Saturday, October 10, 2015

Membangun Indonesia Menjadi Kerangka

Membangun Indonesia Menjadi Kerangka

Membangun Indonesia Menjadi Kerangka
Membangun Indonesia Menjadi Kerangka

Kemerdekaan Republik Indonesia adalah tonggak sejarah terbesar bagi seluruh bangsa Indonesia yang selama tiga setengah abad terbelenggu dengan ketidak bebasan dalam segala hal. Kemerdekaan yang ditandai dengan proklamasi 17 Agustus 1945 tersebut sungguh merupakan prestasi terbesar sepanjang sejarah anak bangsa. Ketika itulah, seluruh komponen bangsa, dari berbagai agama, suku, ras dan golongan bersartu padu dan bertekat membangun Republik tercinta ini.

Sejarah mencatat, seluruh bangsa Indonesia baik di sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Irian Jaya terus berjuang melawan penindasan kompeni Belanda. Mereka punya satu tujuan; mencapai Indonesia merdeka terbebas dari penjajah. Maka, tidak ada alasan untuk tidak mempersatukan daerah dari Sabang sampai Merauke dalam sebuah institus negara Republik Indonesia.

sudah begitu lama kemerdekaan Indonesia itu dicapai. Suatu waktu yang cukup bagi sebuah bangsa untuk berdiri tegak menatap masa depan dan siap bersaing dengan negara lain secara sehat. lebih dari setengah abat merupakan usia yang sudah cukup bagi sebuah bangsa untuk menikmati keadilan dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat. Tapi apa yang terjadi sangatlah kontras. Setelah beberapa tahun merdeka, bukan kemerdekaan yang dirasakan, bukan kebebasan yang didambakan tercapai, bahkan bukan kemandirian menjadi sebuah bangsa tanpa campur tangan asing yang diraih.

Wajah Indonesia saat ini sangatlah jauh dari harapan para pahlawan yang telah berkorban untuk bangsa ini. Korban dengan darah dan air mata yang tak terhitung seakan tak ada artinya jika melihat Indonesia saat ini. Jika saja panglima Soedirman masih hidup, ia akan menyesal berjuang sampai harus ditandu, ia akan menyesal melakukan perang gerilya dalam keadaan sakit, ia akan menyesal pula telah mempercayai anak cucu bangsa Indonesia untuk memegang amanah kemerdekaan yang diembannya. Betapa tidak, ternyata anak cucu bangsa ini tidak becus mengatur negara. Semua kalangan sudah terjangkit penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat kronis tak terkecuali wakil-wakil rakyat yang terhormat dan mempunyai kehormatan yang duduk di DPR ataupun DPRD.

Ironis memang, semua orang pintar berebut posisi, semua elit politik berebut kursi untuk mengamankan posisinya. Maka yang terjadi adalah tarik menarik kursi, bukan semangat untuk membangun bangsa ini. Semua partai berebut pengaruh dan simpati dari masyarakat, entah itu partai besar ataupun partai samar-samar yang baru berdiri. Mereka sangat yakin dengan kemenangan yang diraihnya. Maka, menurut mereka, setelah mereka menang, Indonesia akan segera berubah. Untuk itulah janji dan ide serta gagasan dilontarkan secara gencar yang membabi buta.

Pada fase berikutnya, semua partai politik selalu berpikir politik dan politik. Tak ada hari tanpa politik. Jika sudah demikian, hanya ada satu pemikiran yang muncul, bahwa kepentingan abadi yang harus diutamakan. Kepentingan partai dan golonganlah yang harus diperjuangkan walau ia harus menjadi penjilat ataupun pecundang bagi yang lain. Bagai mana bisa memenangkan Pemilu, bagai mana caranya jumlah kursi di badan legislatif meningkat, bagai mana dan bagai mana  selalu muncul hanya untuk satu tujuan memperjuangkan kepentingan partai.

Sementara para elit politik sibuk dengan program pemenangan pemilu, rakyat kecil sedang sibuk menghadapi kekurangan air. Seakan musibah tak mau lari dari mereka, setelah didera dengan harga gabah dan beras yang murah, kini kekeringan siap menghadang semua usaha mereka. Hanya tarikan nafas yang bisa menggambarkan betapa kesulitan hidup telah membelenggu mereka. Ternyata modal puluh-puluh tahun lalu tak cukup untuk membuat rakyat kecil bahagia dan juga tak cukup bagi mereka untuk merasakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Penderitaan yang menyerang mereka tidak saja datang dari alam, tapi juga dari saudara mereka. Lihatlah betapa biaya pendidikan semakin mahal. Hal itu merupakan konsekuensi yang dicapai saat keputusan tentang otonomi pendidikan dikeluarkan. Di satu sisi otonomi itu baik adanya untuk meningkatkan kemandirian tiap-tiap sekolah. Namun disisi lain, hal itu menimbulkan kekhawatiran munculnya korupsi gaya baru di lingkungan akademis. Kekhawatiran itu tak berlebihan, mengingat korupsi bukan lagi sebagai penyakit, namun sudah menjadi wabah yang merata dan melanda seluruh awak negeri ini. Dengan otonomi yang diterapkan di seluruh daerah, terjadi pulalah otonomisasi korupsi dan kolusi.

Hal itu di buktikan dengan semakin maraknya hobi korupsi di kalangan elit politik. Bahkan, wakil-wakil rakyat di daerah-daerah juga menyambut reformasi sekaligus otonomi dengan beramai-ramai korupsi. Lihatlah korupsi yang dilakukan dahulu oleh Muhammad Basuki dan Ali Burhan. Ketua dan wakil DPRD Surabaya ini mengajukan pencairan dana atas pos-pos jatah eksekutif. Dengan kuitansi yang fiktif, sebagai dana tersebut meluncur deras ke kantong keduanya, jumlahnya mencapai Rp 22,5 milyar, sebuah jumlah yang fantastis untuk ukuran DPRD tingkat II.


Namun hal itu tak seberapa, dibandingkan apa yang dilakukan oleh Huzrin Hood, bupati Kepulauan Riau (Kepri). Setelah beres mengutak-atik APBD, ia berhasil meraih Rp 87,2 milyar. Lain lagi yang dilakukan oleh DPRD Sumatra Barat. Mereka beramai-ramai menggelembungkan APBD demi mendapat tambahan gaji. Hasilnya, negara dirugikan sekitar Rp 5 milyar. Nampaknya, korupsi sudah menjadi budaya di negeri zamrud khatulistiwa ini. Kini, korupsi tak usah dilakukan sembunyi-sembunyi. Kini, semua pejabat dari pusat sampai daerah tak segan-segan untuk menggelapkan uang rakyat.