Saturday, October 11, 2014

FILSAFAT ILMU KALAM

STUDI ILMU PEMIKIRAN DALAM ISLAM

FILSAFAT ILMU KALAM
FILSAFAT ILMU KALAM

Ilmu Kalam/Teologi Islam, adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional. Berkenaan dengan itu, maka obyek forma teologi yaitu permasalahan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya. Sementara metodologinya, yaitu upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam diikuti elaborasi pemaman dengan fakta-fakta empirik. 


Biasa dikenal dengan istilah dialog ilmiah keagamaan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi islam, berada satu rumpun dalam disiplin  ilmu Pemikiran dalam Islam (Teologi Islam, Filsafat Islam, dan Tasawuf). Secara ilmiah, teologi islam, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:  Pertama, teologi islam klasik teoritik. 

Disiplin ilmu ini, hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, yang selama ini dibicarakan oleh berbagai aliran teologi di dunia Islam.  Kedua, teologi islam kontemporer praktik. Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-ayat Tuhan dan Sunah-sunah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial. 

Teologi kedua ini dapat dikembangkan lagi menjadi tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua, Teologi Pembebasan; dan ketiga, Teologi Sosial. Ketiga teologi islam praktik ini, merupakan teologi-teologi yang membahas aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, untuk mengadvokasi obyek forma teologi itu. 

Seperti teologi lingkungan, maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan lingkungan alam semesta. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi pemeliharaan lingkungan, teologi sampah, teologi banjir, dan yang sebangsanya. 

Teologi transformative. Maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argument rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan perubahan. Di sini dapat dikaji lebih  luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi pembebasan, teologi post modernisme, teologi sains, dan yang sebangsanya. 

Dan teologi sosial. Maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argument rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan kemasyarakatan. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi populis, teologi perdamaian, teologi kaum tertindas, teolog gender, teologi feminis, teologi persamaan hak, dan yang sebangsanya. 

Di dalam sejarah perkembangannya, teologi  --  di dunia Barat  --  pada mulanya berkembang dari: 

Pertama, sebagai metodologi teologi. Sebagai sebuah metodologi teologi merupakan suatu cara memahami doktrin Agama melalui pendekatan wahyu dan pemikiran rasionalnya.  

Kedua,  menjadi ilmu teologi. Sebagai sebuah ilmu, teologi merupakan ilmu yang membahas masalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya. Dan ketiga, menjadi teologi aksiologi. Sebagai sebuah eksiologi teologi merupakan upaya memahami doktrin Agama secara mendalam untuk mengadvokasi berbagai permasalahan ketimpangan sosial. 

Wilayah kajian teologi menyangkut: 
Aspek tokoh teologi; 
karya-karya para teolog; 
gagasan atau idea para teolog; 
sejarah perkembangan (tokoh-tokoh, karya-karya,dan gagasan para teolog); pengaruh timbal balik antara tokoh, karyakarya, dan gagasan para teolog dengan ipoleksosbudagama; 
perbandingan (tokoh, karya-karya, dan gagasan); dan selain hal yang tersebut di depan ini. 

Berkenaan dengan itu, maka berbagai metodologi/pendekatan penelitiannya, dapat menggunakan berragam metodologi penelitian. Hal ini disesuaikan dengan aspek teologi apa yang akan diteliti oleh para pengkajinya. Umpamanya, untuk meneliti tokoh teolog, dapat digunakan pendekatan historis, atau sosiologis. Untuk meneliti gagasan teolog, dapat digunakan pendekatan antropologi, fenomenologi, strukturalism, atau selain pendekatan-pendekatan tersebut.

I. ONTOLOGI

A.  Nama dan Definisi Teologi Islam

Teologi Islam diisitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan  berragam nama, antara lain: Abu Hanifah (d.150H/767M) memberinya nama dengan istilah  ‘ilmu fiqh al-akbar.  Imam Syafi’ie (d.204H/819 M), Imam Malik (d.179H/795M), dan Imam Ja’far al-Sadiq (148H/765M) memberinya nama dengan istilah  ‘Ilmu al-Kalam,  dengan istilah tokohnya disebut sebagai  al-Mutakallimun. 

Imam al-Asy’ari (d.324H/935M), al-Bagdady (d.429H/1037M), dan beberapa tokoh al-Azhar University memberinya nama dengan istilah  ‘Ilmu Ushul al-Din.  Al-Thahawi (d.331H/942M), al-Ghazali (d.505H/1111M), al-Thusi (d.671H/1272M), dan al-Iji (756H/ 1355M) memberinya nama dengan istilah  ‘Ilmu al-Aqa’id.  Abdu al-Jabbar (d.415H/1024M) memberinya nama dengan istilah  ‘Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal.  

Al-Taftazani memberinya nama dengan istilah  ‘Ilmu al-Tauhid wa al-Shifah. Muhammad ‘Abduh (d.1323H/1905M) memberinya nama dengan istilah  ‘Ilmu al-Tauhid.  Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah  The Philosophy of Kalam.  Ahmad Mahmud Shubhy memberinya nama dengan istilah  ‘Ilmi al-Kalam.  

M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology.  C A Qadir memberi nama dengan istilah  Dialectica Teology.  Sementara itu Harun Nasution (d.2000 M) memberi nama dengan istilah Teologi Islam. Dari beberapa nama yang menjadi istilah,  --  berkembang selama ini  --, tidak  dapat dipungkiri bahwa sebenarnya istilah ilmu kalam itu merupakan transformasi dari pemikiran teologi (‘Ilmu al-lahut), yang telah berkembang di dunia Barat pada masa sebelumnya. 

Berkenaan dengan itu, terdapat pakar yang mendefinisikan ilmu kalam/Ilmu al-lahut  sebagai discourse or reason concerning God ( diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan oleh William Ockham, L Reese menyatakan bahwa Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen). 

Dengan nada yang hampir sama Ibn Khaldun seperti dikutip oleh Mushthafa Abd. Al-Raziq mendefinisikan ‘Ilmu kalam sebagai  ‘Ilmu al-Kalam huwa ‘Ilmun yatadlammanu al-hujjaja ‘an ‘aqa idi al-Imaniyyah bi al-adillah al-‘aqliyyah (Ilmu kalam yaitu sebuah disiplin ilmu berkaitan dengan keimanan yang diperkuat dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional).

B.  Rumpun Disiplin Ilmu Teolog Islam.

Disiplin ilmu Teologi Islam yang subyek matternya masalah ketuhanan, berpangkal dari bidang ilmu aqidah.  Ilmu ini bertujuan untuk maksud menyempurnakan nilai-nilai spiritual manusia.

Kondisi ini, disiplin ilmu teologi islam, masih satu rumpun dalam  disiplin ilmu-ilmu keislaman rasional.

Rumpun disiplin ini dinyatakan sebagai  disiplin  ilmu-ilmu pemikiran dalam islam, yang didalamnya mencakup:  Sub disiplin teologi islam sendiri, filsafat islam,  dan  tasawuf  dalam islam.

Secara ilmiah,  --  dalam rangka pengembangan  --  sebenarnya, teologi islam ini juga dapat didekati lewat berbagai metode, sehingga dapat menimbulkan beberapa ranting sub disiplin teologi islam baru. Antara lain: Dengan pendekatan rasional empirik,  teologi islam ini dapat menumbuhkan disiplin teologi yang bernilai aksiologis. 

Seperti:  teologi sosial, teologi feminis, teologi seni, teologi ekonomi, teologi masyarakat kelas bawah, teologi kemiskinan,  dan selain hal-hal tersebut. Sementara itu dengan pendekatan rasional murni (filsafat), akan menumbuhkan disiplin ilmu-ilmu teologi islam lain seperti teologi transformatif, teologi sunnatullah, dan selain dua hal tersebut.

C.  Obyek Kajian teologi islam

Teologi islam sebagai sebuah disiplin ilmu, mempunyai  obyek kajian tersendiri.  Obyek kajiannya yaitu ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. 

Berkenaan dengan itu, maka teologi islam membicarakan keyakinan kebenaran ketuhanan keagamaan islam, bukan mencari kebenaran keagamaan islam. C A Qadir  mengistilahkan obyek kajian teologi islam ini sebagai problema atas dasar pengakuan eksistensi Tuhan beserta sifat-sifat-Nya dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya.

D. Sejarah Perkembangan Disiplin Ilmu Teologi Islam

Secara historis, teologi islam  --  yang di Barat dikenal dengan istilah teologi  --  bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi  sebagai sebuah axiologi/Theology as Axiology) yang berkembang pada masanya. 

Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi. Terhadap masalah ini, Philip Bob Cock menyatakan Theology is (A) Rational interpretation of  religious faith, practice, and exercise  (teologi yaitu upaya memahami keyakinan, perbuatan, dan pengalaman keagamaan secara rasional).  

Belakangan, teologi berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method).  Sebagai sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu diantara beberapa pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman. 

Seorang pakar yang banyak mengkaji Perbandingan Agama menyatakan bahwa  Theological method must always be a secondary matter for comparative theology, subsidiary to converse interpretations of the specific symbols of a particular religious tradition. It is helpful, therefore, to reflect on what kind of general theological method may be contemporary comparative theologians despite otherwise sharp differences among them. 

Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu (Theology as Science).  Sebagai sebuah disiplin ilmu, di  dunia islam, teologi islam berkembang sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, para tokoh Mu’tazilah. 

Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya yaitu Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran keagamaan islam; 

ilmu ini juga telah tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu dalam aspek nuthqun bi al-lisan. 

Berkenaan dengan itu, -- di dunia Barat --  seorang teolog, menyatakan bahwa di dalam teologi berkembang istilah  Teologica Systematika. Teologi ini menguraikan tentang dogmatika, etika, dan filsafat agama. Ada juga istilah Teologia Historica. 

Teologi ini menguraikan tentang kitab suci, sejarah Gereja, sejarah dogma, dan sejarah agama. Juga ada istilah  Teologia Practica.  Teologi ini menguraikan tentang homeletik, katechetik, dan liturgi. Pada akhir-akhir ini teologi islam, telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan sosial, atau teologi menjadi sebuah axiologi. 

Hal ini tampak dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada dasarnya merupakan sebuah kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya sebagai sumber primer keagamaan islam yang  --  secara tematik  --mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan ketimpangan sosial. 

Pendekatan dari teologi-teologi itupun telah mengalami perkembangan. Maksudnya, teolog ini bukan menggunakan pendekatan teologi lagi, tetapi sudah merambah dengan menggunakan pendekatan empirik berupa sains, dan filsafatnya.

II.  EPISTEMOLOGI

Dari sisi metodologinya, teologi islam merupakan sebuah disiplin ilmu yang cara menyusun kajian keilmuannya, bermula dari upaya pengkaji(saintis) mengkaji atau memahami secara mendalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-sunnah Rasulullah Muhammad SAW, lalu diikuti dengan upaya mengelaborasinya, sebagai penyempurna argumen dengan memberikan fakta-fakta empirik dari pandangan maupun penemuan para saintis sebagai argumen rasional yang memperkuatnya. 

Pendekatan semacam ini disebut sebagai  Pendekatan Teologi, atau  metode Dialektika Teologis,  atau  metode Dialog Ilmiah Keagamaan,  atau  metode Dialektika saja. Keempat istilah ini, pada dasarnya bermaksud sama. Karena yang dimaksud dengan dialektika, (Bhs. Yunani  dialektike  atau  dialektikos, sebagai seni berbincang-bincang,atau diskusi).Seorang ilmuwan menyatakan menyatakan bahwa dialectic  sebagai art of logical disputation (seni mengadu logika). 

Pada mulanya dialektika merupakan ketrampilan seorang dialektik dalam menggunakan argumen logika atau debat, utamanya pada turnamen-turnamen debat yang tujuan utamanya untuk membantah sebuah argumen lawan atau mengarahkan lawan agar argumennya kontradiktif, dilematis, dan paradoks. 

Upayanya antara lain: mencoba tidak membiarkan sesuatupun tesis untuk tidak dipertanyakan lewat antitesis, sehingga ketika debat akan berakhir, diharapkan sampai pada sebuah sintesis. Hal ini dilakukan dengan mengkonter tesis-tesis seorang dialektis via antitesis-antitesis dengan baik. Dinyatakan dalam teologinya Plato (428-348 SM) dialektika merupakan metode metafisika. Maksudnya sebagai upaya menghasilkan pengetahuan tertinggi. 

Dialektika ini dikritik oleh Aristoteles (384-322 SM) karena dianggap sebagai  sama dengan  sophistri. Meski demikian,  --  katanya  --  dialektika mampu menjadi sebuah  metode kritik. Neoplatonis (Plotinus/205-279) menganggap bahwa dialektika sebagai bagian dari perdebatan ke jalan menaik menuju yang satu. Lalu, di tangan teolog Perancis, Peter Abelardus (1079-1142) dan kawan-kawannya, metode dialektika menjadi metode Skolastisisme. 

Friedrich Engels (1820-1895) menggunakan istilah dialektika sebagai  Materialisme Dialektis. Tetapi Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) merupakan orang pertama yang memaparkan bahwa proses dialektika perlu melalui tiga tahap:  Tesis, Antitesis,  dan  Sintesis.  Pada akhirnya, ketika sebuah dialog ilmiah keagamaan, telah menggunakan proses dialektika tiga tahapan pendekatan kritis ini, akan dihasilkan pemikiran yang sangat mendalam. 

Adanya metode teologi yang jelas ini, harus diakui bahwa teologi telah memenuhi kelayakan disebut sebagai sebuah ilmu. Bahkan seorang pakar teologi menyatakan bahwa  Theology as science claims the status of science, and this claim is supported by its publications and its place among university disciplines. 

Pada saat ini, ketika ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, ditambah dengan argumen-argumrn rasionalnya, telah dijadikan sebagai advokasi bagi ketimpangan sosial, maka istilah ini juga disebut sebagai teologi. Dan teologi seperti inilah, yang akhir-akhir ini lebih berkembang. Teologi dalam pengertian ini, secara substansial sebagai teologi axiologi, seperti teologi feminis, dan lain-lainnya.

III.  AKSIOLOGI

Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi islam mempunyai manfaat yang sangat banyak, antara lain:

1. Teologi islam sebagai sebuah disiplin ilmu merupakan salah satu dari tiga fondasi islam yang pemahamannya harus ada di dalam diri seseorang, sehingga ia dapat dianggap sebagai seorang manusia yang beriman. Dinyatakan bahwa definisi iman itu,  

Pertama,  nuthqun bi al-lisan  (menyatakan keislaman secara lisan) harus berlandaskan ilmu yang kuat, dan ilmu yang menguatkannya antara lain, yaitu Ilmu kalam ini.  

Kedua,  ‘amalun bi  al-arkan  (melaksanakan keislaman secara fisikal) harus berlandaskan ilmu yang hak, dan ilmu yang menjelaskannya antara lain yaitu ilmu fiqh.  

Ketiga,  tashdiqun bi al-qalbi(membenarkan keislaman dengan hatinya) harus berpangkal dari ilmu batin yang benar, dan ilmu yang membeberkannya yaitu ilmu tasawuf. 

Untuk maksud itu, memahami dan mendalami teologi islam (ketuhanan, sifat, asma Allah SWT, dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya) menjadi hal yang sangat urgen, karena dapat memberikan landasan . Lihat C A Qadir. Philosophy….dst. Hlm. 46-47. Bandingkan dengan Paul Edwards (ed. in Chief).  

The Encyclopedia of Philosophy.  Vol.II. New York: Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press. Hlm. 385-397; Jo. Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Hlm. 161-164.Jo Penulis Rosda. Kamus Filsafat. Hlm.78-80. A S Hornby. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Hlm. 238. Sophistry adalah penalaran yang salah secara sengaja untuk menipu, menyesatkan, atau membela sesuatutanpa memperhatikan nilai atau kebenarannya. 

Lihat Mircea Eliade  The Encyclopedia…dst. Hlm. 460  yang kuat bagi kebenaran keyakinan keberislaman atau keberagamaan seseorang. Dalam hal ini, menjadi kekuatan keimanan seorang beragama (muslim).

2. Aspek-aspek ketuhanan, bahkan merambah mengisi pada berbagai organisasi tertentu, antara lain yang menyatakan dirinya  sebagai aliran kebatinan. Lalu, beberapa tokoh aliran kebatinan telah meyatakan dirinya sebagai nabi, karena katanya tokoh itu telah menerima wangsit dari Tuhan. 

Dengan segala dampaknya,  --  sampai hari ini  --  hal ini masih saja terjadi. Berikutnya telah menimbulkan banyak konflik antar maupun internal umat beragama. 

Untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan, agar umat beragama dapat selalu hidup dalam ketenteraman dan kedamaian -- tidak selalu terlibat dalam konflik, karena eksistensi sumber konflik antara lain, sebagai dampak dari terdapatnya pernyataan beberapa oknum bahwa sampai hari ini masih terdapatnabi baru – pernyataan seperti itu diperlukan kajian aspek teologinya yang mendalam, agar dapat terpeta dengan baik dan ilmiah, apakah pernyataan  yang merupakan pemikiran teologi sesuatu tokoh aliran keagamaan atau sekte tertentu itu masih dalam koridor pemikiran teologi yang selama ini telah diakuikeabsahannya oleh para ahlinya, atau merupakan sebuah pemikiran teologi netral dan mandiri. 

Dari sini, lalu hasil kajian ilmiah itu dapat dijadikan sebagai bahan kebijakan oleh pemerintah dalam membuat keputusan. Dari sini, lalu pemikiran teologi yang berkembang itu layak dikembangkan, atau perlu dilakukan pelarangan, karena telah minimbulkan konflik antar maupun internal umat beragama. Dari kajian ini, pada gilirannya keputusan pemerintah tentang pengembangan atau pelarangan pemikiran teologi itu tidak merugikan berbagai pihak yang berdampak pada diskriminasi, bahkan dapat dianggap pemerintah telah melanggar HAM.

3. Pada saat yang lain lagi  --  aspek ketuhanan  --, justru sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena keyakinan terjadinya takdir atau nasib seseorang dapat menjadikan kehidupannya sangat dinamisatau fatalis. Semua pemikiran itu sangat dipengaruhi oleh belenggu atau tercerahkan pemikirannya orang itu dalam memahami pemikiran teologi di dalam kehidupannya. 

Ketika seseorang meyakini bahwa semua daya manusia tidak mempunyai peranan sama sekali di dalam kehidupannya, disebabkan karena keyakinan takdir/nasibnya telah ditentukan oleh Tuhannya -- sebagaimana dinyatakan oleh para pengikut aliran teologi Jabariyah --  karena Tuhan berkuasa secara mutlak, sehingga usaha di dalam kehidupannya dianggapnya sebagai upaya yang sia-sia saja. 

Berkenaan dengan itu maka ia akan menjadi manusia yang sangat fatalis di dalam kehidupannya. Di dalam hal seperti ini, Tuhan tampak berperan di depan manusia -- seperti peribahasa -- Tuhan ing ngarso sung tulodo. Tetapi, kalau dengan teologinya manusia meyakini bahwa daya manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, karena Tuhan telah memberikan daya kepada manusia sejak ia lahir, sehinggaterserah terhadap manusianya apakah dengan daya itu ia akan menjadi manusia yang sukses atau gagal -- sebagaimana dinyatakan oleh para pengikut aliran teologi Mu’tazilah -- hal semacam ini akan menjadikan manusia yang berpegang pada pemikiran teologi ini sangat dinamik di dalam kehidupannya. 

Hal ini, karena keyakinannya bahwa takdirnya sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mengembangkan atau tak peduli pada bakat dari dayanya. Dari sini lalu Tuhan akan memberikan takdir kepadanya. Di dalam hal seperti ini, Tuhan tampak berperan di belakang manusia -- seperti peribahasa -- Tuhan tut wuri handayani terhadap kemauan manusia.  Hanya kekurangannya, tipe manusia penganut teologi ini dapat bersifat arogan, karena nyaris menafikan peran Tuhan di dalam kehidupannya.Lain halnya, kalau dengan teologinya manusia meyakini, bahwa takdirnya merupakan kerjasama antara kehendak Tuhan dengan  kreasi daya dirinya. 

Di sini, seseorang berkeyakinan bahwa kehendak Tuhan merupakan kebijakan bagi dirinya, sementara kreasi daya dirinya merupakan teknis pelaksanaannya  --demikian pemikiran menganut teologi Asy’ariyah yang konvergensis  --. Maka keberhasilan atau tidaknya takdir dirinya akan tampak, sejauhmana besaran daya kreasi teknis dirinya dalam mempengaruhi kebijakan kehendak Tuhannya. 

Kalau besaran daya kreasi teknis dirinya melebih kebijakan kehendak Tuhan, pastilah daya kreasi dirinya akan berhasil atau sukses menjadi takdir bagi dirinya. Tetapi, kalau besaran daya kreasi teknis dirinya tidak melebihi kebijakan kehendak Tuhan, pastilah kebijakan Tuhannya yang tetap terjadi, hanya porsinya, besaran daya kreasi teknisnya, telah mengurangi kebijakan  kehendak Tuhannya. Disini Tuhan berperan bekerjasama dengan manusia  --  seperti peribahasa  --  ing madya mangun karso.

4. Secara historis, teologi islam sebagai sebuah metodologi, merupakan salah satu cara pandang diantara berragam cara pandang di dalam  memahami nilai-nilai keagamaan. Ia juga telah digunakan oleh para pakar muslim dalam memahami berbagai fenomena keagamaan maupun sosial, dengan berbagai kekurangannya. Untuk itu, dengan segala konsekwensinya, lalu teologi islam dalam persfektif ini merupakan sebuah disiplin ilmu yang sangat urgen untuk dikaji secara lebih mendalam.

5. Pada akhir-akhir ini, teologi islam sebagai sebuah aksiologi, telah banyak ditulis para pakar. Tulisan itu dengan maksud untuk mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial; baik  aspek sosial keperempuanan, seperti teologi gender, atau teologi feminisme; juga aspek sosial kemiskinan dan ketertindasan, seperti teologi kemiskinan atau teologi transformatifnya, dan selain hal tersebut di depan.

Untuk maksud itu, maka mengkaji teologi  islam dalam persfektif ini merupakan sebuah upaya mengadvokasi ketimpangan sosial. Caranya dengan memahami secara mendalam wahyu Tuhan dan Sunah Rasul-Nya, via mengembangkan disiplin teologi tertentu sesuai dengan obyek yang diinginkannya. Dengan teologi  ini diharapkan ketimpangan sosial yang terjadi dapat tereleminasi atau kalau mungkin teratasi secara baik dan benar.

IV.  Peta Wilayah Kajian dan Penelitian Teologi Islam.

Secara umum, hampir semua disiplin ilmu pengetahuan sosial maupun humaniora, akan selalu mempunyai lima wilayah kajian. 

Pertama,  berkaitan dengan kajian para tokohnya  (Rijal al-‘ilm).  

Kedua,berkaitan dengan karya-karyanya (umpamanya kitab-kitabnya).  

Ketiga,  berkaitan dengan gagasan atau idea yang dikemukakannya (umpamanya isi tulisannya). 

Keempat,  berkaitan dengan sejarah perkembangannya.

Kelima, berkaitan dengan pengaruhnya. Kelima hal ini, apabila dicontohkan dalam judul penelitian, selain peneliti dapat meneliti aspek tesisnya, juga seorang peneliti dapat meneliti aspek antitesis, sintesis bahkan komparasinya dengan tesis, antitesis, atau sintesis lainnya, umpamanya:

1.  Model penelitian tokoh, seperti: “Kedudukan Harun Nasution (sebagai seorang teolog Indonesia) , diantara beberapa tokoh teolog dunia”.

2. Model penelitian karya-karya tokoh, umpamanya: “ sebuah studi komparatif antara The Philosophy of the Kalam, karya Harry Austryn Wolfson, dengan al-Milal wa al-Nihal, karya al-Syahrastani”

3.  Model Penelitian Gagasan/Ide/isi karya, umpamanya: “ Sebuah tinjauan atas gagasan Creation of the World  dalam  The Philosophy of the Kalam  karya Harry Austryn Wolfson”. Contoh lain: “Teologi Kebatinan Sunda karya Abdul Rozak”.

4.  Model Penelitian Sejarah Perkembangan, umpamanya:“ Sejarah perkembangan munculnya para tokoh ilmu kalam selama pemerintahan  Shahabat sampai dengan khilafah Turki Usmani”.“ Sejarah perkembangan penulisan kitab/buku ilmu kalam di Indonesia dari awal masuknya Islam di Indonesia, sampai kini”. “Sejarah perkembangan  --  isi gagasan tentang ilmu kalam  --  ketuhanan, atau sifat-sifat, atau Asma-Nya, atau selain ketiga hal itu, di dalam syair-syair, buku-buku sastra, Folklor atau selain itu di Indonesia”.

5.  Model Penelitian Pengaruh, umpamanya: “Pengaruh pemikiran teologi Harun Nasution terhadap perkembangan pemikiran teologi para alumnus program Pascasarjana UIN Syahida Jakarta dalam membangun pola fikir keislaman di Indonesia”. “Pengaruh kitab  al-Milal wa al-Nihal  karya al-Syahrastani di berbagai organisasi keagamaan Islam di Indonesia”.“Pengaruh isi kitab Ilmu Tauhid karya Muhammad ‘Abduh di kalangan mahasiswa IAIN/UIN/STAIN se Indonesia”.“ Pengaruh Ipoleksosbudagama dalam kehidupan para tokoh teologi abad pertama hijriyah”.“Pengaruh tokoh teologi abad ke tiga hijriyah terhadap perkembangan Ipoleksosbudagama”. Dan lain-lainnya selain sampel-sampel di depan.

V.  Metodologi yang digunakan di dalam penelitian teologi.

Ketika seorang peneliti, akan melakukan sebuah penelitian teologi, berkaitan dengan ayat-ayat suci al-Qur’an atau al-Sunah, lalu metode yang digunakannya berupa metode dengan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah dikuatkan dengan pemikiran rasional, atau biasa disebut sebagai metode dialog keagamaan, dan hasilnya, tampak dalam bentuk tafsir-tafsir al-Qur’an atau al-Sunnah, inilah metode teologi yang sebenarnya, dengan  menghasilkan pemikiran teologi. Dapat juga, memahami ayat al-Qur’an dan al-sunnah, lewat pendekatan sains sosial, humaniora, bahkan kealaman. 

Dan pasti hasilya akan sangat berbeda. Ketika, seorang peneliti, akan melakukan sebuah penelitian berkait dengan  biografi  tokoh teologi, maka seorang peneliti, dapat menggunakan metode historis. Namun, ketika tokoh yang diteliti berkait dengan aspek pengelolaan organisasinya, seorang peneliti dapat menggunakan metode administrasi atau leadership atau manajemen atau decition makingnya, dan lain-lain, selain sampel-sampel di depan.Ketika seorang peneliti akan melakukan penelitian teologi, berkaitan dengan  interaksi sosial  para tokohnya, maka seorang peneliti dapat menggunakan metode sosiologi. 

Ketika seorang peneliti akan melakukan penelitian teologi, berkaitan dengan gagasan atau pengaruhteologi seorang tokohnya, maka seorang peneliti dapat menggunakan metode antropologi, strukturalisme, fenomenologi, politik, filologi, atau psikologi dan berbagai disiplin ilmu lainnya, disesuaikan dengan gagasan apa yang akan dikaji oleh peneliti itu, sehingga metode dapat sesuai dengan aspek ontologi yang sedang dikajinya. Dari sini, dapat dinyatakan bahwa hampir semua disiplin ilmu dapat digunakan sebagai cara pandang/approach/metode untuk mengkaji berragam aspek keteologian, disesuaikan dengan ontologi apa yang sedang dikajinya.