Monday, February 10, 2014

KAWIN PAKSA DAN KAWIN LARI

MASALAH PERJODOHAN, KAWIN PAKSA DAN BUJANG PAKSA

Prinsip pernikahan dalam Islam yang merupakan nimat Allah Swt pada hakekatnya bertujuan untuk menciptanya keluarga besar yang penuh ketenteraman hidup, cinta suci dan kasih sayang (sakinah, mawaddah dan rahmah), baik lahir maupun batin dalam rangka ibadah menuju mardhatillah (QS. Ar-Rum:21)


Realisasi perjodohan dan penentuan pasangan yang sesungguhnya merupakan misteri kehidupan yang dalam kacamata akidah berada di tangan Allah dengan takdir-Nya melalui proses dan upaya sunnatullah yang tiada seorangpun dapat mengetahui dan memastikannya bahkan termasuk konsekuensinya berupa lahirnya keturunan. Hal itu sudah digariskan dalam suratan takdir sejak manusia berada dalam rahim orang-tuanya (QS.An-Nahl: 72, Asy-Syura:11).
Pernikahan yang benar adalah yang melalui proses selektifitas dan upaya pencarian yang nyunnah baik lahir maupun batin (ikhtiyar) sebagaimana Rasulullah saw perintahkan: “Pilihlah pasangan yang sesuai untuk melahirkan keturunan kalian, karena gen keturunan itu akan menurun.” Dan Allahpun mengingatkan pentingnya pilihan pasangan yang tepat termasuk untuk Nabi saw demi tercapainya pilihan terbaik atau khair  ikhtiyar (QS. At-Tahrim :5)
Kata kunci dari perjodohan yang islami adalah prinsip kufu’ dalam pengertiannya yang komprehensif yakni keseimbangan, kelayakan dan kesepadanan, baik dalam dien (agama, akidah, dan pemikiran), kesalehan (akhlak) maupun kriteria sosial lainnya yang merupakan kecenderungan fitrah dan pertimbangan manusiawi dari segi fisik lahiriyah tanpa menghilangkan skala prioritas penilaian yang mengutamakan dien dan kesalehan sebagaimana Rasulullah sabdakan bahwa seorang perempuan itu dinikahi karena pertimbangan empat hal yaitu kriteria dien, kecantikan, harta dan status keturunan. Oleh karena itu beliau menyarankan untuk memprioritaskan pilihan terhadap perempuan yang yang memiliki kafa’ah dien agar membawa keberkahan. Demikian pula wasiat beliau kepada para wali dan orangtua apabila mereka didatangi seorang laki-laki yang melamar anak perempuan mereka sedangkan pelamar tersebut memiliki dien dan akhlak yang memadahi maka hendaklah mereka menerima lamarannya dan mengawinkannya. Bila prinsip ini telah terabaikan maka menurut Nabi saw akan terjadi fitnah dan kerusakan besar (kekacauan sosial, mental spiritual dan sistem nilai).
Doktrin perjodohan berdasarkan prinsip kufu’ ini dapat kita cermati dari berbagai ayat al-Qur’an sebagaimana Allah menekankan skala prioritas pilihan pada kualifikasi dien (QS.Al-Mumtahanah:10) demikian pula pada kualifikasi akhlak (QS. An-Nur:3). Di samping itu kasus gagalnya kelangsungan pernikahan Zaid bin Haritsah (bekas hamba sahaya berkulit hitam yang diangkat anak oleh Nabi saw) dengan Zainab binti Jahsy (putri bangsawan Quraisy yang cantik jelita) sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim dan Ahmad yang menceritakan pengalaman pahit diskualifikasi kufu’ dalam penampilan fisik dan status sosial meskipun terpenuhinya kualifikasi dien dan akhlak ditoleransi oleh Allah sebagai suatu gugatan yang bersifat manusiawi (QS.Al-Ahzab:37). Semua ketentuan syariat Allah yang fitri dalam hal ini memiliki hikmah yang sangat jauh ke depan yakni kelangsungan pernikahan dan terbinanya mahligai rumah tangga dalam suasana lahir batin yang penuh kebahagiaan atau menjadi pasangan dan berketerununan yang menjadi Qurrata A’yun sebagai penyejuk hati dan mahligai surgawi (QS.Al-Furqan:74)
Prinsip umum perjodohan dan berbagai peran mediatornya apapun bentuk dan relasinya untuk niat dan tujuan pernikahan yang baik dengan cara yang nyunnah pada hakekatnya merupakan bagian integral dari doktrin dan manivestasi ta’wun ‘alal birri wat taqwa (tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaaan) Namun bila dalam implementasinya menyimpang dari kaedah dan tujuan syariah dari pernikahan maka segala bentuk pemaksaan, upaya, bujukan maupun pendekatan dalam masalah perjodohan dan pernikahan termasuk kategori ta’awun ‘ala itsmi wal ‘udwan (rekayasa bersama dalam kejahatan dan dosa) yang ditentang oleh Islam sekalipun yang melakukannya adalah orang terdekat objek kasus perjodohan. (QS.Al-Maidah:2, An-Nur:33, Al-Baqarah:231)
Dalam masalah adanya pendapat fiqih bahwa seorang ayah berhak mengawinkan putrinya yang telah baligh tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu sebagaimana populer dalam mazhab Syafi’i, maka kita sebelumnya harus mendudukkan persoalan dalam koridor prinsip dan kedah syariah bahwa setiap mujtahid boleh jadi benar atau bisa pula keliru dan bahwa setiap orang boleh diambil dan ditinggalkan pendapatnya, kecuali Rasulullah termasuk dalam hal ini Imam Syafi’i meskipun beliau adalah seorang imam besar, tetapi beliau adalah manusia biasa yang tidak maksum, dan beliau pernah berkata: “pendapatku ini benar tetapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang selainku adalah salah tetapi mengandung kemungkinan benar.” Beliau juga pernah mengatakan: “bila suatu hadits adalah ternyata shahih, maka itulah mazhabku.”
Selain itu kita seharusnya menempatkan pendapat para mujtahidin dalam kerangka historis bahwa setiap mujtahid meupakan bagian integral dari dinamika sosial zaman dan lingkungannya. Pendapat yang memperbolehkan seorang ayah menikahkan putrinya tanpa seizinnya seperti pendapat para ulama madzhab Syafi’i sebenarnya tidak mutlak demikian melainkan mensyaratkan beberapa hal sebagai penguat tujuan syariah, antara lain: 1. Tidak dalam kondisi dan intrik konflik maupun kepentingan keluarga 2. Dinikahkan dengan pasangan yang sekufu’ (sepadan dan serasi) 3. Dinikahkan dengan mahar yang pantas dan mudah. 4. Tidak dinikahkan dengan pasangan yang menjadikannya menderita baik karena faktor fisik, usia maupun moral. Persyaratan ini sebagai contoh yang membuktikan bahkan praktik kawin paksa tidak selalu benar ataupun salah tergantung kepada prinsip mashalahat yang diakui oleh syariah Islam.
Dalam masalah perjodohan Nabi saw mewajibkan adanya musyawarah untuk berunding dan meminta izin kepada objek perjodohan. Hal itu karena perjodohan tidak sah tanpa didasari prinsip sukarela (‘an taradhin wa tasyawurin) sekalipun yang menikahkannya ayahnya sendiri. Nabi saw bersabda: “Tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu.” Para sahabat bertanya, “bagaimanakah izin (persetujuannya) itu?” beliau menjawab, “jika ia diam (tidak menolak).” “seorang gadis harus diminta persetujuannya dalam pernikahan dirinya dan persetujuannya cukup dengan diamnya.” Dalam riwayat lain “janda itu lebih berhak terhadap dirinya, sedangkan anak gadis harus diminta persetujuannya oleh ayahnya.” (HR. Bukhari)
Nabi saw pernah menentang praktik kawin paksa sebagimana diriwayatkan dalam kitab Sunan (sunan Abu Daud, sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad) dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang gadis menghadap Nabi saw melaporkan ayahnya yang telah memaksanya kawin dengan seseorang padahal ia tidak menyukainya, maka beliau memberinya hak memilih (untuk menerima atau menolak calonnya)”
Aisyah ra telah meriwayatkan bahwa seorang wanita mengadukan kepadanya perihal ayahnya yang memaksanya menikah dengan sepupunya untuk mengangkat status sosialnya sedangkan ia tidak menyukainya. Maka menyuruhnya duduk menunggu sampai Rasulullah datang. Kemudian peristiwa tersebut segera disampaikan Aisyah kepada Rasulullah ketika beliau datang lalu beliau menyuruh orang memanggil ayahnya dan menyerahkan putusan masalah itu kepada wanita tersebut, lalu wanita itu berkata: “ya rasulullah, saya sekarang telah memperkenankan apa yang dilakukan ayah saya itu, sebenarnya saya hanya menginginkan agar kaum wanita tahu bahwa para orang tua tidak memiliki hak memaksa dalam persoalan ini.” Menurut keterangan kitab Subulus Salam bahwa boleh jadi wanita tersebut adalah gadis yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, yang telah dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan sepupunya yang sekufu’. Sekalipun sandainya wanita tersebut seorang janda, maka ia hanya ingin menegaskan bahwa kaum wanita hendaknya tahu bahwa para orang tua tidak berhak memaksa dalam urusan ini dan Nabipun menyetujuinya dengan tidak adanya sanggahan dari beliau.
Menurut Imam Syaukani dalam Nailul Authornya bahwa hadits-hadits ini secara eksplisit menunjukkan bahwa seorang anak gadis yang dinikahkan secara paksa tanpa kerelaan dan persetujuannya maka akad nikahnya tidak sah. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Auza’i, Ats-Tsauri dan para ulama madzhab Hanafi, serta Imam Tirmidzi meriwayatkan pendapat dilontarkan oleh mayoritas ulama. Demikian pula Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa meminta persetujuan anak gadis yang sudah dewasa adalah wajib bagi ayah maupun para wali lainnya dan tidak boleh memaksanya untuk menikah. Pendapat ini menurutnya yang paling kuat sebagaimana dipilih oleh Imam Ahmad dan merupakan mazhab Imam Abu Hanifah.
Nabi saw bersabda: “tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu dan tidak boleh seorang janda dinikahkan sehingga ia diajak musyawarah.” Lalu ada yang berkata, “sesungguhnya gadis itu pemalu.” Beliau menjawab, “persetujuannya ialah jika ia diam.” Lafal lain menyebutkan: “gadis itu dimintai izinnya oleh ayahnya.” (HR. Bukhari)
Kalau dalam hal harta yang dimiliki seorang anak perempuan saja seorang ayah tidak berhak membelanjakannya tanpa seizin anaknya bila ia telah dewasa dan normal pikirannya apalagi dalam hal penentuan nasib dirnya dalam perjodohannya. Oleh karena itu kawin paksa dengan orang yang tidak ia sukai bertentangan dengan prinsip Islam dan logika karena dalam hal jual beli atau sewa-menyewa bagi kepentingan anak Allah tidak memperkenankan seorang wali memaksakan kehendaknya melainkan dengan persetujuan anak tersebut, termasuk dalam masalah makan, minum, pakaian yang tidak disukainya. Maka, bagaimana mungkin wali anak diperbolehkan memaksakan anaknya untuk melakukan hubungan suami istri dengan orang yang tidak disukainya atau dibencinya?
Allah menjalinkan cinta dan kasih sayang antara suami-istri. Oleh karena itu, jika pernikahan itu sendiri dilandasi oleh perasaan tidak suka dan ingin melarikan diri dari calon suami, maka akankah tumbuh cinta dan kasih sayang dalam perkawinan tersebut? Imam Ibnu Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad: “hukum ini mewajibkan agar gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk dinikahkan dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan kerelaannya. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama salaf dan madzhab Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad. Ini juga pendapat yang mengharuskan kita tunduk kepada Allah. Juga pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah saw, perintahnya, laranganya, qawaid syari’atnya dan kemaslahatan umatnya….”
Namun dalam beberapa kasus tertentu seorang anak dapat dijodohkan dan dipaksa dalam pernikahan ataupun sebaliknya pelarangan menikah dan bujang paksa sebagaimana dijelaskan oleh madzhab Syafi’i tersebut di atas disamping itu yang paling utama adalah bila karena alasan penjagaan agama (hifdzuddin) dan pertimbangan moral ataupun unsur kufu’ lainnya selama tidak merugikan kepentingan anak dan sesuai kaedah syariah. (QS.An-Nur:32, Al-Qashash: 27, Al-Baqarah:231-232)  
Adapun posisi wali dalam pernikahan merupakan syarat yang harus dipenuhi, dengan dalil hadits: “tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.” Hikmahnya adalah agar pernikahan tersebut sempurna dengan adanya kerelaan dari berbagai pihak terkait secara keseluruhan. Selain itu, agar wanita yang menikah tidak hanya berada di bawah kasih sayang atau kekuasaan suami saja, karena wanita yang menikah tanpa seizin keluarganya, pada umumnya tidak lagi mendapatkan perhatian.. Namun demikian, bila hakim telah menetapkan sahnya suatu perkawinan, maka perkawinan itu sah dan tidak ada yang dapat membatalkannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni.
Sedangkan posisi para mediator dalam pernikahan adalah sekedar fasilitator yang membantu merealisasikan perjodohan untuk mendapatkan yang terbaik sebagai manivestasi prinsip ta’awun ‘ala birri wattaqwa sesama muslim selama cara, tujuan dan calon yang dijodohkannya sesuai dengan prinsip syariah Islam. Namun demikian tidak boleh menggeser posisi dan otoritas wali terdekat yang sesungguhnya sebab hubungan nasab dan keluarga mendapatkan prioritas khusus dalam Islam. (QS.Al-Anfal:75).
            Wallahu A’lam, wabillahit taufiq wal hidayah.