Istilah ‘siri’ dalam kekerabatan berumahtangga, sering
disalahartikan. Siri berarti sembunyi atau rahasia. Lantas, banyak pasangan
yang melakukan pernikahan secara diam-diam tanpa diketahui kedua keluarga.
Inilah yang diartikan sebagai penyalahgunaan makna nikah siri. Sepasang sejoli
yang saling jatuh cinta, lantaran suatu sebab, tidak mungkin menikah secara
terbuka sejalan dengan aturan agama dan budaya.
Lantas diambil jalan pintas
dengan menikah siri. Sah atau kharamkah hasilnya? Banyak pendapat saling
bertolak-belakang. Ada kalangan yang menyatakan, nikah siri itu sah karena
diartikan sebagai pernikahan berdasar hukum agama. Tapi ada yang mengkharamkan
dan menganggap terjadi zina. Alasannya, bertolak atas hukum pernikahan yang
sama berdasar kaidah Islam.Peraturan syara’nya, seorang perempuan dinilai sah
menjadi isteri seorang lelaki bila dinikahkan ayah kandungnya atau wali yang
ditunjuk termasuk hakim. Sementara pihak lelaki menunjuk dua orang kerabatnya
sebagai saksi bahwa, telah terjadi pertalian kekerabatan baru.
Kenyataannya, sekarang banyak pasangan yang melakukan
nikah siri sebagai pertalian kekerabatan secara diam-diam dengan berbagai
alasan. Ada yang akibat tidak disetujui orangtua salah satu pihak, lantas nekat
melakukan pernikahan di depan penghulu. Banyak pihak menyatakan, pernikahan
tersebut tidak sah karena tidak sejalan dengan kaidah agama. Perempuan yang
melakukan hubungan suami-isteri dengan seorang lelaki tanpa pertalian
pernikahan adalah zina. Sementara, orang yang berhak menikahkan seorang
perempuan adalah ayah kandung atau hakim yang ditunjuk. Sehingga, walau seorang
lelaki membacakan akad nikah di depan perempuan yang dinikahinya, tetapi tidak
ada izin dari ayah kandungnya, maka hubungan itu tetap bernilai zina.
Banyak orang menafsirkan, nikah siri merupakan keabsahan
hubungan lelaki dan perempuan setelah mengucapkan sumpah di depan wali hakim
yang biasanya dilakukan seorang kiai. Maka, dua sejoli sah melakukan hubungan
suami-isteri. Maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana kejelasan hubungan antara
hukum negara dan hukum agama secara jelas dan tegas, sehingga nikah siri yang
dikenal selama ini bukan sekadar nikah rahasia, tetapi benar-benar pernikahan
yang sah (berdasar agama), walau tidak mengikuti aturan yang ditentukan
perundangan karena sebab-sebab tertentu. (Ns)
Nikah siri sering dilakukan secara tidak sah menurut
syariah karena tidak memenuhi syarat sahnya yaitu wali atau ayah kandungnya
jika masih hidup menurut pendapat jumhur ulama, meski memang pendapat ulama
hanafiyah tidak mensyaratkan izin wali. Tetapi pendapat ulama Hanafiyah tidak
bisa dijadikan hujjah dalam hal ini, karena ‘urf dan kondisinya jauh berbeda.
Pernikahan siri pasangan suami istri yang tidak syah itu harus di-fasakh,
artinya nikahnya batal demi hukum dan harus dipisahkan serta dilakukan
pernikahan yang memenuhi syarat sahnya nikah. Adapun ‘kyai’ atau siapapun yang bertindak
selaku 'wali' dalam nikah siri tersebut perlu diusut dan dikonfirmasi atas
dasar apa dia mengawinkan wanita yang bukan di bawah perwaliannya. Islam bukan seperti kristen dimana pendeta berhak menikahkan sepasang
pengantin. Tetapi inti nikah dalam Islam adalah ijab-kabul antara wali wanita
dan calon suami. Jangan salah memahami.
Nikah Siri adalah pernikahan yang
hanya memenuhi prosedur keagamaan. Nikah sirri artinya nikah secara rahasia,
tanpa melaporkannya ke KUA atau ke Kantor Catatan Sipil. Biasanya nikah sirri
dilaksanakan karena kedua belah pihak belum siap meresmikannya atau
meramaikannya, namun di pihak lain untuk manjaga agar tidak tidak terjadi
kecelakaan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.
Sah tidaknya nikah sirri secara
agama, tergantung kepada sejauh mana syarat-syarat nikah terpenuhi, yaitu
adanya wali, minimal dua saksi, adanya mahar dan ijab qabul. Secara hukum
positif, nikah sirri tidak legal karena tidak tercatat dalam catatan resmi
pemerintah. Ini karena siapapun warga negara kita yang menikah harus
mendaftarkan pernikahan itu ke KUA atau Kantor Catatan Sipil, untuk mendapatkan
Surat/Akta Nikah.
Sekarang ini sering muncul fenomena
baru nikah sirri yang dilakukan, dengan alasan tertentu, tanpa wali perempuan,
bahkan terkadang juga tanpa saksi dan tanpa sepengetahuan orang tua pihak
perempuan. Pernikahan seperti ini tidak sah secara agama dan apalagi secara
hukum. Jika terjadi persoalan-persoalan yang menyangkut hukum sipil, pelaku
nikah sirri tidak berhak mendapatkan/menyelesaikan masalahnya melalui
lembaga-lembaga hukum yang ada karena pernikahannya tidak terdaftar.
Dampak Nikah Siri (Perkawinan Bawah Tangan) bagi Perempuan
Perkawinan bawah tangan atau yang
dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’
atau ‘nikah sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama
atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA
bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam).
Meski masih menimbulkan pro dan
kontra di masyarakat, praktek perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak
terjadi. Padahal, perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi
perempuan serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan daintaranya sebagai
berikut:
Sistem hukum Indonesia tidak
mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara
khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan
bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi
ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan
yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. Meski secara agama atau adat
istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap
tidak sah dimata hukum.
Dampak dari Perkawinan Bawah Tangan
adalah:
a. Terhadap Istri
Perkawinan bawah tangan berdampak
sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun
sosial.
Secara hukum:
- Anda tidak dianggap sebagai istri
sah;
- Anda tidak berhak atas nafkah dan
warisan dari suami jika ia meninggal dunia;
- Anda tidak berhak atas harta
gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap
tidak pernah terjadi;
Secara sosial:
Anda akan sulit bersosialisasi
karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah
tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo)
atau anda dianggap menjadi istri simpanan.
b. Terhadap anak
Sementara terhadap anak, tidak
sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif
bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni:
Status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum
terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam
akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya
dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak
luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam
secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Ketidakjelasan status si anak di
muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga
bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak
kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan
dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya
c. Terhadap laki-laki
atau suami
Hampir tidak ada dampak
mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah
bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan dia,
karena:
Suami bebas untuk menikah lagi,
karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata
hukum. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah
baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya. Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini,
warisan dan lain-lain
Hal-hal yang dapat dilakukan bila
perkawinan bawah tangan sudah terjadi:
A. Bagi yang Beragama Islam
Mencatatkan perkawinan dengan
itsbat nikah
Bagi yang beragama Islam, namun tak
dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan
permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama
(Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7). Namun Itsbat Nikah ini hanya
dimungkinkan bila berkenaan dengan: a. dalam rangka penyelesaian perceraian; b.
hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan; d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan; e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974. Artinya, bila ada salah
satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera
mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit
bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.
Tetapi untuk perkawinan bawah
tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian
perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam
rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah
dari pejabat berwenang.
Jangan lupa, bila anda telah
memiliki Akte Nikah, anda harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda
ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak anda pun sah di mata hukum.
Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari
yang telah ditentukan, anda terlebih dahulu harus mengajukan permohonan
pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian,
status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
Melakukan perkawinan ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya
perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan
pencatatan perkawina</in oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan
(KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi
perkawinan anda. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah
tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang
t<iidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum
perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang
lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak
yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam
perkawinan.
B. Bagi yang beragama non-Islam
Perkawinan ulang dan
pencatatan perkawinan
Perkawinan ulang dilakukan menurut
ketentuan agama yang dianut. Penting untuk diingat, bahwa usai perkawinan
ulang, perkawinan harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal
ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima
pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara).
Pengakuan anak
Jika dalam perkawinan telah lahir
anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang
dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut
hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun
bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan
bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan
ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat
melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUH
Perdata.
Dengan Fenomena Nikah Siri, Masih
Sakralkah Pernikahan?
Kalau kita mendatangi acara walimah
(pesta pernikahan) tetangga atau sahabat, maka kita akan merasakan kesakralan
acara tersebut. Ya, karena acara itu akan menyatukan dua insan yang berbeda
yang akan menghalalkan apa-apa yang dulunya haram. Acara itu juga merupakan
sebuah pengumuman bahwa si mas anu telah menikah dengan mbak anu. Dan dalam
episode berikutnya terwujudlah sebuah keluarga kecil yang akan menjadi bagian
dari masyarakat, serta melakukan interaksi sosial dengan mereka. Acara itu
sekaligus memperjelas siapa mas Edy itu dan oh itu orangnya. Demikian juga
dengan istrinya yang bernama mbak Merry, akan sangat mudah diidentifikasi dan
bahkan ditemui.
Tapi sekarang ini kayaknya lain.
Beberapa kali publikasi dari tingkah polah para artis di media, menandakan
bahwa ternyata nikah itu tidak sakral. Nikah bukan lagi sebagai alat untuk
menunjukkan entitas keluarga. Telah terjadi perebutan anak oleh seorang artis.
Seorang laki-laki menganggapnya sebagai anaknya tetapi sang wanita berkata
bahwa itu bukan anak sang lelaki itu. Maka terjadilah perebutan anak. Lha dulu
pas "membuat" anak apa tidak nikah dulu ?
Seorang artis populer kedapatan di
kamar seorang wanita sampai jam tiga pagi dan katanya dia hanya menyerahkan
skrip dialog film. Beberapa waktu kemudian dia ternyata menceraikan wanita itu.
Dan orang lantas heran, kapan nikahnya kok sudah cerai ? Kabar punya kabar
katanya nikah siri.
Seorang artis wanita baru saja
selamatan karena mengandung seorang anak. Dan ketika ditanya tentang bapak dari
anak itu dia cuma mengatakan telah bersuami dan mati-matian menyembunyikan
siapa suami dia yang sesungguhnya. Seorang bos dan artis rebutan mobil. Dan
akhirnya terkuak bahwa sebenarnya dia telah nikah secara siri beberapa tahun
sebelumnya. Melihat kejadian-kejadian yang selalu disuguhkan kepada kita
menunjukkan bahwa ada dua trend. Mempunyai anak meskipun tidak menikah. Atau
menikah tetapi dirahasiakan. Mempunyai anak tetapi bukan hasil pernikahan jelas
salah, dan merupakan dosa yang teramat besar. Hukumannya berat dalam Islam.
Adapun nikah dengan rahasia ini yang harus dibahas dengan serius oleh para
ulama.
Dalam Islam sebuah pernikahan
dikatakan sah jika ada mempelai pria, mempelai wanita, wali, saksi, dan ijab
qabul. Di beberapa hadits diterangkan tentang adanya kegiatan lain yang
seharusnya dilakukan dalam pernikahan yaitu walimah.
Sabda Rasulullah, "Umumkanlah
pernikahan, lakukanlah pernikahan di masjid dan pukullah duff (sejenis alat
musik pukul)". HR. Ahmad dan Tirmizy dan dihasankannya.
Ini digunakan agar orang lain
mengetahui sebuah pernikahan, untuk memperjelas status, serta agar tidak
memungkinkan terjadinya penyimpangan. Hadits ini berlawanan dengan fenomena
Nikah Siri yang berarti diam-diam, lawan dari Jahr yang artinya terang-terangan.
Tidak terdapat satu riwayatpun dari hadits yang mesyariahkan nikah secara
diam-diam dalam Islam. Nikah itu harus diumumkan.
Di jaman Nabi, meski tidak ada
kantor catatan sipil seperti sekarang, pernikahan tetap diumumkan. Bahkan
diriwayatkan dahulu Rasulullah SAW pernah melakukan walimah hanya dengan dua
mud gandum. Dua mud gandung berarti gandum sebanyak yang bisa dipegang dengan
kedua tapak tangan. Riwayat bahwa Rasulullah SAW melakukan hal itu terdapat
dalam hadits Bukhari.
Nikah Siri (rahasia) terbukti telah merusak
sendi-sendi bermasyarakat karena pada nikah siri biasanya ada sesuatu yang
tidak beres, main-main, dan mudah digunakan sebagai alasan dan alibi dari
sesuatu yang tidak benar.