Ibnu
Al Mundzir mengatakan : “ Ada
kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari
minimal atau maksimalnya”.-
Pendapat ini
seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.-
Dalil pertama:
Firman Allah subhaanahu
wa ta’aala :-
] ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولا
تقربوهن حتى يطـهرن [
“
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “ haid itu adalah suatu
kotoran”, oleh sebab itu , hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” -(QS. Al
Baqarah : 222)-
Dalam ayat ini,
yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan
berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa
illat ( alasan ) hukumnya(larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau
tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci ( tidak
haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua :
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam
keadaan Ihram untuk umrah :-
" افعلي ما يفعل الحاج
غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري "
“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja
jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”( HR. Muslim :4/ 30)-
Kata Aisyah: “
Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Dalam shahih Al-
Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Aisyah :-
" انتظري، فإذا طهرت
فاخرجي إلى التنعيم "
“Tunggulah,
jika kamu suci, maka keluarlah ke tan’im”.-
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shollallohu ‘alaihi
wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa
tertentu, ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada
dan tidaknya.-
Dalil ketiga :
Bahwa pembatasan
dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam ,
padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya
batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh manusia dan diamalkan
dalam beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, niscaya telah
dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasulnya kepada setiap orang,
mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan
shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya.-
Sebagaimana Allah dan
RasulNya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya,
waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya,
persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan
masanya, tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan,
minum, tidur, jima’ ( hubungan suami
istri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah bilangan
batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang
kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan
nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum mu’minin.-
Firman Allah
ta’ala :
] ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء [
“……Kami
turunkan kepadamu Kitab ( Al Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu ( QS. An
Nahl : 89)-
] ما كان حديثا يفترى ولكن تصديق الذي بين يديه وتفصيل كل شيء [
“
… Al- Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (
kitab-kitab ) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu … ( QS. Yusuf :
111)-
Oleh karena itu
pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal itu tidak
dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah
keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada
atau tidak adanya haid.-
Dalil ini – yakni
suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah-
berguna bagi anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya,
karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil
syar’i dari kitab Allah, atau Sunnah
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau
qiyas yang shahih.-
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya mengatakan : “ Di antara
sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah
yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya,
ataupun masa suci di antara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak
cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu
batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini , berarti ia telah
menyalahi Kitab dan Sunnah.( Risalah fil asmaa allati ‘allaqa Asy Syaari al
ahkaama bihaa, hal : 35)-
Dalil keempat :
Logika atau qiyas
yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan illat ( alasan )
haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak
ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan
hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke
delapan belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah
kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian,
bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum
di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam illat? Bukankah
menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena
kesamaan keduanya dalam illat?.-
Dalil kelima :
Adanya perbedaan
dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan menunjukkan bahwa
dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun semua itu
merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada
satu pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi
acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.-
Jika ternyata
pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah
pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali
wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka atau lainnya, berarti darah
itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali jika keluarnya
darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari
atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan
akan dijelaskan Insya Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.-
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari
rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu
istihadhah.”-
Kata beliau pula :
“ Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui darah penyakit atau
karena luka.”-
Pendapat ini
sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan
pendapat yang paling dapat di pahami dan di mengerti serta lebih mudah
diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat mereka yang memberikan batasan.
Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan
akidah agama Islam, yaitu mudah dan gampang.-
Firman Allah subhaanahu wa ta’aala :-
] وما جعل عليكم في الدين من حرج [
“ Dan
Dia ( Allah ) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan” (QS. Al Hajj : 78)-
Sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam :-
" إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا
غلبه، فسددوا وقاربوا وأبشروا )
“Sungguh
agama (Islam) itu mudah, dan tidak seseorang pun yang mempersulit (
berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah
lurus, sederhana ( tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira” ( HR. Al
Bukhari )-
Dan di antara akhlak Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara, maka dipilihnya yang
termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.-