STUDI ILMU PEMIKIRAN DALAM
ISLAM
Ilmu Kalam/Teologi Islam,
adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara
rasional. Berkenaan dengan itu, maka obyek forma teologi yaitu permasalahan ketuhanan dan segala
sesuatu yang berkait dengan-Nya. Sementara metodologinya, yaitu upaya memahami ayat-ayat
al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam diikuti elaborasi pemaman dengan
fakta-fakta empirik.
Biasa dikenal dengan istilah dialog ilmiah keagamaan.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi islam, berada satu rumpun
dalam disiplin ilmu Pemikiran dalam
Islam (Teologi Islam, Filsafat Islam, dan Tasawuf). Secara ilmiah, teologi
islam, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, teologi islam klasik teoritik.
Disiplin
ilmu ini, hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, yang selama ini
dibicarakan oleh berbagai aliran teologi di dunia Islam. Kedua, teologi islam kontemporer praktik.
Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-ayat Tuhan dan Sunah-sunah
Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial.
Teologi kedua ini dapat dikembangkan lagi menjadi
tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua, Teologi Pembebasan; dan ketiga, Teologi Sosial. Ketiga teologi islam
praktik ini, merupakan teologi-teologi yang membahas aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya,
untuk mengadvokasi obyek forma teologi itu.
Seperti teologi lingkungan, maksudnya yaitu pembahasan
secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen rasionalnya yang nilainya
berupaya mengadvokasi permasalahan lingkungan alam semesta. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi
dengan menampilkan kajian seperti: teologi pemeliharaan lingkungan, teologi sampah, teologi banjir, dan
yang sebangsanya.
Teologi transformative.
Maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argument rasionalnya
yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan perubahan. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti:
teologi pembebasan, teologi post modernisme, teologi sains,
dan yang sebangsanya.
Dan teologi sosial. Maksudnya
yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argument rasionalnya
yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan kemasyarakatan. Di sini dapat dikaji lebih
luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi populis, teologi
perdamaian, teologi kaum tertindas,
teolog gender, teologi feminis, teologi persamaan hak, dan yang sebangsanya.
Di dalam sejarah
perkembangannya, teologi -- di dunia Barat --
pada mulanya berkembang dari:
Pertama, sebagai metodologi
teologi. Sebagai sebuah metodologi teologi merupakan suatu cara memahami doktrin Agama
melalui pendekatan wahyu dan pemikiran rasionalnya.
Kedua,
menjadi ilmu teologi. Sebagai sebuah
ilmu, teologi merupakan ilmu yang membahas masalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait
dengan-Nya. Dan ketiga, menjadi teologi aksiologi. Sebagai sebuah eksiologi
teologi merupakan upaya memahami
doktrin Agama secara mendalam untuk mengadvokasi berbagai permasalahan ketimpangan
sosial.
Wilayah kajian teologi
menyangkut:
Aspek tokoh teologi;
karya-karya para teolog;
gagasan atau idea para teolog;
sejarah
perkembangan (tokoh-tokoh, karya-karya,dan gagasan para teolog); pengaruh
timbal balik antara tokoh,
karyakarya, dan gagasan para teolog dengan ipoleksosbudagama;
perbandingan (tokoh, karya-karya, dan
gagasan); dan selain hal yang tersebut di depan ini.
Berkenaan dengan itu, maka berbagai
metodologi/pendekatan penelitiannya, dapat menggunakan berragam metodologi penelitian. Hal ini
disesuaikan dengan aspek teologi apa yang akan diteliti oleh para pengkajinya. Umpamanya, untuk meneliti
tokoh teolog, dapat digunakan pendekatan historis, atau sosiologis. Untuk meneliti gagasan teolog, dapat
digunakan pendekatan antropologi, fenomenologi, strukturalism, atau selain
pendekatan-pendekatan tersebut.
I. ONTOLOGI
A. Nama dan Definisi Teologi Islam
Teologi Islam diisitilahkan
oleh berbagai pakarnya dengan berragam
nama, antara lain: Abu Hanifah (d.150H/767M)
memberinya nama dengan istilah ‘ilmu
fiqh al-akbar. Imam Syafi’ie (d.204H/819 M), Imam Malik
(d.179H/795M), dan Imam Ja’far al-Sadiq (148H/765M) memberinya nama dengan
istilah ‘Ilmu al-Kalam, dengan istilah tokohnya disebut sebagai al-Mutakallimun.
Imam al-Asy’ari
(d.324H/935M), al-Bagdady (d.429H/1037M), dan beberapa tokoh al-Azhar
University memberinya nama dengan
istilah ‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi (d.331H/942M), al-Ghazali (d.505H/1111M), al-Thusi
(d.671H/1272M), dan al-Iji (756H/ 1355M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar (d.415H/1024M) memberinya nama
dengan istilah ‘Ilmu al-Nadhar wa
al-Istidlal.
Al-Taftazani memberinya
nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid wa
al-Shifah. Muhammad ‘Abduh (d.1323H/1905M)
memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu
al-Tauhid. Harry Austyn Wolfson memberi
nama dengan istilah The Philosophy of
Kalam. Ahmad Mahmud Shubhy memberinya
nama dengan istilah ‘Ilmi al-Kalam.
M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology. C A Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica Teology. Sementara itu Harun Nasution (d.2000 M)
memberi nama dengan istilah Teologi Islam. Dari beberapa nama yang
menjadi istilah, -- berkembang selama ini --, tidak
dapat dipungkiri bahwa sebenarnya istilah
ilmu kalam itu merupakan transformasi dari pemikiran teologi (‘Ilmu al-lahut),
yang telah berkembang di dunia Barat pada masa sebelumnya.
Berkenaan dengan itu,
terdapat pakar yang mendefinisikan ilmu kalam/Ilmu al-lahut sebagai discourse or reason concerning God (
diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Bahkan dengan mengutip istilah yang
diberikan oleh William Ockham, L Reese menyatakan bahwa Theology to be a
discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and
science (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan kebenaran
wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen).
Dengan
nada yang hampir sama Ibn Khaldun seperti dikutip oleh Mushthafa Abd. Al-Raziq
mendefinisikan ‘Ilmu kalam sebagai ‘Ilmu
al-Kalam huwa ‘Ilmun yatadlammanu al-hujjaja ‘an ‘aqa idi al-Imaniyyah bi
al-adillah al-‘aqliyyah (Ilmu kalam yaitu sebuah disiplin ilmu berkaitan dengan
keimanan yang diperkuat dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional).
B. Rumpun Disiplin Ilmu Teolog Islam.
Disiplin ilmu Teologi Islam
yang subyek matternya masalah ketuhanan, berpangkal dari bidang ilmu
aqidah. Ilmu ini bertujuan untuk maksud
menyempurnakan nilai-nilai spiritual manusia.
Kondisi ini, disiplin ilmu
teologi islam, masih satu rumpun dalam
disiplin ilmu-ilmu keislaman rasional.
Rumpun disiplin ini
dinyatakan sebagai disiplin ilmu-ilmu pemikiran dalam islam, yang
didalamnya mencakup: Sub disiplin
teologi islam sendiri, filsafat islam,
dan tasawuf dalam islam.
Secara ilmiah, --
dalam rangka pengembangan -- sebenarnya, teologi islam ini juga dapat
didekati lewat berbagai metode, sehingga dapat menimbulkan beberapa ranting sub
disiplin teologi islam baru. Antara lain: Dengan pendekatan rasional empirik, teologi islam ini dapat menumbuhkan disiplin
teologi yang bernilai aksiologis.
Seperti:
teologi sosial, teologi feminis, teologi seni, teologi ekonomi, teologi
masyarakat kelas bawah, teologi kemiskinan,
dan selain hal-hal tersebut. Sementara itu dengan pendekatan rasional
murni (filsafat), akan menumbuhkan disiplin ilmu-ilmu teologi islam lain
seperti teologi transformatif, teologi sunnatullah, dan selain dua hal
tersebut.
C. Obyek Kajian teologi islam
Teologi islam sebagai
sebuah disiplin ilmu, mempunyai obyek
kajian tersendiri. Obyek kajiannya yaitu
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya.
Berkenaan dengan itu,
maka teologi islam membicarakan keyakinan kebenaran ketuhanan keagamaan islam,
bukan mencari kebenaran keagamaan islam. C A Qadir mengistilahkan obyek kajian teologi islam ini
sebagai problema atas dasar pengakuan eksistensi Tuhan beserta sifat-sifat-Nya
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya.
D. Sejarah
Perkembangan Disiplin Ilmu Teologi Islam
Secara historis, teologi
islam --
yang di Barat dikenal dengan istilah teologi --
bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial
(teologi sebagai sebuah
axiologi/Theology as Axiology) yang berkembang pada masanya.
Untuk kepentingan
ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat
dijadikan argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang
substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi. Terhadap masalah
ini, Philip Bob Cock menyatakan Theology is (A) Rational interpretation of religious faith, practice, and exercise (teologi yaitu upaya memahami keyakinan,
perbuatan, dan pengalaman keagamaan secara rasional).
Belakangan, teologi berkembang menjadi sebuah
metodologi (Theology as Method). Sebagai
sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu diantara beberapa
pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam
perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman.
Seorang
pakar yang banyak mengkaji Perbandingan Agama menyatakan bahwa Theological method must always be a secondary
matter for comparative theology, subsidiary to converse interpretations of the
specific symbols of a particular religious tradition. It is helpful, therefore,
to reflect on what kind of general theological method may be contemporary
comparative theologians despite otherwise sharp differences among them.
Pada
masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu
(Theology as Science). Sebagai sebuah
disiplin ilmu, di dunia islam, teologi
islam berkembang sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin
Hanafiah, para tokoh Mu’tazilah.
Adapun orang pertama yang membentangkan
pemikiran ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya yaitu Imam al-Asy’ari,
seorang tokoh teologi Suni, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga
al-Ibanah ‘an ushul al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian
tersendiri, yaitu membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran keagamaan islam;
ilmu ini juga telah
tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu;
dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan
seorang Muslim, yaitu dalam aspek nuthqun bi al-lisan.
Berkenaan dengan itu, --
di dunia Barat -- seorang teolog,
menyatakan bahwa di dalam teologi berkembang istilah Teologica Systematika. Teologi ini
menguraikan tentang dogmatika, etika, dan filsafat agama. Ada juga istilah
Teologia Historica.
Teologi ini menguraikan tentang kitab suci, sejarah Gereja,
sejarah dogma, dan sejarah agama. Juga ada istilah Teologia Practica. Teologi ini menguraikan tentang homeletik,
katechetik, dan liturgi. Pada akhir-akhir ini teologi islam, telah berusaha
menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan sosial, atau teologi menjadi sebuah
axiologi.
Hal ini tampak dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi
feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi
transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi. Semua
peristilahan itu pada dasarnya merupakan sebuah kajian ilmiah yang di dalamnya
berbicara mengenai ayat-ayat al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya sebagai sumber
primer keagamaan islam yang -- secara tematik --mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan
ketimpangan sosial.
Pendekatan dari teologi-teologi itupun telah mengalami
perkembangan. Maksudnya, teolog ini bukan menggunakan pendekatan teologi lagi,
tetapi sudah merambah dengan menggunakan pendekatan empirik berupa sains, dan
filsafatnya.
II. EPISTEMOLOGI
Dari sisi metodologinya,
teologi islam merupakan sebuah disiplin ilmu yang cara menyusun kajian
keilmuannya, bermula dari upaya pengkaji(saintis) mengkaji atau memahami secara
mendalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-sunnah Rasulullah Muhammad SAW, lalu
diikuti dengan upaya mengelaborasinya, sebagai penyempurna argumen dengan
memberikan fakta-fakta empirik dari pandangan maupun penemuan para saintis sebagai
argumen rasional yang memperkuatnya.
Pendekatan semacam ini disebut
sebagai Pendekatan Teologi, atau metode Dialektika Teologis, atau
metode Dialog Ilmiah Keagamaan,
atau metode Dialektika saja.
Keempat istilah ini, pada dasarnya bermaksud sama. Karena yang dimaksud dengan
dialektika, (Bhs. Yunani dialektike atau
dialektikos, sebagai seni berbincang-bincang,atau diskusi).Seorang
ilmuwan menyatakan menyatakan bahwa dialectic
sebagai art of logical disputation (seni mengadu logika).
Pada mulanya
dialektika merupakan ketrampilan seorang dialektik dalam menggunakan argumen
logika atau debat, utamanya pada turnamen-turnamen debat yang tujuan utamanya
untuk membantah sebuah argumen lawan atau mengarahkan lawan agar argumennya
kontradiktif, dilematis, dan paradoks.
Upayanya antara lain: mencoba tidak
membiarkan sesuatupun tesis untuk tidak dipertanyakan lewat antitesis, sehingga
ketika debat akan berakhir, diharapkan sampai pada sebuah sintesis. Hal ini
dilakukan dengan mengkonter tesis-tesis seorang dialektis via
antitesis-antitesis dengan baik. Dinyatakan dalam teologinya Plato (428-348 SM)
dialektika merupakan metode metafisika. Maksudnya sebagai upaya menghasilkan
pengetahuan tertinggi.
Dialektika ini dikritik oleh Aristoteles (384-322 SM)
karena dianggap sebagai sama dengan sophistri. Meski demikian, --
katanya -- dialektika mampu menjadi sebuah metode kritik. Neoplatonis (Plotinus/205-279)
menganggap bahwa dialektika sebagai bagian dari perdebatan ke jalan menaik
menuju yang satu. Lalu, di tangan teolog Perancis, Peter Abelardus (1079-1142)
dan kawan-kawannya, metode dialektika menjadi metode Skolastisisme.
Friedrich
Engels (1820-1895) menggunakan istilah dialektika sebagai Materialisme Dialektis. Tetapi Johann
Gottlieb Fichte (1762-1814) merupakan orang pertama yang memaparkan bahwa
proses dialektika perlu melalui tiga tahap:
Tesis, Antitesis, dan Sintesis.
Pada akhirnya, ketika sebuah dialog ilmiah keagamaan, telah menggunakan
proses dialektika tiga tahapan pendekatan kritis ini, akan dihasilkan pemikiran
yang sangat mendalam.
Adanya metode teologi yang jelas ini, harus diakui bahwa
teologi telah memenuhi kelayakan disebut sebagai sebuah ilmu. Bahkan seorang
pakar teologi menyatakan bahwa Theology
as science claims the status of science, and this claim is supported by its
publications and its place among university disciplines.
Pada saat ini, ketika
ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, ditambah dengan
argumen-argumrn rasionalnya, telah dijadikan sebagai advokasi bagi ketimpangan
sosial, maka istilah ini juga disebut sebagai teologi. Dan teologi seperti
inilah, yang akhir-akhir ini lebih berkembang. Teologi dalam pengertian ini,
secara substansial sebagai teologi axiologi, seperti teologi feminis, dan
lain-lainnya.
III. AKSIOLOGI
Sebagai sebuah disiplin
ilmu, teologi islam mempunyai manfaat yang sangat banyak, antara lain:
1. Teologi islam sebagai
sebuah disiplin ilmu merupakan salah satu dari tiga fondasi islam yang
pemahamannya harus ada di dalam diri seseorang, sehingga ia dapat dianggap
sebagai seorang manusia yang beriman. Dinyatakan
bahwa definisi iman itu,
Pertama, nuthqun bi al-lisan (menyatakan keislaman secara lisan) harus
berlandaskan ilmu yang kuat, dan ilmu yang menguatkannya antara lain, yaitu Ilmu
kalam ini.
Kedua, ‘amalun bi
al-arkan (melaksanakan keislaman
secara fisikal) harus berlandaskan ilmu yang hak, dan ilmu yang menjelaskannya
antara lain yaitu ilmu fiqh.
Ketiga, tashdiqun bi
al-qalbi(membenarkan keislaman dengan hatinya) harus berpangkal dari ilmu batin
yang benar, dan ilmu yang membeberkannya yaitu ilmu tasawuf.
Untuk maksud itu,
memahami dan mendalami teologi islam (ketuhanan, sifat, asma Allah SWT, dan
segala sesuatu yang berkait dengan-Nya) menjadi hal yang sangat urgen, karena
dapat memberikan landasan . Lihat C A Qadir. Philosophy….dst. Hlm. 46-47. Bandingkan
dengan Paul Edwards (ed. in Chief).
The
Encyclopedia of Philosophy. Vol.II. New
York: Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press. Hlm. 385-397; Jo.
Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Hlm. 161-164.Jo Penulis Rosda. Kamus Filsafat.
Hlm.78-80. A S Hornby. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English.
Hlm. 238. Sophistry adalah penalaran yang salah secara sengaja untuk menipu,
menyesatkan, atau membela sesuatutanpa memperhatikan nilai atau kebenarannya.
Lihat Mircea Eliade The
Encyclopedia…dst. Hlm. 460 yang kuat
bagi kebenaran keyakinan keberislaman atau keberagamaan seseorang. Dalam hal
ini, menjadi kekuatan keimanan seorang beragama (muslim).
2. Aspek-aspek ketuhanan,
bahkan merambah mengisi pada berbagai organisasi tertentu, antara lain yang
menyatakan dirinya sebagai aliran
kebatinan. Lalu, beberapa tokoh aliran kebatinan telah meyatakan dirinya
sebagai nabi, karena katanya tokoh itu telah menerima wangsit dari Tuhan.
Dengan segala dampaknya, -- sampai hari ini -- hal
ini masih saja terjadi. Berikutnya telah menimbulkan banyak konflik antar
maupun internal umat beragama.
Untuk kepentingan pembangunan yang
berkelanjutan, agar umat beragama dapat selalu hidup dalam ketenteraman dan
kedamaian -- tidak selalu terlibat dalam konflik, karena eksistensi sumber
konflik antara lain, sebagai dampak dari terdapatnya pernyataan beberapa oknum
bahwa sampai hari ini masih terdapatnabi baru – pernyataan seperti itu diperlukan
kajian aspek teologinya yang mendalam, agar dapat terpeta dengan baik dan
ilmiah, apakah pernyataan yang merupakan
pemikiran teologi sesuatu tokoh aliran keagamaan atau sekte tertentu itu masih
dalam koridor pemikiran teologi yang selama ini telah diakuikeabsahannya oleh
para ahlinya, atau merupakan sebuah pemikiran teologi netral dan mandiri.
Dari
sini, lalu hasil kajian ilmiah itu dapat dijadikan sebagai bahan kebijakan oleh
pemerintah dalam membuat keputusan. Dari sini, lalu pemikiran teologi yang
berkembang itu layak dikembangkan, atau perlu dilakukan pelarangan, karena
telah minimbulkan konflik antar maupun internal umat beragama. Dari kajian ini,
pada gilirannya keputusan pemerintah tentang pengembangan atau pelarangan
pemikiran teologi itu tidak merugikan berbagai pihak yang berdampak pada
diskriminasi, bahkan dapat dianggap pemerintah telah melanggar HAM.
3. Pada saat yang lain
lagi --
aspek ketuhanan --, justru sangat
mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena keyakinan terjadinya takdir atau nasib
seseorang dapat menjadikan kehidupannya sangat dinamisatau fatalis. Semua
pemikiran itu sangat dipengaruhi oleh belenggu atau tercerahkan pemikirannya
orang itu dalam memahami pemikiran teologi di dalam kehidupannya.
Ketika
seseorang meyakini bahwa semua daya manusia tidak mempunyai peranan sama sekali
di dalam kehidupannya, disebabkan karena keyakinan takdir/nasibnya telah
ditentukan oleh Tuhannya -- sebagaimana dinyatakan oleh para pengikut aliran
teologi Jabariyah -- karena Tuhan
berkuasa secara mutlak, sehingga usaha di dalam kehidupannya dianggapnya
sebagai upaya yang sia-sia saja.
Berkenaan dengan itu maka ia akan menjadi
manusia yang sangat fatalis di dalam kehidupannya. Di dalam hal seperti ini,
Tuhan tampak berperan di depan manusia -- seperti peribahasa -- Tuhan ing
ngarso sung tulodo. Tetapi, kalau dengan teologinya manusia meyakini bahwa daya
manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, karena Tuhan telah
memberikan daya kepada manusia sejak ia lahir, sehinggaterserah terhadap
manusianya apakah dengan daya itu ia akan menjadi manusia yang sukses atau
gagal -- sebagaimana dinyatakan oleh para pengikut aliran teologi Mu’tazilah --
hal semacam ini akan menjadikan manusia yang berpegang pada pemikiran teologi
ini sangat dinamik di dalam kehidupannya.
Hal ini, karena keyakinannya bahwa
takdirnya sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mengembangkan atau tak peduli
pada bakat dari dayanya. Dari sini lalu Tuhan akan memberikan takdir kepadanya.
Di dalam hal seperti ini, Tuhan tampak berperan di belakang manusia -- seperti
peribahasa -- Tuhan tut wuri handayani terhadap kemauan manusia. Hanya kekurangannya, tipe manusia penganut
teologi ini dapat bersifat arogan, karena nyaris menafikan peran Tuhan di dalam
kehidupannya.Lain halnya, kalau dengan teologinya manusia meyakini, bahwa
takdirnya merupakan kerjasama antara kehendak Tuhan dengan kreasi daya dirinya.
Di sini, seseorang
berkeyakinan bahwa kehendak Tuhan merupakan kebijakan bagi dirinya, sementara
kreasi daya dirinya merupakan teknis pelaksanaannya --demikian pemikiran menganut teologi
Asy’ariyah yang konvergensis --. Maka
keberhasilan atau tidaknya takdir dirinya akan tampak, sejauhmana besaran daya
kreasi teknis dirinya dalam mempengaruhi kebijakan kehendak Tuhannya.
Kalau besaran
daya kreasi teknis dirinya melebih kebijakan kehendak Tuhan, pastilah daya
kreasi dirinya akan berhasil atau sukses menjadi takdir bagi dirinya. Tetapi,
kalau besaran daya kreasi teknis dirinya tidak melebihi kebijakan kehendak
Tuhan, pastilah kebijakan Tuhannya yang tetap terjadi, hanya porsinya, besaran
daya kreasi teknisnya, telah mengurangi kebijakan kehendak Tuhannya. Disini Tuhan berperan
bekerjasama dengan manusia -- seperti peribahasa -- ing
madya mangun karso.
4. Secara historis, teologi
islam sebagai sebuah metodologi, merupakan salah satu cara pandang diantara
berragam cara pandang di dalam memahami
nilai-nilai keagamaan. Ia juga telah digunakan oleh para pakar muslim dalam
memahami berbagai fenomena keagamaan maupun sosial, dengan berbagai
kekurangannya. Untuk itu, dengan segala konsekwensinya, lalu teologi islam
dalam persfektif ini merupakan sebuah disiplin ilmu yang sangat urgen untuk
dikaji secara lebih mendalam.
5. Pada akhir-akhir ini,
teologi islam sebagai sebuah aksiologi, telah banyak ditulis para pakar.
Tulisan itu dengan maksud untuk mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial;
baik aspek sosial keperempuanan, seperti
teologi gender, atau teologi feminisme; juga aspek sosial kemiskinan dan
ketertindasan, seperti teologi kemiskinan atau teologi transformatifnya, dan
selain hal tersebut di depan.
Untuk maksud itu, maka
mengkaji teologi islam dalam persfektif
ini merupakan sebuah upaya mengadvokasi ketimpangan sosial. Caranya dengan
memahami secara mendalam wahyu Tuhan dan Sunah Rasul-Nya, via mengembangkan
disiplin teologi tertentu sesuai dengan obyek yang diinginkannya. Dengan
teologi ini diharapkan ketimpangan
sosial yang terjadi dapat tereleminasi atau kalau mungkin teratasi secara baik
dan benar.
IV. Peta Wilayah Kajian dan Penelitian Teologi
Islam.
Secara umum, hampir semua
disiplin ilmu pengetahuan sosial maupun humaniora, akan selalu mempunyai lima
wilayah kajian.
Pertama, berkaitan dengan kajian para tokohnya (Rijal al-‘ilm).
Kedua,berkaitan dengan karya-karyanya (umpamanya
kitab-kitabnya).
Ketiga, berkaitan dengan gagasan atau idea yang
dikemukakannya (umpamanya isi tulisannya).
Keempat, berkaitan dengan sejarah perkembangannya.
Kelima, berkaitan dengan
pengaruhnya. Kelima hal ini, apabila dicontohkan dalam judul penelitian, selain
peneliti dapat meneliti aspek tesisnya, juga seorang peneliti dapat meneliti
aspek antitesis, sintesis bahkan komparasinya dengan tesis, antitesis, atau
sintesis lainnya, umpamanya:
1. Model penelitian tokoh, seperti: “Kedudukan Harun
Nasution (sebagai seorang teolog Indonesia) , diantara beberapa tokoh teolog
dunia”.
2. Model penelitian
karya-karya tokoh, umpamanya: “ sebuah studi komparatif antara The Philosophy
of the Kalam, karya Harry Austryn Wolfson, dengan al-Milal wa al-Nihal, karya
al-Syahrastani”
3. Model Penelitian Gagasan/Ide/isi karya,
umpamanya: “ Sebuah tinjauan atas gagasan Creation of the World dalam
The Philosophy of the Kalam karya
Harry Austryn Wolfson”. Contoh lain: “Teologi Kebatinan Sunda karya Abdul Rozak”.
4. Model Penelitian Sejarah Perkembangan,
umpamanya:“ Sejarah perkembangan munculnya para tokoh ilmu kalam selama
pemerintahan Shahabat sampai dengan
khilafah Turki Usmani”.“ Sejarah perkembangan penulisan kitab/buku ilmu kalam
di Indonesia dari awal masuknya Islam di Indonesia, sampai kini”. “Sejarah
perkembangan -- isi gagasan tentang ilmu kalam --
ketuhanan, atau sifat-sifat, atau Asma-Nya, atau selain ketiga hal itu,
di dalam syair-syair, buku-buku sastra, Folklor atau selain itu di Indonesia”.
5. Model Penelitian Pengaruh, umpamanya: “Pengaruh
pemikiran teologi Harun Nasution terhadap perkembangan pemikiran teologi para
alumnus program Pascasarjana UIN Syahida Jakarta dalam membangun pola fikir
keislaman di Indonesia”. “Pengaruh kitab
al-Milal wa al-Nihal karya
al-Syahrastani di berbagai organisasi keagamaan Islam di Indonesia”.“Pengaruh
isi kitab Ilmu Tauhid karya Muhammad ‘Abduh di kalangan mahasiswa
IAIN/UIN/STAIN se Indonesia”.“ Pengaruh Ipoleksosbudagama dalam kehidupan para
tokoh teologi abad pertama hijriyah”.“Pengaruh tokoh teologi abad ke tiga
hijriyah terhadap perkembangan Ipoleksosbudagama”. Dan lain-lainnya selain
sampel-sampel di depan.
V. Metodologi yang digunakan di dalam penelitian
teologi.
Ketika seorang peneliti,
akan melakukan sebuah penelitian teologi, berkaitan dengan ayat-ayat suci
al-Qur’an atau al-Sunah, lalu metode yang digunakannya berupa metode dengan
ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah dikuatkan dengan pemikiran rasional, atau
biasa disebut sebagai metode dialog keagamaan, dan hasilnya, tampak dalam
bentuk tafsir-tafsir al-Qur’an atau al-Sunnah, inilah metode teologi yang
sebenarnya, dengan menghasilkan
pemikiran teologi. Dapat juga, memahami ayat al-Qur’an dan al-sunnah, lewat
pendekatan sains sosial, humaniora, bahkan kealaman.
Dan pasti hasilya akan
sangat berbeda. Ketika, seorang peneliti, akan melakukan sebuah penelitian
berkait dengan biografi tokoh teologi, maka seorang peneliti, dapat
menggunakan metode historis. Namun, ketika tokoh yang diteliti berkait dengan
aspek pengelolaan organisasinya, seorang peneliti dapat menggunakan metode
administrasi atau leadership atau manajemen atau decition makingnya, dan
lain-lain, selain sampel-sampel di depan.Ketika seorang peneliti akan melakukan
penelitian teologi, berkaitan dengan
interaksi sosial para tokohnya,
maka seorang peneliti dapat menggunakan metode sosiologi.
Ketika seorang
peneliti akan melakukan penelitian teologi, berkaitan dengan gagasan atau
pengaruhteologi seorang tokohnya, maka seorang peneliti dapat menggunakan
metode antropologi, strukturalisme, fenomenologi, politik, filologi, atau
psikologi dan berbagai disiplin ilmu lainnya, disesuaikan dengan gagasan apa
yang akan dikaji oleh peneliti itu, sehingga metode dapat sesuai dengan aspek
ontologi yang sedang dikajinya. Dari sini, dapat dinyatakan bahwa hampir semua
disiplin ilmu dapat digunakan sebagai cara pandang/approach/metode untuk
mengkaji berragam aspek keteologian, disesuaikan dengan ontologi apa yang
sedang dikajinya.