1- Penggunaan alat
penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin, jika janin sudah
mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak diragukan
lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar
yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati
haram hukumnya menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Namun
jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan
boleh sebelum berbentuk darah, artinya
sebelum berumur 40 hari. Ada
pula yang menbolehkan jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih
hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali
jika ada kepentingan. Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu
lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini ia
boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah
berbentuk manusia maka hal ini tidak diperbolehkan. Wallahu A’lam.
2- Penggunaan alat penggugur kandungan
yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat
proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah
waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak
membahayakan bagi si ibu maupun anaknya yang tidak memerlukan operasi. Kalaupun
memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:
- jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Demikian, karena tubuh adalah amanat Allah subhaanahu wa ta’aala yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain itu , dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tetapi ternyata membawa bahaya.
- Jika ibu dan bayi yang di kandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
- Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh di lakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan dapat membahayakan si ibu. Sebab menurut pengalaman wallahu a’lam bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalaupun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
- Jika si ibu meninggal dunia, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya, karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan.
Pendapat yang
benar, boleh
dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika
tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah.
Dikatakan dalam kitab Al Inshaf :” pendapat ini yang lebih utama”.
Apalagi pada zaman sekarang
ini, operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan. Karena setelah perut
dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar
dari pada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang
terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung
adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a’lam.
Perhatihan:
Dalam hal diperbolehkannya
menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana di atas ( untuk mempercepat
proses kelahiran ) harus ada izin dari pemilik kandungan yaitu suami.