BAYI TABUNG
TRANSFER EMBRIO KE RAHIM TITIPAN
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT.
Demikian
halnya diantara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah
(tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi
dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat
manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6)
termasuk kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi
kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia
agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.
Teknologi
bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang
pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan
biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan
terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang
tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak
negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan
pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan
teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di
masyarakat.
Seorang
pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif
Medicine, DR. Andrew Weil sangat meresahkan dan mengkhawatirkan penggunaan
inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk
memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr.
Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics
di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi
dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut
John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula
sebagai bidang spesialisasi paada 1960 –an sebagai tanggapan atas tantangan
yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi
pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan
atau manusia tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Ada beberapa
teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara
lain adalah: Pertama; Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil
sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan
setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri. Kedua; Gamet
Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum
istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditanam di saluran
telur (tuba palupi) Teknik kedua ini terlihat lebih alamiah, sebab
sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi
melalui hubungan seksual.
Masalah inseminasi buatan ini menurut
pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak
terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam
kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji
menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang
lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat
ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi
buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama
dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat
diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya
ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Masalah
inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan
Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih
Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan
sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514
tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI)
dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma
donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan
ovum dari isteri sendiri. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras
pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak,
karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia. Mantan
Ketua IDI, dr. Kartono Muhammad juga pernah melemparkan masalah inseminasi
buatan dan bayi tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia dapat memahami dan
menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari
suami-isteri sendiri.
Dengan
demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus
diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau
ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian
disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara
pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam
di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri
tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami
isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu
tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak
diperlakukan seperti keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:
Pertama; firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4. Kedua ayat tersebuti menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka. Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari ssperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain berupa:
1. percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah.