Al Hafidh
Ibnu Katsir berkata :- Ketika penduduk Madinah kembali dari tempat
Khalifah Yazid bin Muawiyah, ‘Abdullah bin Muthi’ dan teman-temannya berangkat
menemui Muhammad bin Al Hanafiyah. Mereka menginginkan agar ia mau memberikan
dukungan untuk mencopot Yazid dari kekhalifahan, namun ia menolaknya.
Ibnu
Muthi’ berkata :- “Sesungguhnya Yazid itu senang meminum
khamr (minuman keras), meninggalkan shalat dan melampaui batas hukum-hukum yang
ditetapkan oleh Al Kitab (Al Qur’an).”
Mendengar
hal ini Muhammad bin Al Hanafiyah berkata :- “Aku
tidak melihat bukti yang kalian sebutkan itu, bahkan aku pernah mendatanginya
dan tinggal bersamanya, dan saya melihat ia begitu tekun menegakkan shalat,
cenderung kepada kebaikan, selalu bertanya tentang fiqh dan komitmen terhadap
Sunnah.”
“Itu
hanya kepura-puraannya di depanmu”, jawab mereka.
Muhammad
berkata pula : “Apa yang mesti ia takutkan atau ia harapkan dari saya sehingga
ia harus mempertontonkan sikap khusyu’-nya kepada saya?” (Dalam riwayat lain,
beliau berkata : “Mengapa ia berpura-pura terhadapku dan tidak berpura-pura
terhadap kalian?”)
Beliau
berkata lagi : “Apakah ia memperlihatkan kepada kalian bahwa ia minum khamr?
Jika demikian berarti kalian adalah sekutu-sekutunya. Kalau tidak, bagaimana
kalian mempersaksikan sesuatu yang tidak kalian lihat!”
Mereka
membantah dengan mengatakan : “Tapi, sungguh hal ini benar-benar terjadi
meskipun kami tidak melihatnya dengan mata kepala kami sendiri.”
“Allah
menolak kesaksian orang-orang yang tidak mengetahui kasus yang dia ungkapkan.
Oleh karena itu Allah berfirman mengenai orang-orang yang diterima
persaksiannya, sebagai berikut :
“Kecuali
mereka yang bersaksi dengan yang haq dan mereka mengetahui.”
“Maka
saya tidak ikut campur dengan urusan kalian sedikitpun,” kata Muhammad bin Al
Hanafiyah.
Mereka
berkata lagi : “Barangkali Anda tidak senang ada orang lain yang menjadi
penguasa, kalau begitu kami mengangkat Anda sebagai pemimpin kami.”
Beliau rahimahullah
berkata : “Saya tidak pernah menganggap halal memerangi orang yang kalian
inginkan dari saya, baik sebagai pengikut maupun sebagai yang diikuti
(pemimpin).”
“Bukankah
Anda pernah ikut berperang dengan ayahmu, Ali bin Abi Thalib (yakni dalam
perang Shiffin)?” Tukas mereka.
Beliau
berkata : “Datangkanlah orang yang seperti ayahku! Aku akan berperang
bersamanya atas dasar pegangan ayahku.”
“Kalau
begitu, perintahkanlah kepada kedua anakmu Abul Qasim dan Al Qasim untuk
berperang bersama kami!” Kata mereka.
Kalau aku
memerintahkan keduanya, tentu aku berperang juga,” kata Muhammad bin Al
Hanafiyah.
“Jika
begitu, marilah berdiri bersama kami di satu tempat untuk mendorong manusia
berperang bersama kami,” kata mereka lagi.
“Maha
Suci Allah! Apakah aku harus memerintahkan manusia dengan sesuatu yang tidak
aku lakukan dan tidak pula aku ridhai? Kalau demikian halnya, aku bukan orang
yang memberi nasehat karena Allah kepada hamba-hambaNya,” jawab Muhammad bin Al
Hanafiyah.
Mendengar
hal ini mereka berkata : “Kalau begitu kami akan membencimu.”
Muhammad
berkata : “Jika demikian, aku hanya akan memerintahkan manusia untuk bertakwa
kepada Allah. Jangan mereka mencari keridhaan makhluk dengan seuatu yang
mendatangkan murka Allah.”
Setelah
kejadian itu, Muhammad bin Al Hanafiyah keluar menuju Mekkah. Demikian yang
diterangkan oleh Ibnu Katsir melalui nukilan Syaikh Abdus Salam bin Barjis Ali
Abdul Karim dalam bukunya Mu’amalatul Hukkam hal. 18 – 20.
Hikmah Muhammad
Ibnul Hanafiyah
Simaklah
ucapan Imam Muhammad Ibnul Hanafiyah rahimahullah yang setiap kalimatnya
merupakan mutiara-mutiara yang berkilauan. Beliau menjawab ajakan Khawarij
untuk memberontak kepada Yazid yang memang bukan orang shalih, bahkan dikenal
fasiq dan dhalim, tapi dia masih sebagai penguasa Muslim. Ia menjawab dengan
apa adanya sebagai pendidikan bagi mereka yaitu : “Saya tidak melihat bukti
yang kalian sebutkan.” Pada kenyataanya memang ia tidak berdusta dan memang
beliau tidak melihatnya.
Bisa
diduga bahwa mereka akan berkata : “Yazid hanyalah berpura-pura terhadapmu.”
Memang ucapan inilah yang ditunggu, yang dibangun atasnya pertanyaan hikmah :
“Mengapa ia berpura-pura terhadapku dan tidak berpura-pura terhadap kalian?”
Jawabannya
terlalu jelas yaitu karena keshalihan Muhammad bin Al Hanafiyah dan ketakwaanya
hingga manusia malu dan takut untuk berbuat maksiat di hadapannya, termasuk
Yazid bin Muawiyah. Namun bukan jawaban tersebut yang diharapkan oleh Muhammad
bin Al Hanafiyah. Beliau terlalu mulia untuk minta dipuji.
Tetapi sekali lagi
ini adalah pertanyaan hikmah yang tujuannya adalah nasehat kepada mereka. Kalau
mereka para pemberontak tersebut adalah orang-orang shalih seperti Muhammad
Ibnul Hanafiyah, tentu Yazid akan menampakkan kebaikan-kebaikan dan sunnah-sunnah
pada mereka. Sebagaimana Yazid menampakkan yang demikian kepada Yazid bin Al
Hanafiyah. Sebaliknya, jika Yazid menampakkan kemaksiatannya dan kefasiqannya
kepada mereka, maka ini adalah tanda-tanda kalau mereka adalah orang yang
sejenis.
Oleh
karena itu, sebelum dijawab pertanyaan hikmah itu oleh Khawarij, beliau sudah
memberikan pilihan : “Kalau ia menampakkan kefasiqannya kepada kalian, berarti
kalian adalah sekutu-sekutunya. Kalau tidak, bagaimana kalian mempersaksikan
sesuatu yang tidak kalian ketahui?”
Sungguh
suatu ucapan yang tepat dan mematikan. Mereka tidak bisa lepas dari dua
kemungkinan ini.
Inilah
hikmah yang mengajak kepada reformasi rakyat dalam bidang ilmu, akidah, dan
keimanan yang secara otomatis akan mempengaruhi penguasanya.
Setelah
terpojok, mereka melontarkan syubhat baru : “Bukankah engkau pernah berperang
bersama ayahmu?”
Maka
Muhammad Ibnul Hanafiyah kembali merangkai untaian mutiaranya : “Datangkanlah
orang yang seperti ayahku! Aku akan berperang atas dasar yang menyebabkan
ayahku berperang.”
Apakah
ada di masa itu orang yang seperti Ali bin Abi Thalib keilmuannya, keimanannya,
keshalihannya, dan kedudukannya di sisi Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam?
Kalaupun
ada orang yang seperti beliau, masih ada syarat berikutnya, yaitu penggalan
kalimat berikutnya : “Aku akan berperang atas dasar yang menyebabkan ayahku
berperang.” Yakni kalau didatangkan seseorang yang seperti ayahnya, maka dasar
berperangnya pun harus sama, yaitu memerangi bughat atau orang-orang yang
menentang khalifah yang sah dan telah dibaiat.
Maka
justru Khawarij-lah yang pantas dan harus diperangi. Namun tidak ada orang yang
seperti ayahnya. Dan Yazid bukanlah Ali bin Abi Thalib.
Maka
berangkatlah Muhammad Ibnul Hanafiyah ke Mekkah, menghindari fitnah.