Membangun Indonesia Menjadi Kerangka
Membangun Indonesia Menjadi Kerangka |
Kemerdekaan Republik Indonesia adalah tonggak sejarah terbesar bagi seluruh bangsa Indonesia yang selama tiga setengah abad terbelenggu dengan ketidak bebasan dalam segala hal. Kemerdekaan yang ditandai dengan proklamasi 17 Agustus 1945 tersebut sungguh merupakan prestasi terbesar sepanjang sejarah anak bangsa. Ketika itulah, seluruh komponen bangsa, dari berbagai agama, suku, ras dan golongan bersartu padu dan bertekat membangun Republik tercinta ini.
Sejarah mencatat, seluruh bangsa Indonesia baik di sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Irian Jaya terus berjuang melawan penindasan kompeni Belanda. Mereka punya satu tujuan; mencapai Indonesia merdeka terbebas dari penjajah. Maka, tidak ada alasan untuk tidak mempersatukan daerah dari Sabang sampai Merauke dalam sebuah institus negara Republik Indonesia.
sudah begitu lama kemerdekaan Indonesia itu dicapai. Suatu waktu yang cukup bagi sebuah bangsa untuk berdiri tegak menatap masa depan dan siap bersaing dengan negara lain secara sehat. lebih dari setengah abat merupakan usia yang sudah cukup bagi sebuah bangsa untuk menikmati keadilan dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat. Tapi apa yang terjadi sangatlah kontras. Setelah beberapa tahun merdeka, bukan kemerdekaan yang dirasakan, bukan kebebasan yang didambakan tercapai, bahkan bukan kemandirian menjadi sebuah bangsa tanpa campur tangan asing yang diraih.
Wajah Indonesia
saat ini sangatlah jauh dari harapan para pahlawan yang telah berkorban untuk
bangsa ini. Korban dengan darah dan air mata yang tak terhitung seakan tak ada artinya
jika melihat Indonesia saat ini. Jika saja panglima Soedirman masih hidup, ia
akan menyesal berjuang sampai harus ditandu, ia akan menyesal melakukan perang
gerilya dalam keadaan sakit, ia akan menyesal pula telah mempercayai anak cucu
bangsa Indonesia untuk memegang amanah kemerdekaan yang diembannya. Betapa
tidak, ternyata anak cucu bangsa ini tidak becus mengatur negara. Semua
kalangan sudah terjangkit penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat
kronis tak terkecuali wakil-wakil rakyat yang terhormat dan mempunyai
kehormatan yang duduk di DPR ataupun DPRD.
Ironis memang,
semua orang pintar berebut posisi, semua elit politik berebut kursi untuk
mengamankan posisinya. Maka yang terjadi adalah tarik menarik kursi, bukan
semangat untuk membangun bangsa ini. Semua partai berebut pengaruh dan simpati
dari masyarakat, entah itu partai besar ataupun partai samar-samar yang baru
berdiri. Mereka sangat yakin dengan kemenangan yang diraihnya. Maka, menurut
mereka, setelah mereka menang, Indonesia akan segera berubah. Untuk itulah
janji dan ide serta gagasan dilontarkan secara gencar yang membabi buta.
Pada fase
berikutnya, semua partai politik selalu berpikir politik dan politik. Tak ada
hari tanpa politik. Jika sudah demikian, hanya ada satu pemikiran yang muncul,
bahwa kepentingan abadi yang harus diutamakan. Kepentingan partai dan golonganlah
yang harus diperjuangkan walau ia harus menjadi penjilat ataupun pecundang bagi
yang lain. Bagai mana bisa memenangkan Pemilu, bagai mana caranya jumlah kursi
di badan legislatif meningkat, bagai mana dan bagai mana selalu muncul hanya untuk satu tujuan
memperjuangkan kepentingan partai.
Sementara para
elit politik sibuk dengan program pemenangan pemilu, rakyat kecil sedang sibuk
menghadapi kekurangan air. Seakan musibah tak mau lari dari mereka, setelah
didera dengan harga gabah dan beras yang murah, kini kekeringan siap menghadang
semua usaha mereka. Hanya tarikan nafas yang bisa menggambarkan betapa
kesulitan hidup telah membelenggu mereka. Ternyata modal puluh-puluh tahun lalu
tak cukup untuk membuat rakyat kecil bahagia dan juga tak cukup bagi mereka
untuk merasakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Penderitaan
yang menyerang mereka tidak saja datang dari alam, tapi juga dari saudara
mereka. Lihatlah betapa biaya pendidikan semakin mahal. Hal itu merupakan
konsekuensi yang dicapai saat keputusan tentang otonomi pendidikan dikeluarkan.
Di satu sisi otonomi itu baik adanya untuk meningkatkan kemandirian tiap-tiap
sekolah. Namun disisi lain, hal itu menimbulkan kekhawatiran munculnya korupsi
gaya baru di lingkungan akademis. Kekhawatiran itu tak berlebihan, mengingat
korupsi bukan lagi sebagai penyakit, namun sudah menjadi wabah yang merata dan
melanda seluruh awak negeri ini. Dengan otonomi yang diterapkan di seluruh
daerah, terjadi pulalah otonomisasi korupsi dan kolusi.
Hal itu di
buktikan dengan semakin maraknya hobi korupsi di kalangan elit politik. Bahkan,
wakil-wakil rakyat di daerah-daerah juga menyambut reformasi sekaligus otonomi
dengan beramai-ramai korupsi. Lihatlah korupsi yang dilakukan dahulu oleh
Muhammad Basuki dan Ali Burhan. Ketua dan wakil DPRD Surabaya ini mengajukan
pencairan dana atas pos-pos jatah eksekutif. Dengan kuitansi yang fiktif,
sebagai dana tersebut meluncur deras ke kantong keduanya, jumlahnya mencapai Rp
22,5 milyar, sebuah jumlah yang fantastis untuk ukuran DPRD tingkat II.
Namun hal itu
tak seberapa, dibandingkan apa yang dilakukan oleh Huzrin Hood, bupati
Kepulauan Riau (Kepri). Setelah beres mengutak-atik APBD, ia berhasil meraih Rp
87,2 milyar. Lain lagi yang dilakukan oleh DPRD Sumatra Barat. Mereka
beramai-ramai menggelembungkan APBD demi mendapat tambahan gaji. Hasilnya,
negara dirugikan sekitar Rp 5 milyar. Nampaknya, korupsi sudah menjadi budaya
di negeri zamrud khatulistiwa ini. Kini, korupsi tak usah dilakukan
sembunyi-sembunyi. Kini, semua pejabat dari pusat sampai daerah tak segan-segan
untuk menggelapkan uang rakyat.