Kumpulan Kisah Nyata Kehidupan Zubair bin Awwam Radhiallahu ‘Anhu
Sejak manusia
di ciptakan oleh Tuhan sampai saat ini sudah berapa banyak fenomena-fenomena /
kejadian-kejadian di luar akal manusia, namun hal tersebut betul-betul terjadi
dengan se-izin Tuhan.
Kejadian tersebut merupakan kisah nyata bagi manusia agar manusia tersebut bisa mengambil kaca perbandingan, apakah kejadian tersebut merupakan hal yang baik atau sebaliknya, kalau baik bisa di ambil hikmahnya, namun kalu tidak baik alangkah baiknya bahkan seharusnya menghidarinya, coba kita lihat contoh nyata pada generasi adam ini :
Kumpulan Kisah Nyata Kehidupan Zubair |
Kejadian tersebut merupakan kisah nyata bagi manusia agar manusia tersebut bisa mengambil kaca perbandingan, apakah kejadian tersebut merupakan hal yang baik atau sebaliknya, kalau baik bisa di ambil hikmahnya, namun kalu tidak baik alangkah baiknya bahkan seharusnya menghidarinya, coba kita lihat contoh nyata pada generasi adam ini :
Zubair bin Awwam Radhiallahu ‘Anhu
1. Masa Kecil Hingga Hijrah ke Madinah
Hawari
Rasulullah ini dilahirkan 28 tahun sebelum hijrah, masuk Islam di Mekah saat
berusia 15 tahun melalui perantara Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Tentu
saja keislamannya menimbulkan kemarahan orang-orang kafir Quraisy, terutama
dari kalangan keluarganya.
Pamannya menggulung badannya dengan tikar, lalu dipanaskan dengan api agar ia kembali ke agama nenek moyangnya. Namun dengan keyakinan yang kuat ia katakan, “Aku tidak akan kembali kepada kekufuran selama-lamanya”.Di antara keistimewaan Zubair yang lainnya adalah ia turut serta dalam dua kali hijrah, hijrah ke Habasyah lalu menikah dengan putri Abu Bakar, Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha, kemudian ke Madinah dan mendapat anugerah putra pertama yang diberi nama Abdullah dan putra kedua Mush’ab radhiallahu ‘anhuma.
Pamannya menggulung badannya dengan tikar, lalu dipanaskan dengan api agar ia kembali ke agama nenek moyangnya. Namun dengan keyakinan yang kuat ia katakan, “Aku tidak akan kembali kepada kekufuran selama-lamanya”.Di antara keistimewaan Zubair yang lainnya adalah ia turut serta dalam dua kali hijrah, hijrah ke Habasyah lalu menikah dengan putri Abu Bakar, Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha, kemudian ke Madinah dan mendapat anugerah putra pertama yang diberi nama Abdullah dan putra kedua Mush’ab radhiallahu ‘anhuma.
2. Kedudukan Zubair
- Orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah adalah Zubair. Dari Aurah dan Ibnu al-Musayyib keduanya berkta, “Laki-laki pertama yang menghunuskan pedangnya di jalan Allah adalah Zubair.” Peristiwa tersebut terjadi saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diganggu, lalu ia menghunuskan pedangnya kepada orang-orang yang mengganggu Nabi.
- Orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah adalah Zubair. Dari Aurah dan Ibnu al-Musayyib keduanya berkta, “Laki-laki pertama yang menghunuskan pedangnya di jalan Allah adalah Zubair.” Peristiwa tersebut terjadi saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diganggu, lalu ia menghunuskan pedangnya kepada orang-orang yang mengganggu Nabi.
-
Hawari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda di hari Perang Ahzab, “Siapa yang akan
memerangi Bani Quraidhah?” Zubair menjawab, “Saya (ya Rasulullah)” Beliau
kembali bertanya, “Siapa yang akan memerangi Bani Quraidhah?” Zubair kembali
merespon, “Saya” Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap nabi memiliki
hawari (teman-teman setia), dan hawariku adalah Zubair.”
-
Malaikat Jibril tampil dengan fisik Zubair bin Awwam di Perang Badar. Dari
Aurah bin Zubair, “Zubair mengenakan mantel kuning (di hari itu), lalu Jibril
turun dengan menyerupai Zubair. Di Perang Badar, Rasulullah menempatkan Zubair
di sayap kanan pasukan, lalu ada sosok Zubair dekat dengan Rasulullah, beliau
berkata kepadanya, “Perangilah mereka wahai Zubair!” Lalu orang itu menjawab,
“Aku bukan Zubair.” Akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa itu adalah malaikat
yang Allah turunkan dengan sosok Zubair, untuk membantu kaum muslimin di Perang
Badar.
Sebagaimana
telah masyhur dalam sejarah, terjadi perselisihan antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang tuntutan hukum terhadap pembunuh Utsmani bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Perselisihan yang mengakibatkan peperangan di antara mereka karena disusupi oleh orang-orang yang mengadu domba. Perselisihan ini sekaligus ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi pencela sahabat Nabi atau kita tetap menghormati mereka sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah memuliakan mereka.
Perselisihan yang mengakibatkan peperangan di antara mereka karena disusupi oleh orang-orang yang mengadu domba. Perselisihan ini sekaligus ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi pencela sahabat Nabi atau kita tetap menghormati mereka sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah memuliakan mereka.
Ini
adalah di antara takdir-takdir Allah yang terjadi kepada para hamba-Nya.
Sebagaimana terjadi kepada bapak kita, Nabi Adam ‘alaihissalam. Lantaran Allah menakdirkan
agar manusia menetapi bumi sebagai tempat tinggal mereka, Allah takdirkan Nabi
Adam melakukan suatu perbuatan yang menyebabkannya dikeluarkan dari surga dan
diturunkan ke dunia.
Lalu apakah kita akan mencela Nabi Adam dengan mengatakan, “Seandainya Nabi Adam tidak memakan buah khuldi, pasti kita sekarang tidak perlu merasakan beratnya cobaan di dunia, kita pasti sekarang sedang menikmati indahnya tinggal di surga.” Tentu kita tidak akan mengatakan demikian bukan.. Sama halnya kita tidak mencela para sahabat Nabi dan melupakan keutamaan-keutamaan yang telah Allah dan Rasul-Nya sematkan untuk mereka. Kita hanya katakan,
Lalu apakah kita akan mencela Nabi Adam dengan mengatakan, “Seandainya Nabi Adam tidak memakan buah khuldi, pasti kita sekarang tidak perlu merasakan beratnya cobaan di dunia, kita pasti sekarang sedang menikmati indahnya tinggal di surga.” Tentu kita tidak akan mengatakan demikian bukan.. Sama halnya kita tidak mencela para sahabat Nabi dan melupakan keutamaan-keutamaan yang telah Allah dan Rasul-Nya sematkan untuk mereka. Kita hanya katakan,
إِذَا حَضَرَ القَدَرُ
ذَهَبَ البَصَرُ
“Kalau
takdir terjadi (telah ditetapkan), akal pun jadi hilang.”
Saat
terjadi perselisihan antara sahabat tersebut, dua orang ahli syura dan termasuk
orang yang dijamin masuk surga, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam berada di pihak yang berseberangan dengan Ali bin Abi Thalib. Kedua orang
sahabat Nabi ini, bertolak dari Mekah menuju Bashrah di Irak untuk menuntut
ditegakkannya hukum atas para pembunuh Utsman. Peristiwa itu terjadi para tahun
36 H, puncaknya, terjadi Perang Jamal.
Berlinang
air mata Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu melihat sekedup ibunda Aisyah berada di tengah medan perang,
lalu ia berteriak kepada Thalhah, “Wahai Thalhah, apakah engkau datang untuk
memerangi pengatinnya Rasulullah, sementara istrimu aman berada di rumah?” Lalu
Thalhah pun terperanjat dengan ucapan tersebut, ia berlari dari medan fitnah,
namun sebuah anak panah lepas dari busurnya dan tepat menyasar urat kakinya.
Karena pendarahan dari luka tersebut, setelah beberapa waktu, Thalhah radhiallahu ‘anhu pun
wafat.
Ali
juga mengingatkan Zubair, “Wahai Zubair, aku memanggilmu atas nama Allah.
Tidakkah engkau ingat, suatu hari dimana engkau lalui bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
saat itu kita berada di suatu tempat, Rasulullah bertanya kepadamu, ‘Wahai
Zubair, apakah engkau mencintai Ali?’
Kau
jawab, ‘Bagaimana bisa aku tidak mencintai anak dari pamanku (baik dari pihak
ayah ataupun ibu) dan dia seagama denganku’.
Beliau
melanjutkan sabdanya, ‘Demi Allah wahai Zubair, sungguh engkau akan
memeranginya dan saat itu engkau berada di pihak yang keliru’.”
Zubair
mengatakan, ‘Aku ingat sekarang, dan aku hilaf dari pesan beliau itu. Demi
Allah, aku tidak akan memerangimu.” Setelah pergi dari perang fitnah itu,
akhirnya saat sedang shalat, Zubair wafat dibunuh oleh seorang penghianat yang
bernama Amr bin Jurmuz.
Dalam
perselisihan yang terjadi antara para sahabat Nabi ini, penulis mengingatkan
agar para pembaca tidak ‘sembrono’ dalam bersikap sehingga mendudukkan sahabat
Nabi tidak pada kedudukan yang layak untuk mereka, sebagaimana yang telah Allah
dan Rasul-Nya tempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi di dalam agama kita.
Apa yang terjadi pada mereka adalah bagian takdir Allah yang Allah sendiri paling
tahu akan hikmah-hikmahnya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلنُّجُوْمُ
أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا
تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ
مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ
أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا
يُوْعَدُوْنَ
“Bintang-bintang
itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah
apa yang dijanjikan atas langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para
shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada
shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka (fitnah dan pembunuhan). Dan para
shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal
dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka’.” (HR. Muslim no.
2531).
Zubair
bin Awwam radhiallahu ‘anhu
wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 36 H. Saat itu beliau berusia 66 atau 67
tahun. Ia dibunuh oleh seorang yang bernama Amr bin Jurmuz.
Kabar wafatnya Zubair membawa duka yang mendalam bagi amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Nerakalah bagi pembunuh putra Shafiyyah ini.”
Saat pedang Zubair dibawakan ke hadapannya, Ali pun menciumi pedang tersebut sambil berurai air mata, lalu berucap “Demi Allah, pedang yang membuat pemilikinya mulia (dengan berjihad) dan dekat dengan Rasulullah (sebagai hawari pen.).
Kabar wafatnya Zubair membawa duka yang mendalam bagi amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Nerakalah bagi pembunuh putra Shafiyyah ini.”
Saat pedang Zubair dibawakan ke hadapannya, Ali pun menciumi pedang tersebut sambil berurai air mata, lalu berucap “Demi Allah, pedang yang membuat pemilikinya mulia (dengan berjihad) dan dekat dengan Rasulullah (sebagai hawari pen.).
Setelah
jasad Zubair dimakamkan, Ali mengucapkan kalimat perpisahan kepada Zubair,
“Sungguh aku berharap bahwa aku, Thalhah, Zubair, dan Utsman termasuk
orang-orang yang difirmankan Allah,
وَنَزَعْنَا مَا فِي
صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ
“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr: 47). Ali menatap kubur Thalhah dan Zubair sambil mengatakan, “Sungguh kedua telingaku ini mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thalhah dan Zubair berjalan di surga.”