Beribadah karena
Kesyukuran
Beribadah karena Kesyukuran Bagai mana cara beribadah karena kesyukuran itu?... |
Apa bentuk beribadah
karena kesyukuran tersebut?...
Bagai mana cara
beribadah karena kesyukuran itu?...
Apakah ada Ibadah
karena kesyukuran itu?
Tiga buah pertanyaan
yang terlintas di pikaran ini seputar tentang Beribadah karena Kesyukuran, kalu
membahas tentang ibadah mungkin banyak cara-cara dalam mengamalkannya/memperaktekkannya, salah satunya beribadah karena kesukuran.
Menghadapi
situasi krisis seperti saat ini, tidak sedikit orang yang justru tersadar,
kemudian kembali ke jalan agama. Mereka yang selama ini tidak pernah
menginjakkan kakinya di masjid, tiba-tiba rajin melaksanakan shalat. Mereka
baru mengerti bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang membolak-balikkan suasana
semau-Nya.
Sebaliknya, ada
sebagian orang yang justru frustrasi kemudian lari dari agama. Bahkan yang
biasanya rajin melaksanakan berbagai amalan ibadah, tiba-tiba malas-malasan.
Sedikit demi sedikit beberapa amalan ditinggalkan hingga suatu ketika semua
amal ibadah telah terlupakan. Mereka merasa seluruh amal ibadahnya sia-sia,
sebab tidak memperoleh apa-apa kecuali kebangkrutan usaha.
Jika kita datangi
tempat-tempat maksiat, satu atau beberapa di antara pelakunya mungkin mantan
santri. Ada-ada saja orang yang asalnya baik menjadi jahat. Orang shaleh menjadi
thaleh.
Sebaliknya jika ke
masjid, kita dapati beberapa di antara mereka mantan-mantan ahli maksiat.
Berbagai macam pengalaman telah mengantarkan mereka sampai ke jalan Tuhan. Ada
yang karena dililit utang, ada yang telah sampai pada puncak kemaksiatan. Motif
beragama memang beragam, meskipun dalam praktek ibadahnya harus seragam.
Keberagaman itu bisa dibuktikan hanya dengan bertanya kepada orang yang habis
melaksanakan shalat tentang maksud dan tujuan ibadahnya. Ternyata jawabannya
tidak sama.
Ali Bin Abi Thalib
karramallahu wajhah membagi amalan ibadah kaum muslimin ke dalam tiga katagori.
Pertama, golongan orang yang beribadah karena mengharapkan sesuatu dari Allah
swt. Ia beribadah karena pamrih. Golongan itu dikatagorikan sebagai
ibadatut-tujjaar, ibadahnya pedagang. Dalam prinsip ekonomi, seseorang
melakukan usaha dimaksudkan untuk mendapatkan untung. Jika perlu dengan
pengorbanan yang sedikit mendapatkan hasil yang banyak. Demikian pula dalam hal
ibadah, mereka pilih-pilih di antara ibadah yang paling banyak mendatangkan
keuntungan.
Itulah sebabnya mereka
tampak sibuk menghitung-hitung amalan ibadahnya. Dibawanya tasbih ke mana-mana,
diputar sambil komat-kamit hingga berhenti sampai hitungan tertentu. Ketika
ditanya kenapa berhenti berdzikir, ia menjawab, berdasarkan hitungan ia telah
membaca seribu kali. Jika sekali membaca diberi ganjaran sepuluh, maka ia telah
mendapatkan pahala sebanyak sepuluh ribu. Suatu keuntungan yang bisa ditabung
untuk hari itu.
Ibadah macam ini
bukannya tidak diperbolehkan, tapi nilainya amat rendah. Allah sendiri dalam
berbagai ayat-Nya telah memotivasi ummat Islam agar gemar melaksanakan ibadah
dengan iming-iming pahala yang banyak. Di antaranya adalah surga. Beribadah
dengan mengharapkan surga itu hal yang lumrah. Salah satu contohnya Allah
berfirman:
"Orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amalan shaleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang
lebih benar perkataannya daripada Allah?" (QS an-Nisaa: 122)
Iming-iming surga
itulah yang diberikan Allah untuk mendorong semangat hamba-Nya. Sementara janji
Allah pasti akan ditepati-Nya.
Masalahnya kemudian
adalah bahwa pahala itu tidak langsung diterima pada saat seseorang melakukan
suatu amalan ibadah, melainkan disimpan untuk kehidupan di akhirat. Penundaan
ini menjadikan banyak orang tidak sabar. Maunya cepat menikmati. Karenanya
kemudian banyak orang jadi enggan atau bermalas-malasan melakukan ibadah.
Mereka merasa bahwa pahala itu kurang riil, tidak cash, dan waktu
pengambilannya teralu lama.
Golongan
ibadatut-tujjar ini tampak kurang konsisten dalam beribadah. Ada pasang surut
sesuai dengan kondisi kantungnya. Jika kantongnya tebal, ia rajin shalat dan
ibadah lainnya. Tapi jika kantongnya lagi kosong, iapun tak segan
meninggalkannya.
Kategori kedua dari
orang yang beribadah adalah mereka yang menjalankan rangkaian ibadah karena
takut siksa Allah. Karenanya mereka dikelompokkan Ali ra sebagai
'ibadatul-'abid (ibadahnya seorang budak). Seorang budak mempunyai mental yang
khas, yaitu ia baru bekerja atau melakukan sesuatu jika disuruh dan disertai
ancaman. Ia merasa bahwa hasil dari amalannya itu bukan untuk dirinya.
Seorang budak baru mau
bekerja jika ada "upah". Jika upahnya besar, ia rajin. Sebaliknya
jika upahnya biasa-biasa saja, ia cenderung bermalas-malasan. Bagi budak
seperti ini kecenderungannya memilih yang wajib-wajib saja, sedangkan yang
sunnah dikurangi.
Lagi-lagi ibadah
seperti seorang budak tidak menjadi soal, boleh-boleh saja. Asal ibadahnya
ikhlas semata-mata karena Allah, pasti diterima. Jika ia minta balasan surga,
Allah akan memberinya. Jika ia ingin lepas dari siksa neraka, Allah juga
mengabulkannya. Beribadah seperti pedagang atau seperti seorang budak bagi
Allah tidak jadi soal. Yang dipersoalkan-Nya adalah niat yang ikhlas lillahi
ta'ala. Sedikit saja ada noda yang mengotori niat ini, ibadahnya akan menjadi
cacat. Bisa jadi tidak diterima.
Dari dua katagori di
atas, ada sekelompok orang yang beribadah bukan karena menginginkan surga atau
pahala, juga bukan karena takut ancaman Allah berupa siksa nereka. Kelompok ini
beribadah kepada Allah semata-mata karena rasa syukurnya. Jika kepada mereka
ditanyakan, seandainya tidak ada surga dan neraka, apakah tetap akan beribadah,
dengan suara mantap mereka akan menjawab: Ya, saya akan tetap beribadah.
Jika dikejar dengan
pertanyaan apa gunanya, orang tersebut tentu akan balik bertanya, 'Bukankah
saya patut bersyukur telah dijadikan Allah sebagai manusia, makhluq yang paling
mulia? Bukankah pantas bagi saya bersyukur kepada Allah yang telah memberi saya
akal dan fikiran yang sehat? Bukankah wajar bagi saya bersyukur kepada Allah
yang telah memberi hidayah sehingga saya menjadi seorang mukmin?'
Andaikata kita bersabar
menunggu orang tersebut berbicara, tentu ia akan melanjutkan, 'Seandainya Allah
memerintahkan saya beribadah sehari penuh, tentu saya akan melaksanakannya.
Jangankan shalat yang hanya lima kali sehari, jangankan puasa yang hanya
sebulan dalam setahun, jangankan zakat yang hanya mengeluarkan sebagian kecil
dari harta yang telah diberikan Allah, jangankan haji yang wajib sekali seumur
hidup. Andaikata semua umur harus dihabis untuk beribadah, tentu akan saya
jalani.'
Suatu malam 'Aisyah
melihat suaminya, Rasulullah saw sedang asyik menjalankan shalat malam. Lama
sekali beliau berdiri, ruku' dan sujud. Manakala beliau berdo'a bergemuruh dari
dalam dadanya, bergetar seluruh badannya, dan tumpah seluruh air matanya. Malam
itu Rasulullah benar-benar tenggelam dalam munajat kepada Allah swt. Melihat
hal itu 'Aisyah merasa iba, kemudian bertanya, 'Wahai, bukankah Anda seorang
Rasul, kekasih Allah? Bukankah Anda seorang yang ma'shum, yang dihindarkan dari
berbuat salah dan dosa? Bukankah Anda seorang yang segala doanya dikabulkan
oleh Allah? Jika demikian, kenapa Anda bersusah-payah berdiri di malam hari
sampai kakinya bengkak, menangis hingga matanya sembab?'
Rasulullah hanya
menjawab pendek, 'Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?'
Kualitas ibadah yang
dijalani seseorang yang didorong oleh rasa syukurnya tentu sangat berbeda
dengan kualitas ibadahnya bisnismen atau budak. Jika pebisnis beribadah sangat
tergantung pada tebal tipisnya kantong, maka ibadahnya orang yang bersyukur
tidak kenal situasi. Dalam segala kondisi, baik sedang sedih atau gembira,
susah atau mudah, ia tetap menjalankan ibadah.
Mutu ibadahnya seorang
budak sangat tergantung pada besar kecilnya upah, berat ringannya ancaman siksa,
tapi bagi seorang yang beribadah didorong oleh manifestasi syukurnya, hal itu
tidak menjadi masalah. Tanpa upah sedikitpun, ia tetap beribadah. Bahkan
andaikata ia ditetapkan masuk neraka, ia tetap beribadah.
Seorang sufi besar
pernah menyampaikan doanya kepada Allah swt. Ia mohon agar ditempatkan di
neraka, kemudian tubuhnya dibesarkan sampai memenuhi seluruh isi neraka. Dengan
begitu, katanya semua orang bebas dari siksa neraka.
Mungkin kita berkata,
sufi itu aneh-aneh saja. Akan tetapi jika kita renungi artinya sungguh luar
biasa. Ia rela berkorban demi kebahagiaan ummat manusia.
Sufi yang lain pernah
bermunajat kepada Rabb-nya. Ia berkata, 'Ya Allah, sekiranya Engkau masukkan
aku ke dalam nerakamu itu tidak masalah asal ridha-Mu tetap menyertaiku.'
Bagi orang yang sudah
pada tingkatan ini, permintaannya hanya satu, ridha Allah semata-mata. Tentang
akan ditempatkan di mana, surga atau neraka itu tidak menjadi soal. Bukankah ia
juga yakin bahwa Allah itu Maha Kasih dan Sayang. Tentu Allah tidak akan menempatkan
kekasih yang diridhai-Nya di tempat yang menyengsarakannya. Mereka akan
dikumpulkan bersama orang-orang yang diridhai di dalam satu tempat yang
diridhai, yaitu surga. Kepada mereka, Allah berseru: