Dari penjelasan terdahulu, dapat kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah. Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid, sedang jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlaku pun hukum-hukum istihadhah.-
Hukum-hukum haid yang
penting telah dijelaskan dimuka. Adapaun hukum-hukum istihadhah seperti halnya
hukum-hukum tuhr ( keadaan suci ) . tidak ada perbedaan antara wanita
mustahadhah dan wanita suci, kecuali dalam hal
berikut ini:-
a- Wanita mustahadhah wajib berwudhu
setiap kali hendak shalat. berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy :-
" ثم توضئي لكل صلاة " رواه البخاري في باب غسل الدم .
“ Kumudian berwudhulah setiap kali hendak shalat (HR. Al Bukhari
Bab membersihkan darah )
Hal itu memberikan
pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah
tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya. Sedangkan shalat yang
tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada saat hendak melakukannya.-
b- Ketika hendak berwudhu, membersihkan
sisa-sia darah dan melekatkan kapas (softex) pada farjinya untuk mencegah
keluarnya darah, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
kepada Hamnah :-
" أنعت لك الكرسف فإنه يذهب الدم، قالت : هو أكثر من ذلك،
قال : فاتخذي ثوبا، قالت :
هو أكثر من ذلك،
قال :
فتلجمي "
“ Aku beritahukan kepadamu ( untuk menggunakan) kapas, karena
hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: “ darahnya lebih banyak dari
pada itu, beliau Bersabda : “ Gunakan kain !” Kata Hamnah : Darahnya masih
banyak pula” Nabipun bersabda : “Maka pakailah penahan!”
Kalaupun masih ada darah
yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya, karena
sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :-
" اجتنبي
الصلاة أيام تحيضك ثم اغتسلي وتوضئي لكل صلاة، ثم صلي، وإن قطر الدم على
الحصير" رواه
أحمد وابن ماجه.
“Tinggalkan shalat selam hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan
berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di
atas alas” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)-
c- Jima’ (senggama). Para
ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi di mana bila
ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh
secara mutlak. Karena ada banyak wanita, mencapai sepuluh atau lebih, mengalami
istihadhah pada zaman nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sementara Allah
dan RasulNya tidak melarang jima’ dengan mereka. Firman Allah :-
] فاعتزلوا النساء في المحيض [
“ .. Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid …” (
QS. Al Baqarah : 222)
Ayat ini menunjukkan
bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari istri.
Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita mustahadhah, maka jima’pun lebih
boleh. Dan tidak benar jima’ wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima’ wanita
haid, karena keduanya tidak sama, bahkan menurut pendapat para ulama menyatakan haram. Sebab mengkiaskan sesuatu
dengan hal yang berbeda adalah tidak sah.-