MEMANTAPKAN KEIMANAN
Pernah suatu saat orang Arab Badui berkata kepada Rasulullah Saw
:”kami telah beriman .”Dijawab oleh Rasul Saw:”Kamu belum beriman tetapi
katakanlah :”Kami telah Islam.” Karena belum masuk iman itu ke dalam hatimu.”
Banyak orang mendakwakan dirinya termasuk orang beriman, padahal
iman bukanlah dakwaan,bukan pula pengakuaan lewat ucapan dan bukan hanya
penyataan dengan hati, ataupuan amalan dan perbuatan saj. Karena tingkatan
seperti itu barulah pantas bagi mereka
yang menyebut dirinya orang Islam. Berapa banyak orang Islam, dia mengucapkan
syahadat,mengerjakan sembahyaan,mengerjakan puasa dan naik haji,namun imannya
kepada Allah belum dihayatinya,belum disadarinyadan belum diinsafinya.Sehingga
keIslamannya itu tidak berkesan dalam hidupnya.
Kita tidak mungkin tahu kadar keimanan kita kecualiAllah. Dan
keimanan itu bukanlah sesuatu yang murah harganya.Karena Allah tidak akan
membiarkan seorang muslim mengatakan beriman sebelum ia menjalaniujian yang
diberikan Allah kepadanya. Sebagaimana firman Allah:”Apakah manusia mengira
bahwa mereka akan mengatakan”Kami telah beriman.”sedang mereka tidak diuji
lagi?”(QS.Al-Ankabut 2).
Tebal tipisnya keimana kita, akan terlihat pada saat manusia
benar-benar tengah diuji Allah, dengan segala cobaan ,
kekurangan,kesedihan dan fitnah-fitnah dunia lainnya. Seperti yang sekarang
sedang dialami umat islam, berbagai cobaan,tuduhan, fitnah yang keji tertuju
pada islam dan kaum muslimin, kita sedang diuji keimanan kita, ketakwaan kita
dan kesabaran kita.
Ujian dan cobaan merupakan sunnatullah dalam rangka membersihkan
cacat orang-orang mukmin dan sebagai
ujian yang nantinya menjadi bekal untuk masuk sorga. Apabila kita semua
menyadari makna hakiki dari ujian dan cobaan,maka sudah seharusnya kita tetap
mempertahankan aqidah atau keimanan. Meskipun harus menderita dan mengalami
berbagai kesulitan yang berat,hendaknya kita selalu merasa tenang hidup
diantara kemenangan dan kekalahan.
Sehingga aqidah yang digenggam senantiasa kokkoh dan tidak tergoncang. Jangan
sampai ujian yang datang menghadang menghilangkan kekuatan dan menjadikan diri
merasa terhina bhkan menjadikan kita ragu dengan keimanan kita. Hendaknya kita
senantiasa berharap hadirnya pertolongan Allahdan menyerahkan keamanan diri
hanya kepada Nya. Kita harus selalu merasa damai atas penjagaan dan
perlindunganNya.
Banyak ayat yang menyebutkan
bahwa Allah akan memberikan pertolongan kepada orang beriman . Padahal
sebelumnya mencapai pertolongan itu banyak penderitaan yang menimpa orang
beriman. Rasulullah dan para sahabatnya pernah mengadu dan memohon kepada Allah
“Kapankah pertolongan Allah tiba?”Pernyataan yang terlontar dari ucapan beliau
SallaahuA’laihi wasallam yang memili kontak langsung dengan Allah, ini
menandakan betapa hebatnya ujian yang mengoncang hatinya. Ucapan ini tidak akan
keluar kecuali karena ujian dan cobaan yang mereka rasakan sudah melebihi batas
maksimum . Namun tatkala hati mereka
merasa tabah mantap dalam menghadapi ujjian tersrebut ,Allah menyempurnakan
kalimatnya dengan firmannya kepada Nabi Muhammad Shallallahu A’laihi wassalam :”Ingatlah
(wahai Muhammad saw)sesungguhnya
pertolongan Allah swt itu amat dekat.”
Dari kandungan wahyu Allah diatas tersirat bahwa pertolongan Allah selalu tersedia bagi
yang berhak menerimanya, yaitu mereka yang tetap kokoh keyakinan nya sampai
titik penghabisan, mereka tetap bertahan terhadap ujian berat tidak pernah sudi menundukkan keala untuk
menyerah. Bagi mereka penderitaan membawa mereka merasakan halawatul iman
(manisnya keimanan ). Mereka yakin
benar, tidak ada pertolongan yang bisa diharapkan selain dari sisi Allah,
sehingga mereka tidak takut untuk
mengatakan kebenaran yang dilandasi dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seoran
g Ulama Ahmad Syauki biqh mengatakan “sesungguhnya
hidup itu adalah perjuangan untuk mempertahankan aqidah.”
Aqidah ini merupakan ruh bagi setiap orang. Dengan berpegang teguh padanya
ia akan hidup dalam keadaan damai dan terarah dibawah naungan hidayah Allah,
tetapi dengan meninggalkan nya, maka akan matilah semangat kerohanian manusia.
Ia bagaikan cahaya yang apabila seseorang itu buta daripadanya, maka pastilah
ia akan tersesat dalam liku-liku kehidupan.
Masyarakat Islam sebagai
bangunan yang sempurna akan utuh jika berasaskan akikah yang bersih,
mengamalkan syareat Allah , dan berakhlakul karimah. Tentunya semua ini
tidak akan pernah terwujud dengan begitu saja, kecuali melalui
pelaksanaan amaliyyah yang di lakukan secara bertahap, seimbang dan
berkesinambungan.
Pada dasarnya umat islam harus sadar bahwa Allah swt menciptakan
manusia untuk, menguji kewalesan keimanan. Hal ini sebagai dipaparkan Allah swt
dalam sebuah firmannya: “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari
setetes mani yang bercampur, yang hendak kami menguji keimanannya (dengan
perintah dan larangannya) karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat.”
(QS. Al-Insan 2)
Islam sebagai dien (agama) yang robbani menetapkan
suatu prinsip yang jelas dan tegas. Didalamnya tidak ada kepalsuan dan tidak
ada yang disembunyikan. Bahwa dunia ini (sejak mulai diciptakan sampai berakhir)
merupakan medan ujian, bukan tempat pembalasan amal. Medan pembalasan amal akan
kita peroleh diakhir nanti. Itulah tempat yang telah ditetapkan bagi setiap
hamba.
Berdasarkan prinsip inilah dalam kehidupan dunia seorang mukmin
melangkah hanya dengan tujuan untuk mencari keridhoan Allah Subhanahu Wata’ala.
Dia akan selalu menjaga dan menahan diri untuk tidak bermaksiat kepada Allah.
Dia akan bekerja sungguh-sungguh untuk melewati berbagai ujian hidup dengan
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (amal sholeh) dan berupaya meninggalkan
perbuatan yang buruk. Jika demi kian, ia akan memperoleh kemenangan dan
keselamatan yang hakiki sebagai mana yang di jelaskan oleh Allah: “tiap-tiap
berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan dalam
surga maka sungguh ia telah beruntung (memperoleh kemenangan). Kehidupan dunia
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. AL-Imron:185).