena iddah. Maka talak tersebut tidak menyalahi
firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
] فطلقوهن لعدتهن [
“…Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat( menghadapi)iddahnya ( yang wajar ). (QS. Ath Thalaq : 1)
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil,
sebagaimana yang telah dijelaskan sebabnya pada pasal dahulu.-
3. Jika talak tersebut atas dasar iwadh ( penggantian
) maka boleh bagi suami menceraikan
istrinya dalam keadaan haid.-
Misalnya terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak
harmonis lagi antara suami dan istri. Lalu si istri meminta suami agar
mentalaknya dan suami mendapat ganti rugi karenanya, maka hal itu, sekalipun
istri dalam keadaan haid, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiya llahu
anhu :
" أن امراة ثابت بن قيس بن شماس جاءت
إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت : يا رسول الله إني ما أعتب عليه في خلق
ولا دين، ولكن أكره الكفر في الإسلام، فقـال النبي صلى الله عليه وسلم : أتردين
عليه حديقته ؟ قالت : نعم. فقال رسـول الله صلى الله عليه وسلم : اقبل الحديقة
وطلقها تطليقة" رواه البخاري.
“ Bahwa istri
tsabit bin qais bin syammas datang kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
dan berkata : “ Ya Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam , sungguh aku tidak
mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam
Islam” Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bertanya : “ Maukah kamu
mengembalikan kebunnya kepadanya ? Wanita itu menjawab : “ Ya , Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : (kepada suaminya ) : “Terimalah kebun itu,
dan ceraikanlah ia ( HR. Al Bukhari ) .-
Dalam hadits tadi, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
tidak bertanya apakah si istri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini
dibayar oleh pihak istri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam
keadaan manapun, jika memang diperlukan.-
Dalam kitab Al mughni disebutkan tentang alasan
dibolehkannya khulu’ ( cerai atas permintaan istri dengan tebusan ) dalam keadaan haid : “Dilarangnya talak dalam keadaan haid adalah adanya
madharat ( bahaya ) bagi si istri dengan menunggu lamanya masa iddah. Sedang
khulu’ adalah untuk menghilangkan
madharat ( bahaya ) bagi si istri disebabkan adanya hubungan yang tidak
harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak
disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si istri daripada
menunggu lamanya masa iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat yang lebih
besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya. Karena itu Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepada wanita yang meminta khulu’ tentang
keadaannya.-
Dan
bibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita
yang sedang haid, karena hal itu pada dasarnya adalah halal. Dan tidak ada
dalil yang melarangnya, namun perlu dipertimbangkan bahwa suami tidak diperkenankan
berkumpul dengan istri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan
akan menggauli istri yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika
dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk
menghindari hal-hal yang dilarang.-