MASALAH PERJODOHAN, KAWIN PAKSA DAN BUJANG PAKSA
Prinsip pernikahan dalam Islam yang
merupakan nimat Allah Swt pada hakekatnya bertujuan untuk menciptanya keluarga
besar yang penuh ketenteraman hidup, cinta suci dan kasih sayang (sakinah,
mawaddah dan rahmah), baik lahir maupun batin dalam rangka ibadah menuju
mardhatillah (QS. Ar-Rum:21)
Realisasi perjodohan dan penentuan pasangan
yang sesungguhnya merupakan misteri kehidupan yang dalam kacamata akidah berada
di tangan Allah dengan takdir-Nya melalui proses dan upaya sunnatullah yang
tiada seorangpun dapat mengetahui dan memastikannya bahkan termasuk
konsekuensinya berupa lahirnya keturunan. Hal itu sudah digariskan dalam
suratan takdir sejak manusia berada dalam rahim orang-tuanya (QS.An-Nahl: 72,
Asy-Syura:11).
Pernikahan yang benar adalah yang melalui
proses selektifitas dan upaya pencarian yang nyunnah baik lahir maupun batin
(ikhtiyar) sebagaimana Rasulullah saw perintahkan: “Pilihlah pasangan yang
sesuai untuk melahirkan keturunan kalian, karena gen keturunan itu akan
menurun.” Dan Allahpun mengingatkan pentingnya pilihan pasangan yang tepat
termasuk untuk Nabi saw demi tercapainya pilihan terbaik atau khair ikhtiyar (QS. At-Tahrim :5)
Kata kunci dari perjodohan yang islami
adalah prinsip kufu’ dalam pengertiannya yang komprehensif yakni
keseimbangan, kelayakan dan kesepadanan, baik dalam dien (agama, akidah, dan
pemikiran), kesalehan (akhlak) maupun kriteria sosial lainnya yang merupakan
kecenderungan fitrah dan pertimbangan manusiawi dari segi fisik lahiriyah tanpa
menghilangkan skala prioritas penilaian yang mengutamakan dien dan kesalehan
sebagaimana Rasulullah sabdakan bahwa seorang perempuan itu dinikahi karena
pertimbangan empat hal yaitu kriteria dien, kecantikan, harta dan status
keturunan. Oleh karena itu beliau menyarankan untuk memprioritaskan pilihan
terhadap perempuan yang yang memiliki kafa’ah dien agar membawa keberkahan.
Demikian pula wasiat beliau kepada para wali dan orangtua apabila mereka
didatangi seorang laki-laki yang melamar anak perempuan mereka sedangkan
pelamar tersebut memiliki dien dan akhlak yang memadahi maka hendaklah mereka
menerima lamarannya dan mengawinkannya. Bila prinsip ini telah terabaikan maka
menurut Nabi saw akan terjadi fitnah dan kerusakan besar (kekacauan sosial,
mental spiritual dan sistem nilai).
Doktrin perjodohan berdasarkan prinsip kufu’
ini dapat kita cermati dari berbagai ayat al-Qur’an sebagaimana Allah
menekankan skala prioritas pilihan pada kualifikasi dien (QS.Al-Mumtahanah:10)
demikian pula pada kualifikasi akhlak (QS. An-Nur:3). Di samping itu kasus
gagalnya kelangsungan pernikahan Zaid bin Haritsah (bekas hamba sahaya berkulit
hitam yang diangkat anak oleh Nabi saw) dengan Zainab binti Jahsy (putri
bangsawan Quraisy yang cantik jelita) sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim
dan Ahmad yang menceritakan pengalaman pahit diskualifikasi kufu’ dalam
penampilan fisik dan status sosial meskipun terpenuhinya kualifikasi dien dan
akhlak ditoleransi oleh Allah sebagai suatu gugatan yang bersifat manusiawi
(QS.Al-Ahzab:37). Semua ketentuan syariat Allah yang fitri dalam hal ini
memiliki hikmah yang sangat jauh ke depan yakni kelangsungan pernikahan dan
terbinanya mahligai rumah tangga dalam suasana lahir batin yang penuh
kebahagiaan atau menjadi pasangan dan berketerununan yang menjadi Qurrata
A’yun sebagai penyejuk hati dan mahligai surgawi (QS.Al-Furqan:74)
Prinsip umum perjodohan dan berbagai peran
mediatornya apapun bentuk dan relasinya untuk niat dan tujuan pernikahan yang
baik dengan cara yang nyunnah pada hakekatnya merupakan bagian integral dari
doktrin dan manivestasi ta’wun ‘alal birri wat taqwa (tolong-menolong dalam
kebajikan dan ketakwaaan) Namun bila dalam implementasinya menyimpang dari
kaedah dan tujuan syariah dari pernikahan maka segala bentuk pemaksaan, upaya,
bujukan maupun pendekatan dalam masalah perjodohan dan pernikahan termasuk
kategori ta’awun ‘ala itsmi wal ‘udwan (rekayasa bersama dalam kejahatan dan
dosa) yang ditentang oleh Islam sekalipun yang melakukannya adalah orang
terdekat objek kasus perjodohan. (QS.Al-Maidah:2, An-Nur:33, Al-Baqarah:231)
Dalam
masalah adanya pendapat fiqih bahwa seorang ayah berhak mengawinkan putrinya
yang telah baligh tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu sebagaimana
populer dalam mazhab Syafi’i, maka kita sebelumnya harus mendudukkan persoalan
dalam koridor prinsip dan kedah syariah bahwa setiap mujtahid boleh jadi benar
atau bisa pula keliru dan bahwa setiap orang boleh diambil dan ditinggalkan
pendapatnya, kecuali Rasulullah termasuk dalam hal ini Imam Syafi’i meskipun
beliau adalah seorang imam besar, tetapi beliau adalah manusia biasa yang tidak
maksum, dan beliau pernah berkata: “pendapatku ini benar tetapi mengandung
kemungkinan salah, dan pendapat orang selainku adalah salah tetapi mengandung
kemungkinan benar.” Beliau juga pernah mengatakan: “bila suatu hadits adalah
ternyata shahih, maka itulah mazhabku.”
Selain
itu kita seharusnya menempatkan pendapat para mujtahidin dalam kerangka
historis bahwa setiap mujtahid meupakan bagian integral dari dinamika sosial
zaman dan lingkungannya. Pendapat yang memperbolehkan seorang ayah menikahkan
putrinya tanpa seizinnya seperti pendapat para ulama madzhab Syafi’i sebenarnya
tidak mutlak demikian melainkan mensyaratkan beberapa hal sebagai penguat tujuan
syariah, antara lain: 1. Tidak dalam kondisi dan intrik konflik maupun
kepentingan keluarga 2. Dinikahkan dengan pasangan yang sekufu’ (sepadan dan
serasi) 3. Dinikahkan dengan mahar yang pantas dan mudah. 4. Tidak dinikahkan
dengan pasangan yang menjadikannya menderita baik karena faktor fisik, usia
maupun moral. Persyaratan ini sebagai contoh yang membuktikan bahkan praktik
kawin paksa tidak selalu benar ataupun salah tergantung kepada prinsip
mashalahat yang diakui oleh syariah Islam.
Dalam
masalah perjodohan Nabi saw mewajibkan adanya musyawarah untuk berunding dan
meminta izin kepada objek perjodohan. Hal itu karena perjodohan tidak sah tanpa
didasari prinsip sukarela (‘an taradhin wa tasyawurin) sekalipun yang
menikahkannya ayahnya sendiri. Nabi saw bersabda: “Tidak boleh seorang gadis
dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu.” Para sahabat
bertanya, “bagaimanakah izin (persetujuannya) itu?” beliau menjawab, “jika ia
diam (tidak menolak).” “seorang gadis harus diminta persetujuannya dalam
pernikahan dirinya dan persetujuannya cukup dengan diamnya.” Dalam riwayat lain
“janda itu lebih berhak terhadap dirinya, sedangkan anak gadis harus diminta
persetujuannya oleh ayahnya.” (HR. Bukhari)
Nabi saw
pernah menentang praktik kawin paksa sebagimana diriwayatkan dalam kitab Sunan
(sunan Abu Daud, sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad) dari Ibnu Abbas ra bahwa
seorang gadis menghadap Nabi saw melaporkan ayahnya yang telah memaksanya kawin
dengan seseorang padahal ia tidak menyukainya, maka beliau memberinya hak
memilih (untuk menerima atau menolak calonnya)”
Aisyah ra
telah meriwayatkan bahwa seorang wanita mengadukan kepadanya perihal ayahnya
yang memaksanya menikah dengan sepupunya untuk mengangkat status sosialnya
sedangkan ia tidak menyukainya. Maka menyuruhnya duduk menunggu sampai
Rasulullah datang. Kemudian peristiwa tersebut segera disampaikan Aisyah kepada
Rasulullah ketika beliau datang lalu beliau menyuruh orang memanggil ayahnya
dan menyerahkan putusan masalah itu kepada wanita tersebut, lalu wanita itu
berkata: “ya rasulullah, saya sekarang telah memperkenankan apa yang dilakukan
ayah saya itu, sebenarnya saya hanya menginginkan agar kaum wanita tahu bahwa
para orang tua tidak memiliki hak memaksa dalam persoalan ini.” Menurut keterangan
kitab Subulus Salam bahwa boleh jadi wanita tersebut adalah gadis yang
disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, yang telah dinikahkan secara paksa oleh
ayahnya dengan sepupunya yang sekufu’. Sekalipun sandainya wanita tersebut
seorang janda, maka ia hanya ingin menegaskan bahwa kaum wanita hendaknya tahu
bahwa para orang tua tidak berhak memaksa dalam urusan ini dan Nabipun
menyetujuinya dengan tidak adanya sanggahan dari beliau.
Menurut
Imam Syaukani dalam Nailul Authornya bahwa hadits-hadits ini secara eksplisit
menunjukkan bahwa seorang anak gadis yang dinikahkan secara paksa tanpa
kerelaan dan persetujuannya maka akad nikahnya tidak sah. Pendapat ini didukung
oleh Imam Al-Auza’i, Ats-Tsauri dan para ulama madzhab Hanafi, serta Imam
Tirmidzi meriwayatkan pendapat dilontarkan oleh mayoritas ulama. Demikian pula
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa meminta persetujuan anak gadis
yang sudah dewasa adalah wajib bagi ayah maupun para wali lainnya dan tidak
boleh memaksanya untuk menikah. Pendapat ini menurutnya yang paling kuat
sebagaimana dipilih oleh Imam Ahmad dan merupakan mazhab Imam Abu Hanifah.
Nabi saw
bersabda: “tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta
persetujuannya terlebih dahulu dan tidak boleh seorang janda dinikahkan sehingga
ia diajak musyawarah.” Lalu ada yang berkata, “sesungguhnya gadis itu pemalu.”
Beliau menjawab, “persetujuannya ialah jika ia diam.” Lafal lain menyebutkan:
“gadis itu dimintai izinnya oleh ayahnya.” (HR. Bukhari)
Kalau
dalam hal harta yang dimiliki seorang anak perempuan saja seorang ayah tidak
berhak membelanjakannya tanpa seizin anaknya bila ia telah dewasa dan normal
pikirannya apalagi dalam hal penentuan nasib dirnya dalam perjodohannya. Oleh
karena itu kawin paksa dengan orang yang tidak ia sukai bertentangan dengan
prinsip Islam dan logika karena dalam hal jual beli atau sewa-menyewa bagi
kepentingan anak Allah tidak memperkenankan seorang wali memaksakan kehendaknya
melainkan dengan persetujuan anak tersebut, termasuk dalam masalah makan,
minum, pakaian yang tidak disukainya. Maka, bagaimana mungkin wali anak
diperbolehkan memaksakan anaknya untuk melakukan hubungan suami istri dengan
orang yang tidak disukainya atau dibencinya?
Allah
menjalinkan cinta dan kasih sayang antara suami-istri. Oleh karena itu, jika
pernikahan itu sendiri dilandasi oleh perasaan tidak suka dan ingin melarikan
diri dari calon suami, maka akankah tumbuh cinta dan kasih sayang dalam
perkawinan tersebut? Imam Ibnu Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad: “hukum ini
mewajibkan agar gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk dinikahkan dan ia
tidak boleh dinikahkan kecuali dengan kerelaannya. Inilah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama salaf dan madzhab Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam
Ahmad. Ini juga pendapat yang mengharuskan kita tunduk kepada Allah. Juga
pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah saw, perintahnya, laranganya,
qawaid syari’atnya dan kemaslahatan umatnya….”
Namun
dalam beberapa kasus tertentu seorang anak dapat dijodohkan dan dipaksa dalam
pernikahan ataupun sebaliknya pelarangan menikah dan bujang paksa sebagaimana
dijelaskan oleh madzhab Syafi’i tersebut di atas disamping itu yang paling
utama adalah bila karena alasan penjagaan agama (hifdzuddin) dan
pertimbangan moral ataupun unsur kufu’ lainnya selama tidak merugikan
kepentingan anak dan sesuai kaedah syariah. (QS.An-Nur:32, Al-Qashash: 27,
Al-Baqarah:231-232)
Adapun
posisi wali dalam pernikahan merupakan syarat yang harus dipenuhi, dengan dalil
hadits: “tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.” Hikmahnya adalah agar
pernikahan tersebut sempurna dengan adanya kerelaan dari berbagai pihak terkait
secara keseluruhan. Selain itu, agar wanita yang menikah tidak hanya berada di
bawah kasih sayang atau kekuasaan suami saja, karena wanita yang menikah tanpa seizin
keluarganya, pada umumnya tidak lagi mendapatkan perhatian.. Namun demikian,
bila hakim telah menetapkan sahnya suatu perkawinan, maka perkawinan itu sah
dan tidak ada yang dapat membatalkannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Qudamah
dalam Al-Mugni.
Sedangkan
posisi para mediator dalam pernikahan adalah sekedar fasilitator yang membantu
merealisasikan perjodohan untuk mendapatkan yang terbaik sebagai manivestasi
prinsip ta’awun ‘ala birri wattaqwa sesama muslim selama cara, tujuan dan calon
yang dijodohkannya sesuai dengan prinsip syariah Islam. Namun demikian tidak
boleh menggeser posisi dan otoritas wali terdekat yang sesungguhnya sebab
hubungan nasab dan keluarga mendapatkan prioritas khusus dalam Islam.
(QS.Al-Anfal:75).
Wallahu A’lam, wabillahit taufiq
wal hidayah.