Ungkapan :Orang Yang Menggenggam Bara Api |
… jagalah diri kalian,
tidaklah orang sesat itu akan memberikan madlarat kepada kalian jika kalian
telah mendapat petunjuk.
Ibnu Abbas berkata : “Bila
seorang hamba mentaati Allah dalam perintah-Nya, baik dalam melaksanakan
perkerjaan halal maupun meninggalkan perkerjaan haram, maka orang-orang yang
sesat tidak akan mendatangkan madlarat baginya jika dia mengerjakan perintah Allah
tersebut.”
Hasan Al Bashri berkata :
“Segala puji bagi Allah atas (diturunkan-Nya) ayat ini, tidak ada seorang
Mukmin pun di jaman dahulu maupun sekarang melainkan ada seorang munafik yang
membenci perbuatannya.”
Sa’id bin Al Musayyab
berkata : “Ber-amar ma’ruf nahi munkar-lah kalian, tiadalah orang sesat itu
akan memberikan madlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”
(Jami’ul Bayan 5/98-99. Lihat Ibnu Katsir 2/151)
Hanya kepada Allah kamu
kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.
Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath
Thabari berkata bahwa maksudnya adalah Allah berfirman kepada hamba-Nya yang
Mukmin : “Wahai kaum Mukminin, kerjakanlah apa yang Aku perintahkan kepada
kalian dan berhentilah dari apa yang Aku larang. Perintahkan kepada orang-orang
yang menyimpang, sesat, dan menyeleweng dari jalan-Ku untuk berbuat kebaikan
dan laranglah mereka dari perbuatan munkar.
Jika mereka menerima maka
kebaikan bagi mereka dan bagi kalian, tetapi kalau mereka masih tetap dalam
kesesatan dan penyimpangan maka kepada-Ku-lah kalian semua akan kembali. Aku
Maha Tahu dengan apa yang kalian semua kerjakan, maka di akhirat kelak akan Aku
kabarkan kepada kalian semua sesuai dengan amalnya karena Aku Maha Mengetahui
amal kalian semua baik laki-laki maupun wanita.” (Jami’ul Bayan 5/100)
Ibnu Katsir berkata :
“Yakni masing-masing akan dibalas sesuai dengan amalnya. Kebaikan akan dibalas
dengan kebaikan dan kejelekan akan dibalas dengan kejelekan pula.” (Ibnu Katsir
2/149)
Tafsir Ayat
Tafsir Ayat |
Imam Abu Ja’far Ath Thabari
dalam tafsirnya berkata bahwa makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah :
“Wahai orang-orang yang beriman perbaikilah diri-diri kalian, beramal-lah untuk
menyelamatkan diri dari adzab Allah dan perhatikan amal yang dapat mendekatkan
diri kalian kepada Rabb kalian.
Karena tidak akan memudlaratkan kalian
orang-orang yang kafir dan orang-orang yang menempuh selain jalan Allah yang
haq jika kalian telah mendapat petunjuk dan beriman kepada Rabb kalian serta
mentaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya sehingga kalian
mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal.” (Jami’ul Bayan 5/94)
Imam Ibnu Katsir Ad
Dimasyqi dalam tafsirnya menjelaskan : “Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan
kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka memperbaiki diri-diri mereka
berbuat kebajikan menurut kadar kemampuannya.
Allah juga mengkabarkan kepada
mereka bahwasanya barangsiapa yang memperbaiki dirinya maka kesesatan
orang-orang yang sesat tak akan memudlaratkannya baik itu orang dekat maupun
orang jauh. Dalam ayat ini tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehan untuk
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/149)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam kitab Daqaiqatut Tafsir 3/86-89 menyatakan : “Firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala (Al Maidah : 105) itu tidak menunjukkan adanya kebolehan untuk
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, tidak berupa larangan tidak pula
perizinan, seperti yang dikatakan dalam hadits yang masyhur dari Abu Bakar As
Shiddiq radhiallahu 'anhu bahwa beliau pernah berkhutbah di mimbar Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebagai berikut : “Wahai sekalian manusia, kalian
membaca ayat ini (Al Maidah : 105) dan kalian menempatkannya tidak pada
tempatnya, sungguh aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda :
Sesungguhnya bila manusia
melihat kemungkaran dan tidak merubahnya, maka Allah akan mengadzab mereka
secara merata.
Demikian pula dalam hadits
Abu Tsa’labah Al Khusyani secara marfu’ yang berbunyi :
Kalau kalian melihat
kebakhilan ditaati, hawa nafsu diikuti, dan setiap orang merasa bangga dengan
pemikirannya, maka ketika itu jagalah dirimu sendiri.
Lihat pula Majmu’ Al Fatawa
14/479-483.
Al ‘Allamah Syaikh Muhammad
Amin Asy Syinqithi dalam tafsirnya berkata tentang ayat ini : “Orang jahil akan
memahami dhahir ayat ini dengan pemahaman yang rancu bahwa ayat ini menunjukkan
ketidakwajiban amar ma’ruf nahi munkar, padahal ayat ini sendiri mengisyaratkan
bahwa tidak ada beban kewajiban untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar setelah
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak diterima, yaitu pada firman-Nya :
Bila kalian telah mendapat
petunjuk.
Karena orang yang
meninggalkan Amar ma’ruf nahi munkar adalah orang yang tidak mendapat
petunjuk.”
Sebagian ulama ada yang
mengatakan ((bila kalian telah mendapat petunjuk)) yaitu kalian telah ber-amar
ma’ruf nahi munkar tetapi tidak didengar. Sebagian lagi mengatakan amar ma’ruf
nahi munkar masuk dalam pengertian ihtida’ (mendapat petunjuk) dalam ayat ini.
Hal ini jelas dan gamblang sekali dan tidak laik bagi setiap orang yang inshaf
untuk menyimpang darinya.
Maka yang benar adalah wajib ber-amar ma’ruf nahi
munkar dan setelah menunaikan kewajiban itu tidak akan bermudlarat bagi orang
yang amar ma’ruf nahi munkar kesesatan orang yang sesat. Banyak sekali
ayat-ayat yang menunjukkan makna demikian, seperti firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
Dan peliharalah dirimu dari
siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dhalim saja di antara kamu …
. (Al Anfal : 25)
Juga hadits-hadits yang
menunjukkan bahwa apabila manusia tidak menunaikan kewajiban ber-amar ma’ruf
nahi munkar, maka Allah akan meratakan mereka dengan adzab. (Adlwa’ul Bayan
2/169)
Imam Al Qurthubi dalam
tafsirnya juga menjelaskan : “Dhahir ayat ini menunjukkan bahwa amar ma’ruf
nahi munkar tidak wajib ditunaikan kalau seseorang sudah istiqamah. Hal ini
jika tidak ada tafsir yang warid (datang) dari sunnah nabawiyah … .” (Jami’ li
Ahkamil Qur’an 6/221)
Tafsir dari sunnah
nabawiyah yang dimaksud oleh Imam Al Qurthubi adalah riwayat yang shahih dari
Abu Bakar As Shiddiq radhiallahu 'anhu bahwa beliau berdiri di mimbar
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kemudian memuji Allah lalu berkata :
“Wahai sekalian manusia, kalian telah membaca ayat ini (Al Maidah : 105) dan
kalian menempatkannya tidak pada tempatnya. Sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya manusia bila
melihat orang berbuat dhalim dan tidak mencegahnya maka Allah akan meratakan
mereka dengan adzab. (HR. Abu Dawud 4338. At Tirmidzi 2168 dan 3057. Ibnu Majah
4005. An Nasa’i dalam Sunan Al Kubra 5/303. Ahmad 1, 16, 29, 53. Ibnu Hibban
1837 dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Tirmidzi dan Nawawi dalam Riyadlus
Shalihin 202 dan disepakati oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah As Shahihah
1564)
Dari Abu Umaiyah As
Sya’bani, dia berkata, aku bertanya kepada Abu Tsa’labah Al Khusaini, wahai Abu
Tsalabah, bagaimana tafsir ayat ini (Al Maidah : 105) ? Beliau menjawab : [
Ketahuilah, Demi Allah, aku telah bertanya tentang ayat ini kepada orang yang
lebih mengetahui. Aku bertanya tentang ayat ini kepada Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam, maka beliau bersabda :
“Bahkan ber-amar ma’ruf
nahi munkar-lah kalian sampai kalian melihat kebakhilan ditaati, hawa nafsu
diikuti, dunia lebih diutamakan dan setiap orang merasa bangga dengan
pemikirannya, maka ketika itu jagalah dirimu dan biarkan orang-orang awam,
karena di belakang kalian nanti ada hari-hari (yang dilipatgandakan pahala)
kesabaran.
Orang yang sabar pada hari itu seperti orang yang menggenggam bara
api, orang yang beramal di kalangan mereka pahalanya seperti pahala lima puluh
orang yang beramal dengan sepertinya.” Abdullah Mubarak dan ‘Utbah bin Hakim
berkata :
“Wahai Rasulullah, seperti pahala lima puluh orang di antara mereka?”
Rasulullah menjawab : “Seperti pahala lima puluh orang di antara kalian
(shahabat).” (HR. Abu Daud 4341. At Tirmidzi 358 dan dia menghasankan hadits
ini. Ibnu Majah 4014. An Nasa’i 9/137. Ibnu Hibban 1850. Abu Nu’aim dalam
Hilyatul Auliya 2/30. Al Hakim 4/322 dan dia menshahihkannya. Dan disepakati
oleh Adz Dzahabi, Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar 2/64-65, Al Baghawi dalam
Syarhus Sunnah, beliau berkata : “Hadits ini shahih dengan syawahid-nya.” Lihat
Al Qabidluna ‘Alal Jamr halaman 12) ]
Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilali dalam kitabnya Al Qabidluna ‘alal Jamr 23-30 menjelaskan : [ Sebagian
Ahlul Ilmi berpendapat bahwa hadits Abu Tsa’labah Al Khusyani adalah dlaif,
karena dhahir matannya bertentangan dengan hadits Abu Bakar As Shiddiq di atas.
Ketahuilah wahai hamba yang
Muslim, sesungguhnya tak ada perselisihan antara hadits Abu Bakar dan hadits
Abu Tsa’labah Al Khusyani radhiallahu 'anhuma dan hal ini diketahui dari
beberapa segi :
1. Bahwa Abu Bakar radhiallahu 'anhu
menjelaskan kepada manusia bahwa mereka berhujah dengan ayat ini untuk
meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, sehingga mereka menempatkan
ayat ini tidak pada waktunya. Sedangkan hadits Abu Tsa’labah Al Khusyani
mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar dan menjelaskan waktu ayat ini. Dari sini
jelas bagi orang yang punya akal bahwa dua hadits ini ternyata sama dalam
masalah kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Abu Ja’far At Thahawi dalam
Musykilul Atsar 2/65 mengatakan : “Hadits ini (hadits Abu Bakar) kita pahami
bahwa makna ucapan Abu Bakar tentang manusia menempatkan ayat ini bukan pada
tempatnya adalah mereka mengamalkan ayat ini tidak pada waktunya. Padahal waktu
pengamalan ayat ini adalah pada jaman yang disifatkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits Abu Tsa’labah. Adapun jaman
sebelumnya maka Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk amar ma’ruf nahi
munkar hingga semua urusan dikembalikan kepada syariat Allah dan semua manusia
mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa yang dilarang
oleh-Nya.”
2. Bahwa hadits Abu Tsa’labah
menjelaskan saat amar ma’ruf nahi munkar tidak berguna karena terlalu bejat orang-orangnya.
Makna seperti ini telah masyhur di kalangan para shahabat di dalam menafsirkan
firman Allah dalam surat Al Maidah : 105 ini, di antaranya adalah :
a. Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu dia berkata
: “Tafsir ayat ini belum tiba masanya. Al Qur’an ketika diturunkan, ada di
antara ayat-ayatnya yang telah lewat masa tafsirnya sebelum diturunkan, ada
yang tafsirnya di jaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, ada yang tafsirnya
setelah wafat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, ada yang tafsirnya
terjadi setelah hari ini (masa Ibnu Mas’ud), ada pula yang tafsirnya terjadi
ketika kiamat dan berhubungan dengan masalah kiamat, serta ada juga yang
tafsirnya terjadi ketika hisab dan yang berhubungan dengan masalah Surga dan
neraka. Maka selama hati kalian satu, hawa nafsu kalian satu, kalian belum
terpecah menjadi bergolong-golongan dan sebagian kalian belum merasakan
serangan yang lain (maka wajib atas kalian untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar,
tetapi kalau sudah sebaliknya) maka masing-masing menjaga dirinya dan ketika
itulah tafsir ayat ini (Al Maidah : 105).” (Jami’ul Bayan 5/96 dan sanad hadits
ini dlaif)
b. Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma berkata :
“Ayat ini bukan untukku (shahabat) dan bukan pula untuk shahabatku (tabi’in),
karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Hendaklah orang
yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.’ Kami (para shahabat) adalah
orang-orang yang hadir, sedangkan kalian (tabi’in) adalah orang-orang yang
tidak hadir. Tetapi ayat ini untuk suatu kaum yang datang setelah kita yang
kalau mereka berbicara (berdakwah), tidak didengar tidak pula diterima.”
(Jami’ul Bayan 5/96 dan sanad hadits ini juga dlaif)
Sekalipun atsar-atsar yang
datang dari shahabat dalam menafsirkan ayat ini para perawinya tidak lepas dari
perbincangan para ulama, namun secara majmu’ (keseluruhan) dapat dijadikan
dalil bahwa masa ayat ini adalah akhir jaman, yaitu ketika umat sudah berpecah
menjadi bergolong-golongan.
3. Para ulama sejak dahulu sampai
sekarang telah menjelaskan kecocokan hadits Abu Bakar dengan hadits Abu
Tsa’labah Al Khusyani di antaranya adalah :
Abu Ja’far At Thahawi dalam
Musykilul Atsar 2/66 berkata : “Apa yang telah kita sebutkan merupakan tekanan
untuk menunaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar hingga tiba waktu gugurnya
kewajiban dan itu terjadi pada jaman yang disifatkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits Abu Tsa’labah, jaman di mana amar
ma’ruf nahi munkar tidak berguna dan orang yang menunaikannya tidak punya
kekuatan, maka ketika itulah masing-masing orang menjaga dirinya dan orang yang
sesat tidak akan memudlaratkannya.” ]
Disebutkan dalam hadits Abu
Tsa’labah bahwa di akhir jaman nanti akan ada hari-hari yang pada saat itu
pahala sabar dilipatgandakan dan orang-orang yang beramal pada waktu itu
pahalanya seperti pahala 50 orang shahabat yang beramal sepertinya. Barangkali
ada orang yang bertanya-tanya : “Kenapa pahala orang yang belakangan lebih
berlipat ganda dari orang yang dahulu?”
Para shahabat memang
mempunyai amal yang banyak yang tidak bisa ditandingi oleh seorangpun, tetapi
ada pula amal-amal yang pahalanya dapat menyaingi pahala amal para shahabat
kalau dikerjakan oleh orang-orang yang mengikhlaskan niat mereka dalam beramal
dan membebaskan amal mereka dari noda-noda bid’ah dan riya’.
Amar ma’ruf nahi munkar
adalah permasalahan yang besar, karenanya agama ini memulai ajaran-ajarannya
dan karenanya pula agama ini akan berakhir. Dulu di masa permulaan Islam,
sedikit sekali orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, karena masih
dominannya orang-orang kafir sehingga sangat sulit untuk menunaikan kewajiban
tersebut. Demikian pula pada akhir jaman, kaum Muslimin akan kembali kepada
kesulitan dalam amar ma’ruf nahi munkar karena kebenaran kabar Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa jaman akan rusak, fitnah-fitnah akan
bermunculan, kebathilan-kebathilan mulai dominan, banyak al haq dirubah-rubah
atau dikaburkan oleh orang banyak dan orang-orang Islam sudah meniru tata cara
hidup ahli kitab. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sungguh kalian akan
mengikuti tata cara hidup orang-orang sebelum kalian (ahli kitab), sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai kalaupun mereka masuk
lobang biawak yang runtuh kalian pun pasti akan ikut masuk. (Hadits shahih,
lihat Al Qabidluna ‘Alal Jamr, 34)
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Islam bermula dalam keadaan
asing dan akan kembali asing seperti semula. (Hadits shahih, lihat takhrij
hadits ini dalam Majalah Salafy edisi V rubrik Hadits dan lihat juga kitab
Thuba lil Ghuraba’ karya Syaikh Salim Al Hilali)
Kabar Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pasti benar, Islam akan kembali pada satu saat
sebagaimana asal muasalnya dan ketika itu amar ma’ruf nahi munkar akan melemah
sehingga orang yang menunaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar akan diliputi
oleh berbagai rintangan dan tantangan sehingga dilipatgandakan pahalanya lebih
daripada pahala orang-orang yang menunaikan amar ma’ruf nahi munkar dalam
keadaan aman, sedikit rintangan dan tantangan, dan banyak yang membantu. Sampai
akhirnya amar ma’ruf nahi munkar terputus sama sekali karena lemahnya keyakinan
dan kurangnya agama. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam besabda :
Tidak akan bangkit hari
kiamat, hingga tidak diucapkan lagi di muka bumi ini Allah, Allah. (HR. Muslim
dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu)
Ketika itulah seorang akan
berangan-angan ingin mati, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda :
Tidak akan bangkit hari
kiamat, sampai ada seorang yang melewati kubur seraya berkata : “Alangkah
baiknya jika seandainya aku yang berada di tempatnya (kuburnya).” (Muttafaqun
‘Alaihi dari Abi Hurairah radhiallahu 'anhu. Lihat Al Qabidluna ‘Alal Jamr
halaman 33-35)
Siapakah Orang Yang
Menggenggam Bara Api itu?
Di dalam hadits Abi
Tsa’labah ditegaskan bahwa di akhir jaman nanti akan ada hari-hari yang pada
saat itu pahala sabar akan dilipatgandakan dan orang yang sabar pada hari itu
seperti orang yang menggenggam bara api. Siapakah orang yang menggenggam bara
api tersebut?
Mereka adalah orang-orang
yang berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful
Ummah. Mereka adalah orang-orang yang belajar syariat agama ini dengan benar
dengan mengamalkannya kemudian mendakwahkannya. Mereka bukan orang-orang
hizbiyyah yang memecah belah umat dan mengotori fikrah dan pemahaman mereka dan
mengaburkan al haq serta menghiasi al bathil dengan al haq. Mereka tidak
mempunyai nama atau ciri-ciri khusus atau organisasi-organisasi khusus yang
dijadikan sebagai tanda untuk mengenali mereka. Kalau mereka ditanya tentang
siapakah guru mereka, mereka akan menjawab : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam.” Kalau ditanya tentang jalan hidupnya, mereka akan menjawab : “Ittiba’
(mengikuti sunnah-sunnah) Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kalau ditanya
tentang madzhabnya, mereka akan menjawab : “Tahkimus Sunnah (berhukum dengan
sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).” Kalau ditanya tentang
pakaiannya, mereka menjawab : “Libasut Taqwa (pakaian ketaqwaan).” Kalau
ditanya tentang maksud dan tujuannya, mereka akan menjawab : “Kami menginginkan
wajah Allah.” Kalau ditanya tentang nasabnya, mereka menjawab : “Bapak kami
adalah Islam, kami tidak mempunyai bapak selainnya.” Dan kalau ditanya tentang
ikatan hatinya, mereka menjawab :
“Di masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada
waktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan
tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat … .” (QS. An Nur : 36-37)
Mereka adalah satu golongan
yang sangat minim jumlahnya. Mereka asing di antara 72 golongan yang mempunyai
banyak pengikut, kedudukan, dan wilayah. Mereka adalah orang-orang yang
berjalan di atas ittiba’ kepada sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
sehingga mereka asing di antara sekian banyak orang yang berjalan di atas
kebid’ahan, hawa nafsu, khurafat, dan syubhat-syubhat. Mereka adalah orang
asing dalam agamanya di antara sekian banyak orang yang rusak agamanya. Mereka
asing di dalam berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam di antara sekian banyak orang yang berpegang teguh dengan
kebid’ahan-kebid’ahan dan hawa nafsu-hawa nafsu. Mereka asing di dalam
keyakinannya di antara sekian banyak orang yang kotor keyakinannya. Mereka
asing di dalam jalan hidupnya di antara sekian banyak orang sesat dan tidak
tahu arah jalan hidupnya. Walhasil, mereka adalah orang-orang yang asing dalam
urusan dunia dan akhiratnya, tidak mempunyai bala bantuan selain Allah
Subhanahu wa Ta'ala, orang-orang berilmu di antara orang-orang yang bodoh,
Ahlus Sunnah di antara ahlul bid’ah, da’i yang menyeru umat ke jalan Allah dan
Rasul-Nya di antara da’i-da’i yang menyeru umat kepada pintu-pintu neraka
jahanam, dan mereka adalah orang-orang yang selalu menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar di antara umat yang menganggap ma’ruf adalah munkar dan munkar adalah
perkara yang ma’ruf. (Madarijus Salihin 3/198-200, lihat pula Al Qabidluna
‘Alal Jamr halaman 44-49)
Mereka itulah orang-orang
yang menggenggam bara api. Pahala amal dan kesabaran mereka dilipatgandakan
oleh Allah karena mereka tetap istiqamah di atas al haq walaupun banyak
rintangan dan tantangan yang mempertaruhkan nyawa. Mudah-mudahan Allah
menjadikan kita semua tetap istiqamah di atas al haq dan dikaruniai kesabaran
oleh-Nya untuk menghadapi rintangan dan tantangan yang mempertaruhkan nyawa
sampai kita berjumpa dengan Allah di dalam sebaik-baik keadaan (husnul
khatimah). Amin.
Dengan demikian jelaslah
bahwa ayat di atas (Al Maidah : 105) menegaskan kepada kita akan kewajiban amar
ma’ruf nahi munkar sampai tiba waktu di saat amar ma’ruf nahi munkar tidak
berguna lagi. Maka yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana syariat Islam
mengajarkan kepada umatnya dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Amar ma’ruf nahi munkar
adalah masalah yang sangat besar dan agung, merupakan inti syariat yang dibawa
para Nabi secara umum dan Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
secara khusus dan inilah ciri-ciri dan sifat yang menjadikan umat ini sebagai
umat terbaik dan pilihan dan ini pula ciri-ciri kaum Mukminin. Kalau sampai
masalah ini ditiadakan atau dikaburkan pengertiannya niscaya agama ini akan
hancur, timbul kerusakan-kerusakan, kehancuran-kehancuran, dan akan rusaklah
dunia ini.
Amar ma’ruf nahi munkar
adalah tonggak agama dan inti dari semua syariat Islam. Kalau ada perkara
munkar yang dibiarkan padahal ada kemampuan untuk mencegahnya, niscaya adzab
Allah akan merata dan mengenai semuanya baik orang shalih maupun orang thalih.
Maka sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap Muslim yang ingin mendapatkan
ridha dari Allah untuk betul-betul memperhatikan masalah yang besar ini.
Amar ma’ruf nahi munkar
hukumnya adalah fardhu kifayah, kalau sudah ada yang menunaikan maka gugurlah
kewajiban yang lain, Allah berfirman :
Dan hendaklah di antara
kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada
kebajikan, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang
beruntung. (Ali Imran : 104)
Maksud dari ayat ini adalah
hendaknya ada segolongan dari umat ini yang menunaikan dan menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar.
Abu Bakar Ibnul Arabi dalam
tafsirnya mengatakan : “Ayat ini dan yang sesudahnya (Ali Imran : 110)
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu
kifayah dan termasuk amar ma’ruf nahi munkar adalah menolong dan membela agama
ini dengan menegakkan hujah kepada orang-orang yang menyimpang darinya.”
(Ahkamul Qur’an 1/292)
Akan tetapi kewajiban ini
dapat berubah menjadi fardhu ‘ain kalau kita melihat kemungkaran di suatu
tempat dan tidak ada yang mampu untuk mencegahnya selain kita. Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Barangsiapa di antara
kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia rubah (cegah) dengan tangannya,
kalau tidak mampu dengan lisannya, kalau tidak mampu juga maka dengan hatinya
dan ini adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim nomor 49 1/224 dengan syarah An
Nawawi)
Hadits ini menunjukkan
kewajiban amar ma’ruf nahi munkar bagi setiap individu yang mempunyai kemampuan
untuk mencegah atau melihatnya. (Qawaid wal Fawaid halaman 228)
Orang-orang yang menunaikan
amar ma’ruf nahi munkar harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Mukallaf (telah dibebani syariat), Muslim,
dan mampu untuk mencegah kemungkaran. Syarat ini adalah syarat wajibnya
pengingkaran, adapun anak kecil yang mumayiz boleh mencegah kemungkaran dan
diberi pahala. Kalau dia menunaikan, tetapi hal ini tidak wajib atasnya.
2. Mengetahui tempat-tempat atau
batasan-batasan di mana dia harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan batasan
yang dimaksud di sini adalah batasan syariat.
3. Mempunyai sikap wara’.
4. Berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia,
karena dengan ini, orang akan mudah menerima nasehatnya dan kemungkinan juga
mudah mencegah. Oleh karena itu Sufyan Ats Tsauri mengatakan : “Tidak boleh
ber-amar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang mempunyai tiga sifat, yaitu :
a. Lemah lembut dalam ber-amar ma’ruf nahi
munkar.
b. Adil dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar.
c. Mengilmui apa yang dia perintahkan dan
yang dia cegah.”
Imam Ahmad berkata : “Dalam
ber-amar ma’ruf nahi munkar orang membutuhkan kelembutan dan ke-tawadlu’-an.
Kalau orang-orang yang berbuat kemungkaran mengucapkan yang dia benci, dia
tidak marah. Beliau juga mengatakan : “Orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar
hendaklah lemah lembut dan tidak kasar, kecuali kepada orang yang
terang-terangan melakukan kefasikan.” (Lihat Mukhtashar Minhajul Qasidin 105
dan 120 dan Iqadhul Himam 466)
Kemudian dalam ber-amar
ma’ruf nahi munkar ini ada beberapa faktor pendorong yang harus diketahui oleh
setiap orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar. Di antaranya adalah :
1. Mencari pahala di sisi Allah Subhanahu wa
Ta'ala, karena orang yang menunjukkan orang lain kepada kebajikan, pahalanya
seperti orang yang melakukannya. Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Barangsiapa yang
menunjukkan orang kepada kebajikan, maka pahalanya seperti orang yang melakukan
(kebajikan). (HR. Muslim 4/557 dengan syarah An Nawawi)
2. Takut adzab Allah, karena kemungkaran kalau
sudah merajalela di tengah umat dan tidak ada yang mencegahnya, maka hal ini
merupakan tanda akan diturunkannya adzab oleh Allah. Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya : “Sesungguhnya manusia kalau melihat
orang berbuat dhalim dan tidak mencegahnya niscaya Allah akan ratakan mereka
dengan adzab.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, lihat Shahihul Jami’ 1969)
3. Menasehati umat, menyayangi mereka, dan
berharap supaya mereka selamat dari kesesatan dan api neraka.
4. Mengagungkan, memuliakan, dan cinta kepada
Allah. (Qawaid wal Fawaid 291-292)
Di dalam mengingkari
kemungkaran ada beberapa tingkatan yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dalam sabdanya :
“Siapa di antara kalian
yang melihat kemungkaran, hendaklah dia rubah (cegah) dengan tangannya, kalau
tidak mampu dengan lisannya, kalau tidak mampu juga maka dengan hatinya dan itu
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim nomor 49)
Di dalam hadits ini
dijelaskan adanya tiga tingkatan dalam mengingkari kemungkaran, yaitu dengan
tangan, lisan, dan hati. Maka mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan
itu wajib menurut kadar kemampuan. Tapi kalau mengingkarinya dengan hati itu
harus dan wajib, karena hati yang tidak mengetahui perkara ma’ruf dan tidak
mengingkari perkara munkar adalah hati yang rusak dan tidak ada cahaya keimanan
sedikitpun. Ibnu Mas’ud pernah mendengar seseorang berkata : “Celaka orang yang
ber-amar ma’ruf nahi munkar.” Maka beliau berkata : “Celaka orang yang hatinya
tidak mengetahui perkara ma’ruf dan perkara munkar.” Maksudnya adalah
mengetahui yang ma’ruf dan yang munkar dengan hati adalah perkara yang wajib
dan harus, tidak gugur kewajibannya bagi seorangpun. (Qawaid wal Fawaid 289 dan
lihat pula Iqadlul Himam 456-457)
Dalam ber-amar ma’ruf nahi
munkar ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang
melakukannya, antara lain :
1. Dia harus menjadi seorang tauladan yang
diikuti, berarti sebelum dia memerintahkan yang ma’ruf, dia adalah orang
pertama yang mengerjakannya dan sebelum dia melarang dari kemungkaran, dia
adalah orang pertama yang menjauhi dan meninggalkannya, sehingga amar ma’ruf
nahi munkar-nya mudah diterima. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa orang yang
kurang dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya
boleh untuk meninggalkan kewajiban
2. Dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar harus
memperhatikan batasan-batasan syariat dan membekali dirinya dengan ilmu agama
yang cukup, kelembutan, kesabaran, dan niat yang ikhlas karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala semata.
3. Jangan sampai amar ma’ruf nahi munkar-nya
membawa kepada mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dari kemungkaran itu.
(Lihat Al Qabidluna ‘Alal Jamr 40-41, Qawaid wal Fawaid 293, dan Adlwa’ul Bayan
2/172)
Dengan demikian jelaslah
bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah perkara yang agung dan besar, maka wajib
bagi setiap Muslim untuk betul-betul memperhatikannya dan melaksanakannya di
manapun dan kapanpun. Maka termasuk dari amar ma’ruf adalah memerintahkan kaum
Muslimin untuk mempelajari agama ini dengan benar dengan standar Al Qur’an dan
As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Sebaliknya menjauhkan kaum Muslimin
dari ilmu dan ulama atau mengkaburkan al haq bagi mereka adalah perbuatan
munkar yang harus dicegah.
Dan termasuk nahi munkar
adalah memperingatkan kaum Muslimin dari kebejatan bid’ah dan ahli bid’ah,
memperingatkan mereka dari harakah-harakah yang menyimpang dari jalan al haq
dan memperingatkan mereka dari buku ahlul bid’ah yang menyesatkan dan yang mengotori
pikiran-pikiran mereka, agar mereka tetap di atas manhaj yang haq dan tidak
bingung dalam mensikapi kebathilan.
Maraji’ :
1. Tafsir Jami’ul Bayan. Ibnu Jarir At
Thabari.
2. Tafsir li Ahkamil Qur’an. Imam Al Qurthubi.
3. Tafsir Ibnu Katsir. Abul Fida Ibnu Katsir
Ad Dimasyqi.
4. Ahkamul Qur’an. Abu Bakar Ibnul Arabi.
5. Daqaiqut Tafsir. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
6. Adlwa’ul Bayan. Syaikh Muhammad Amin As
Syinqithi.
7. Majmu’ Fatawa. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
8. Syarah Shahih Muslim. Imam An Nawawi.
9. Madarijus Salihin. Ibnul Qayyim Al
Jauziyyah.
10. Mukhtashar Minhajul Qasidin. Ibnu
Qudamah Al Maqdisi.
11. Iqadhul Himam. Syaikh Salim bin ‘Ied
Al Hilali.
12. Al Qabidluna ‘Alal Jamr. Syaikh Salim
bin ‘Ied Al Hilali.
13. Qawaid wal Fawaid. Syaikh Fadhim
Muhammad Sulthan.