Kisah Cerita Merger Di
Langit
Kisah Cerita Merger Di Langit menceritakan tentang pertualangan mahasiswa yang mencari Ilmu di negri lain, selama menimba ilmu di sana banyak suka duka, kenangan-kenangan pahit manis dan pengalaman-pengalaman yang belum pernah dirasakan sebelum-belumnya, Kisah Cerita Merger Di Langit ini meliputi:
- Studi-Studi Konstruksi Sosial Di Inggris
- faktor teknologi informasi ( TI)
- Semuanya Bermula Dari Sini
- Kalah Itu Indah
- Selingkuh Tiada Akhir
- Menemukan Kebaikan Di Mana-Mana
- Perampok-Perampok Kejernihan
"Studi-Studi
Konstruksi Sosial Di Inggris"
Studi-Studi Konstruksi Sosial Di Inggris |
Akan tetapi, kalau nasi dicampur dengan bunga mawar, daun pisang serta air kali Ciliwung, tidak bisa dibayangkan apa jadinya. Kebingungan serupa juga menghinggapi saya ketika pertama kali mendengar istilah borderless world ala Kenichi Ohmae. Bagaimana batas-batas antarnegara dan antarbangsa bisa lenyap begitu saja oleh tangan-tangan kapitalisme yang bernama pasar ?....
Pertanyaan yang kurang lebih sama dengan pertanyaan terakhir, juga muncul pertama kali ketika di tahun 80-an Porter mendefinisikan industri secara agak 'lain'. Industri, demikian Porter, tidak lagi diidentikkan hanya dengan kumpulan perusahaan-perusahaan dengan jenis usaha sejenis. Ia terkait ke belakang, ke depan, ke atas dan ke bawah.
Tidak hanya saya, ada
banyak orang yang alisnya dibikin berkerut oleh wajah-wajah dunia dan
kecenderungan yang semakin lama semakin tercampur, semakin tanpa batas, dan
yang paling penting mengobrak-abrik banyak sekali definisi yang penuh dengan
garis batas dan kotak. Coba Anda perhatikan krisis ekonomi yang melanda
Indonesia, di mana persisnya letak garis pembatas antara ekonomi dan politik ....?
Cermati lagi apa yang disebut orang sebagai industri asuransi dan industri
perbankan, bukankah overlap-nya sudah demikian tinggi ?..... Banyak asuransi yang
memiliki program tabungan. Tidak sedikit bank yang mengikutsertakan program
pertanggungan.
Campuran-campuran dan
adonan-adonan aneh, unik, baru dan apapun namanya, semakin lama memang akan
semakin banyak. Ada negara yang berkumpul. Ada perusahaan yang berkumpul. -Di
Indonesia malah campurannya lebih unik lagi. Sejumlah lembaga tinggi negara
sudah tidak mengakui lagi batas-batas yang berumur lama, dan mencoba membentuk
adonan-adonan baru.
Di zaman Indonesia
masih bangga-bangganya dengan kemampuan membuat pesawat terbang, konon pernah
diisukan kalau Indonesia bisa membuat pesawat ulang-alik yang dijamin bisa terbang
dan tidak dijamin bisa kembali. Karena karakteristik jaminannya khas Indonesia,
maka dicarilah pilot yang khas Indonesia. Setelah dilakukan test tertulis
terhadap ribuan calon, akhirnya yang lolos ke tahap wawancara hanya tiga orang
:.... orang Irian, orang Betawi dan orang Padang.
Ketika ditanya tentang
gaji, ketiganya menjawab dengan cara berbeda. Orang Irian yang dipanggil
pertama kali meminta gaji Rp. 20 juta saja. Ketika ditanya kenapa demikian
tinggi permintaannya, ia menjawab sopan :.... untuk tunjangan keluarga di rumah,
takut kalau ada apa-apa di luar angkasa sana.
Orang Betawi lain lagi. Dia minta gaji Rp. 40 juta saja. Sambil terhenyak pewawancaranya bertanya balik
: kenapa demikian tinggi ?.... Dengan jawaban kalem khas betawi orang ini berujar : "dua puluh juta untuk anak isteri di rumah, dua puluh juta lagi untuk kawin
lagi di luar angkasa".
Bukan orang Padang
namanya kalau tidak kreatif. Dengan mantap dia menyebut jumlah Rp. 60 juta saja.
Pewawancaranya lebih terkejut lagi sambil bertanya alasannya. Dengan gaya
dagang yang pas ia menjawab :... "dua puluh juta pertama buat orang Irian tadi -(biar dia saja yang terbang ke luar angkasa)-, dua puluh juta lagi untuk
dibagi-bagi oleh team pewawancara, dan dua puluh juta terakhir buat modal
dagang saya di Pasar Minggu'.
Anda boleh tertawa,
asal jangan tersinggung - karena ini hanya lelucon. Yang jelas, terlepas dari
faktor etika dan faktor lainnya, orang Padang terakhir ternyata paling kreatif.
Dan senjata kreativitasnya - sebagaimana cerita di awal tentang senangnya
kecenderungan bergerak ke arah yang saling mencampur - ternyata sederhana,
yakni mencampur semua kepentingan.
Entah ini serius, entah
ini mengada-ada, demikianlah kecenderungan sedang berjalan. Adonan-adonan dan
campuran-campuran sedang terjadi di mana-mana. Industri perbankan dan industri
asuransi hanya salah satu contoh saja. Di mana keduanya melakukan "merger" secara amat meyakinkan. Dan bukan tidak tertutup kemungkinan, kalau nantinya
semua industri bersatu jadi satu. Tidak ada batas-batas, batasnya hanya satu,
yakni kemampuan kita melihatnya. Persis seperti kita melihat langit, batasnya
tidak ada, hanya kemampuan kita melihatlah yang menjadi satu-satunya pembatas
yang meyakinkan.
Kalau Anda setuju
dengan analisa mengada-ada ini, siapkanlah kepala dan pikiran seperti kita
melihat langit. Tidak hanya perbankan dan asuransi yang telah dan akan
melakukan "merger". Ia bisa melanda siapa saja dan di mana saja. Mirip dengan
Citibank yang menggandeng siapa saja yang mungkin digandeng. "IBM" dengan
jaringannya yang jauh lebih lebar dari sekadar industri komputer. Demikian juga
dengan dunia internet yang mencampur siapa saja ke dalam sebuah desa global.
Bukan tidak mungkin, kalau semua industri akan merger di langit. Semuanya serba
tanpa batas, tanpa sekat, tercampur jadi satu, dan hanya keluasan dan kejauhan
pandangan masing-masinglah yang menjadi batas-batasnya.
faktor
teknologi informasi "( TI)"
faktor teknologi informasi (TI) |
Pagi hari diberitakan sebagai pahlawan bisnis dengan
keuntungan jutaan dolar, besok sorenya diberitakan potensial bangkrut. Ini
hanya mungkin terjadi di dunia dotcom. Di dunia belajar, "TI" sudah
menjungkirbalikkan sejarah. Dari dulu kita dibiasakan pada pola anak mudalah
yang mesti belajar dari orang tua. Namun dalam dunia "TI", sudah menjadi
pemandangan di mana-mana, orang tualah yang harus belajar dari anak-anak muda.
Agak berbeda dengan
banyak orang yang menempatkan teknologi terakhir hanya pada fungsi pendukung,
saya kira "TI" memiliki fungsi jauh lebih penting dari sekadar fungsi pendukung.
Fungsi supporting memang merupakan fungsi "TI" yang paling tradisional. Kemudian,
karena perkembangan dalam dirinya, sekaligus perkembangan dinamika di luar
dirinya hadirlah fungsi automating, di mana ia membuat sejumlah cara kerja dan
cara hidup menjadi lebih otomatis. "ATM", telephone banking, hanyalah sebagian
dari fungsi-fungis automating tadi.
Tidak berhenti di sini,
ia juga berkembang ke dalam fungsi informating. Membuat informasi berjalan
cepat dan akurat. Bahkan bisa menyatukan dunia ke dalam sebuah sistim informasi
yang life. Apa yang terjadi detik ini juga bisa diketahui dari belahan dunia
yang lain. Kinerja jaringan berita "CNN" yang mengagumkan dan on line office
hanyalah sekadar contoh.
Lebih dari sekadar
membantu penyebaran informasi, belakangan teknologi ini juga ikut memformat
ulang cara kita hidup dan bekerja "(reformatting)". Lihat saja cara kerja kita
yang berobah total gara-gara kehadiran "TI". Bermodalkan telepon seluler, sebuah
komputer jinjing, serta "PDA" (personal digital assistant) yang semuanya serba
kecil dan ringan, saya bisa mengelola perusahaan dengan dua ribu karyawan di
Jawa Tengah dan sebuah perusahaan konsultan di Jakarta, dari sebuah desa
terpencil di Bali Utara sana.
Kendati fungsinya sudah
demikian banyak, toh "TI" masih berlari. Ia juga hadir sebagai inspiration technology
-- demikian Compaq menyebutnya. Dan tidak keliru, karena teknologi jenis
terakhir ini memang telah menjadi sumber inspirasi yang amat mengagumkan. Ia
hadir dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas. Mirip dengan pesan
seorang rekan warga negara Amerika yang pernah berpesan ke saya : 'The
difference between the impossible and the possible lies in our imagination,
which is the beginning of our success or failure'. Dengan demikian, kemampuan
kita berimajinasi - sebagai awal dari keberhasilan atau kegagalan - ditentukan
sebagian oleh kemampuan kita menguasai "TI".
Banyak hal tidak
mungkin jadi mungkin gara-gara "TI". Sekadar contoh sederhana, di desa saya yang
terpencil sana belum ada fasilitas telepon dari Telkom, tetapi telepon seluler
digunakan banyak orang di sana. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kalau
desa kecil ini bisa melompat dalam teknologi komunikasi. Tanpa melalui telepon
biasa, sudah melompat menuju telepon seluler.
Dengan modal imajinasi,
tidak tertutup kemungkinan "TI" bisa menjadi enlightening technology. Teknologi
yang mencerahkan hidup banyak orang. Tidak hanya bisnis esek-esek dan selingkuh
yang diuntungkan oleh teknologi ini, kehidupan pencerahan juga diuntungkan.
Bayangkan, kalau Anda bisa bekerja dari mana saja - bahkan dari puncak gunung
yang sepi sekalipun - bukankah kemudian Anda dan saya bisa melaksanakan
kegiatan meditasi tanpa mengurangi waktu kerja ?..... Lebih dari sekadar bisa
bermeditasi sambil bekerja, tumpukan-tumpukan informasi bisa jauh dikurangi
dari kepala. Saya menyimpannya di personal digital assistant atau note book.
Dalam beban kepala yang demikian berkurang - paling tidak beban menyimpan
informasi - bukankah keheningan dan kejernihan mudah sekali berkunjung ?..... Apa
lagi dengan hadirnya mobile internet, saya bisa mengakses dan berguru
pencerahan dari guru-guru tingkat dunia sambil menunggu pesawat di bandar
udara. Belum lagi teknologi yang berwujud multi media. Telepon seluler
dilengkapi "PDA", musik, mesin fax, kamera dan masih banyak lagi yang lain. Ia
tidak hanya mempermudah kehidupan, tetapi juga mencerahkan.
Di suatu sore yang
melelahkan, di pinggiran jalan Sudirman Jakarta ada tiga pengemis yang mengadu
nasib dengan cara yang berbeda. Pengemis pertama yang hanya menerima rezeki
sepuluh ribu rupiah hari itu mengeluh ke rekannya yang lain. Sebab rekannya
yang kedua bisa menghasilkan seratus ribu hari itu. Setelah dicermati, eh
rupanya gelas yang digunakan sebagai tempat uang pengemis kedua diberi tulisan
'lapar.com'.
Pengemis ketiga lebih
hebat lagi, ia bisa menghasilkan satu juta hari itu. Dan ketika ditanya apa
yang dia ditulis di gelas tempat uangnya. Ia menjawab yakin : 'e-lapar'. Masih
ada plusnya, pengemis ketiga ini didatangi seorang manajer dari perusahaan
terkemuka mengajak untuk segera "IPO". Barangkali Anda bisa memberi tahu,
termasuk fungsi "TI" yang manakah lelucon terakhir ?
"Semuanya
Bermula Dari Sini"
Semuanya Bermula Dari Sini |
Betapa tidak menggugah,
di gerbang kematian - sebagaimana dituturkan film ini - orang tidak membawa
harta, nama besar, apa lagi pujian orang lain. Dan yang harus kita bawa adalah
perbuatan-perbuatan kita selama hidup. "Mengingat perbuatan setiap orang
berbeda, maka dari lima mahasiswa kedokteran yang pernah mengalami kematian
beberapa detik ini, pengalamannya amat berbeda.
Boleh saja sutradara
film ini menyimpulkannya demikian. Namun, dari segi lain film ini menghadirkan
makna berbeda bagi saya. Banyak orang sudah tahu, kalau gerakan alat pendeteksi
jantung menunjukkan gerakan grafik yang berbeda, antara orang sehat dan sakit,
apa lagi antara orang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Yang
jelas, "orang masih hidup memiliki gerakan grafik naik turun. Sedangkan orang
sudah meninggal, bergerak datar tanpa siklus naik turun.
Ini memang pekerjaan
teknologi. Tapi bagi saya ia menghadirkan perlambang makna yang tidak dangkal.
Sebagaimana kita rasakan sendiri, setiap manusia hidup yang manapun selalu -
sekali lagi selalu - menjalani siklus. Setelah suka ada duka. Sehabis gelap ada
terang. Siang berganti malam. Masa berkuasa berganti masa pensiun. "Tidak ada
yang bisa melawan hukum ini. Kahlil Gibran bahkan menulisnya secara amat indah
: 'ketika kita bercengkerama di kamar tamu dengan kebahagiaan, kesedihan sedang
menunggu di kamar tidur'. Ini berati, kita hidup serumah dengan kebahagiaan dan
kesedihan. Bagaimana kita bisa menghindar dan buang muka dari orang yang hidup
serumah dengan kita ?.....
Tidak ada orang yang
mengenal secara eksak apa yang terjadi setelah kematian. Namun, melihat paralel
antara siklus gerakan alat pendeteksi jantung, dengan siklus hidup manusia yang
mengenal naik turun, jangan-jangan kematian adalah awal dari kehidupan tanpa
siklus. "Dia datar dalam semua cuaca. Ini memang hanya sebuah spekulasi yang
perlu pendalaman-pendalaman, dan pembuktian-pembuktian.
Pada sejumlah agama dan
keyakinan yang saya tahu, kematian adalah awal dari proses pemurnian dan
pembersihan. Atau dalam bahasa sebuah pilosopi timur, kembali ke titik nol. Di
titik nol memang tidak ada positif maupun negatif. Tidak ada naik dan turun. "Tidak ada besar dan kecil. Mirip dengan garis yang mendatar. Entah benar entah
salah, inilah yang disebut sejumlah orang dengan terminologi seperti kemurnian,
pencerahan, pembersihan jiwa.
Dalam posisi seperti
ini, manusia tidak lagi memerlukan atribut-atribut seperti harta, kekuasaan,
dan pujian. Semua ini menjadi tidak relevan, karena baik harta, kekuasaan,
maupun pujian adalah angka-angka absolut yang mengenal siklus naik-turun. Lebih
dari sekadar tidak butuh atribut, kemurnian dan pencerahan pada titik nol ini,
juga menghadirkan kekebalan-kekebalan. "Stres, penyakit, gangguan orang lain
dalam bentuk apapun, tidaklah banyak pengaruhnya terhadap badan dan jiwa yang
sudah sampai titik nol.
Dalam kejernihan saya
ingin bertutur ke Anda, semuanya berawal dan berakhir di sini "(baca : titik
nol)". Mirip dengan cerita Miyamoto Musashi, ketika Musashi dalam kebingungan
berat dan kemudian bertanya ke gurunya. Sang guru hanya menjawab dengan sebuah
gambar lingkaran di tanah.
Saya pribadi memang
kadang bertemu titik nol tadi, kadang juga tidak. Maklum, masih menyandang
status manusia hidup yang biasa. Lebih-lebih dalam tekanan-tekanan pekerjaan
dan tekanan hidup yang berat. Siklus naik turun bergerak dalam ritme yang lebih
besar dari biasanya. Akan tetapi, pada saat kita bisa melampaui suka-duka,
naik-turun, kaya-miskin ("sampai di titik nol"), maka badan dan jiwa ini terasa
amat ringan tanpa beban sedikitpun.
Mungkin lebih ringan
dari kapas dan udara. Tidak ada beban masa lalu yang berat. Tidak ada ketakutan
hari ini yang mengganggu. Apa lagi kekhawatiran akan masa depan. Semuanya
hilang dan lenyap ditelan kesadaran.
Tentu ada yang
bertanya, mampukah setiap orang mencapai titik nol ?..... Beban dan bekal orang
hidup memang berbeda-beda. Ibarat berjalan jauh, ada yang membawa tas gendong
berat, ada juga yang ringan. Dan yang membuat semuanya jadi berat dan ringan
hanyalah satu : kualitas rasa syukur kita pada sang hidup dan kehidupan. "Dalam
kualitas rasa syukur yang tinggi, kesadaran muncul seperti sayap yang membuat
semuanya jadi ringan.
Boleh saja ada orang
yang meragukan hubungan antara rasa syukur dengan kesadaran. Dan bagi saya, dua
hal ini seperti hubungan ibu anak. Rasa syukur adalah ibunya kesadaran. "Coba
saja perhatikan sendiri di lingkungan masing-masing, bukankah orang-orang yang
tidak puas dan tidak pernah bersyukur, kesadarannya terbungkus oleh banyak
sekali hal ? Keserakahan akan harta, terlalu bernafsu pada kekuasaan,
kecemburuan pada prestasi orang lain, ketakutan kehilangan kursi kekuasaan,
terlalu bernafsu untuk segera duduk di kursi kekuasaan, hanyalah sebagian
bungkus kesadaran, yang diakibatkan oleh keringnya rasa sykur. "Titik nol -
sebagai awal dari semua hal - tentu saja amat dan teramat sulit dicapai dalam
kehidupan seperti ini.
"Kalah Itu
Indah"
Kalah Itu Indah |
Ibarat turnamen sepak
bola, juara satunya selalu satu. Sedangkan yang bukan juara satu selalu
jumlahnya lebih banyak dari satu. "Sehingga kalau dilakukan adu jotos antara
totalitas manusia yang kalah dengan mereka yang menang, maka juara satunya
pasti babak belur.
Dalam perspektif
seperti ini, apa yang terjadi di dunia politik khususnya di bulan-bulan
terakhir ini sebenarnya mencerminkan tiga hal penting. Pertama, tidak ada pihak
yang mau kalah. "Seolah-olah kalah adalah barang haram dan hina dina. Kedua,
siapa saja yang jadi pemenang hampir selalu berada pada posisi tersiksa
diserang dari kiri-kanan. Ketiga, sebagai akibat dari point pertama dan kedua
tadi, maka arena politik kita lebih mirip dengan arena kerusuhan, dibandingkan
turnamen sepak bola plus nilai-nilai sportivitasnya".
Mari kita mulai dengan
point pertama tentang tiadanya orang yang mau kalah. Dengan sedikit kejernihan
saya ingin mengajak Anda bertutur, dalam turnamen olah raga umumnya, kalah
disamping menjadi resiko bagi siapa saja yang mau ikut pertandingan, kalah
sebenarnya bersifat mulia. "Dikatakan mulia, karena di bahu pihak-pihak yang
kalahlah nasib kemeriahan dan kedamaian pertandingan ditentukan. Untuk menang,
Anda dan saya tidak memerlukan kearifan dan kebesaran jiwa. Semuanya serba
menyenangkan, bermandikan tepuk tangan dan kekaguman orang, dan yang paling
penting keluar dari lapangan berselimutkan pujian banyak orang. "Namun untuk
kalah, ceritanya jauh sekali berbeda. Ejekan dan makian orang memang kadang
datang. Usaha kita memang terasa sia-sia. Banyak mata yang tadinya bersahabat
jadi bermusuhan.
Akan tetapi, di balik
semua ejekan dan hinaan tadi tersembunyi danau-danau kemuliaan yang amat luas.
Fundamen dasar bangunan demokrasi masyarakat manapun, dibangun di atas jutaan
bahu manusia-manusia yang kalah. "Tidak ada satupun bangsa bisa membuat dirinya
jadi demokratis tanpa fundamen terakhir. Dengan kata lain, keindahan demokrasi
- kalau mau jujur - lebih banyak ditentukan oleh pihak yang kalah. Keindahan
tadi berubah menjadi kemuliaan, karena sudah disebut kalah plus seluruh makian
orang banyak, tetapi malah lebih menentukan nasib orang banyak.
Anda bisa bayangkan
nasib Jepang yang berganti Perdana Menteri demikian sering, nasib Amerika yang
telah berganti presiden puluhan kali, serta nasib bangsa-bangsa lain yang sudah
berganti pemimpin demikian sering. "Tanpa kebesaran jiwa pihak yang kalah,
setiap pergantian pemimpin akan ditandai oleh kemunduran akibat
kerusuhan-kerusuhan yang tidak perlu.
Ini dari segi pihak
yang kalah. Dari segi pemenang, menang memang menghadirkan banyak kemewahan-kemewahan. "Kekaguman, tepuk tangan, jumlah pengikut yang bertambah, sampai dengan
kekuasaan yang menyilaukan. Semua ini memang buah hasil dari perjuangan panjang
dan melelahkan. Bagi banyak pemenang, ini memang hadiah yang layak diterima. "Hanya saja, sadar bahwa bangunan institusi demokrasi di manapun senantiasa
dibangun di atas jutaan bahu-bahu manusia kalah, selayaknya pemenang sadar di
atas bangunan apa mereka berdiri.
Dalam bangunan fisik
yang sebenarnya, fundamennya adalah bata, pasir, semen dan barang-barang mati
lainnya. "Bangunan demokrasi berdiri di atas bahu-bahu manusia kalah yang hidup,
dinamis, mengenal emosi dan kalkulasi-kalkulasi politik. Makanya, sungguh
mengagumkan bagi saya, ketika "George W. Bush" memulai pidato pertamanya sebagai
presiden AS dengan kalimat indah seperti ini : 'I was not elected as President
to serve one party, but to serve one nation'.
Lepas dari
keindahan-keindahan demokrasi negara lain, suka tidak suka kita sedang
berhadapan dengan arena politik yang jauh dari indah. Entah mana yang benar,
seorang sahabat menyebut kalau orang kalah yang tidak tahu dirilah yang menjadi
biang dari kondisi kita. "Ada juga yang berargumen, pemenang yang sombong dan
angkuhlah yang menjadi awal semuanya. Dan bagi saya, semuanya sudah tercampur menjadi
adonan-adonan kerusuhan yang mengerikan dan menakutkan.
Sebagaimana sulitnya
memisahkan campuran bubur ayam yang sudah demikian menyatu, memisahkan kedua
campuran adonan kerusuhan ini memang amat sulit - kalau tidak mau disebut
niscaya. Apapun solusinya, kita semua memiliki kepentingan untuk mendidik
generasi masa depan bahwa tidak hanya kemenangan yang menghasilkan keindahan,
kalah juga bisa berakhir indah.
Kemenangan memang menghasilkan banyak
kegembiraan dan kebanggaan. Namun kekalahan adalah gurunya kesabaran, kearifan
dan kebijaksanaan yang tidak ada tandingannya. Sesuatu yang tidak bisa
diberikan oleh kemenangan manapun.
Dan yang paling penting, siapa saja yang
kalah, kemudian bisa keluar dari ring pertandingan dengan tersenyum ikhlas dan
menyalami pemenangnya, plus membantu pemenang dalam kenyataan sehari-hari demi
kemajuan bersama, merekalah pemimpin kita yang sebenarnya. Kendati tanpa
jabatan, pasukan, kekuasaan, tahta, pujian dan tepuk tangan orang lain,
merekalah the true leaders. Punyakah kita the true leaders seperti itu ?.....
"Selingkuh
Tiada Akhir"
Karena sudah lama
mencintai kegiatan tertawa, ada saja teman yang bersedia membagi cerita ke
saya. Alkisah, ada seorang wanita yang amat setia pada suaminya. "Tidak pernah
sekalipun, ia melakukan kegiatan perselingkuhan. Oleh karena itu, bisa
dimaklumi kalau ketika meninggal ia masuk surga. Dan yang paling penting, ia
berangkat ke surga dengan mengemudikan mobil mewah Jaguar.
Tetangga wanita tadi
lain lagi. Ketika ditanya oleh petugas pintu surga dan neraka, apakah ia pernah
selingkuh atau tidak, dengan jujur ia menjawab, hanya pernah selingkuh sepuluh
kali. Menyadari, bahwa angka sepuluh terakhir masih di bawah rata-rata, maka
tetangga inipun bisa masuk surga.
"Bedanya, ia pergi ke surga hanya dengan
menaiki Toyota Kijang. Alangkah terkejutnya pengemudi Kijang terakhir, ketika
menemui wanita tetangganya yang naik Jaguar tadi, berhenti di tengah jalan
sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa kali ditanya, tetap saja tidak bisa
menjawab karena hisak tangisnya yang tidak berhenti-berhenti.
Ketika semua air
matanya habis, sambil menyesal ia bertutur : 'bukannya saya tidak mensyukuri
naik "Jaguar", namun ketika menoleh ke jalan bawah sana, dengan terang kelihatan
kalau suami saya sedang menuju ke sini hanya dengan mengendarai sepeda'.
Demokrasi sudah lama
memasuki wilayah tawa. Jadi, Anda bebas sebebas-bebasnya tertawa dengan cerita
ini. Hanya saja, setiap kali saya membaca dan mendengar kisah "republik" ini yang
demikian terpuruknya - lengkap dengan banknya yang terkena negative spread,
serta nilai rupiahnya yang tidak kunjung menggembirakan - saya teringat lagi
lelucon di atas.
Antara lelucon di atas
di satu sisi, dengan krisis ekonomi Indonesia di lain sisi, sepintas memang
tidak ada hubungannya. Atau kalau dicari hubungannya, hanya akan mencari-cari
saja. "Entah di dunia lelucon, atau di dunia ilmiah, sebenarnya keduanya
disatukan oleh sebuah benang merah : mau bepergian, membeli tiket pesawat, tapi
tidak tahu tujuannya mau ke mana.
Serupa dengan sang
suami yang naik sepeda ke surga, demikian juga nasib ekonomi dan perbankan di
negeri ini. Kesakitan, lelah, habis keringat dikuras oleh kegiatan-kegiatan
yang tidak jelas mau kemana. Coba lihat intervensi "BI" untuk memperkuat rupiah,
ia seperti menggarami laut.
Perhatikan saja kebijakan geregetan di sektor
perpajakan, ia lebih menyerupai kepanikan dibandingkan kejernihan. Cermati juga
cara sejumlah bank besar melakukan ekspansi, ia mirip dengan kegiatan menjaring
air kolam. Demikian juga penanganan banyak bank dalam memecahkan masalah
negative spread, politisi dalam mencari jalan keluar, atau juga perseteruan "MPR/DPR" dengan presiden dalam mencari jalan keluar.
Tidak jauh berbeda
dengan orang bepergian yang mesti mulai dengan tujuan, demikian juga dengan
pengelolaan perekonomian dan perbankan. Kebijakan dan strategi yang dibangun di
atas tujuan yang tidak jelas, hanya akan membawa kita pada kepanikan-kepanikan
baru. "Demikian banyak dan menumpuknya kepanikan, sampai-sampai banyak orang
tidak sadar lagi, kalau sedang menaiki pesawat yang terbang tinggi dengan
kecepatan yang tinggi juga, tapi tidak memiliki tujuan.
Sebagaimana kita semua
sudah tahu, seberapa cepatpun kita terbang, tidak akan pernah bisa sampai di
tujuan, kalau tujuannya tidak jelas dari awal hingga akhir. Ia hanya akan
membuat semua orang berputar lelah di wilayah yang tanpa arah.
Kadang ada sahabat yang
bertanya : kenapa setelah demikian banyak intelektual yang dihasilkan negeri
ini, toh kita semakin terpuruk dengan krisis-krisis berikutnya ?.... Entah bagaimana
pendapat Anda, bagi saya intelektualitas bukanlah segala-galanya. Ia hanyalah
salah satu sudut pandang, di tengah banyak sekali sudut pandang lainnya.
Tujuan dan kebenaran
lainnya, lebih mungkin didekati, kalau kita bersedia merangkum, merangkai dan
menggandengkan beragam pendekatan ini. "Seperti cermin yang sudah pecah, wajah
kita akan tampil utuh, kalau kegiatan merangkai terakhir bisa dilakukan.
Sayangnya, kegiatan
merangkai inilah yang sulit sekali dilakukan di negeri ini. Ekonom menuduh polititisi
sebagai biang keladi. Politisi mengatakan ekonom tidak becus dalam membangun
fundamen-fundamen ekonomi. "Dan seterusnya tanpa mengenal kata henti.
Seolah-olah, semua orang sedang 'berselingkuh' demikian asiknnya dengan
kebenaran dan profesi masing-masing. Maka jadilah negeri ini sebuah skandal
'selingkuh' terbesar.
Bagaimana tidak
terbesar, bila suami atau isteri yang berselingkuh, ia masih dihinggapi
perasaan bersalah dan berdosa. Ekonom, politisi dan pembela-pembela kebenaran
parsial lainnya, berselingkuh tanpa menyadari sedikitpun kekeliruannya.
Mungkin benar anggapan
semua orang, bahwa kita memang sekumpulan manusia yang amat 'setia' pada bangsa
dan negara. Dan salah seorang sahabat yang entah melawak entah frustrasi,
menyebut setia itu kepanjangannya adalah selingkuh tiada akhir. Dan bahkan
tulisan inipun sebenarnya bentuk lain dari selingkuh. Bagaimana tidak
selingkuh, kalau hanya bermodalkan selembar halaman majalah, namun mau
menyelesaika persoalan bangsa ?
"Menemukan
Kebaikan Di Mana-Mana"
Menemukan Kebaikan Di Mana-Mana |
Izinkan saya membagi
eksperimen saya dalam kehidupan. Hampir setiap minggu saya terbang. "Dan
sekretaris saya hafal betul, kalau sebelum melakukan confirm terhadap tiket, ia
harus menemukan tempat duduk agak di depan dan di lorong. Dulu, sering sekali
setiap check in di bandara, saya menginformasikan bahwa sekretaris saya sudah
book tempat duduk di depan dan lorong.
Dan sering kali juga tidak kebagian
tempat yang saya inginkan. Tidak jarang hati ini dibuat kesal. Sempat mengira
kekeliruan ada di sekretaris. Namun, belakangan pendekatan saya dalam melakukan
check in dirubah. "Tidak lagi menyebutkan bahwa sekretaris sudah book tempat
duduk, dengan ekspresi penuh senyuman saya katakan begini : 'saya akan senang
sekali kalau dapat tempat duduk di depan dan di lorong'. Sebagai hasilnya,
belum pernah sekalipun saya dikecewakan.
Apa yang mau
diilustrasikan cerita ini sebenarnya sederhana, kalau kita mau merubah
pendekatan kita pada orang lain, banyak orang dengan amat suka rela membagi
kebaikan dengan kita. "Modalnyapun tidak terlalu mahal : senyum, keyakinan bahwa
orang lain baik, dan memperlakukan mereka sebagaimana kita ingin diperlakukan
orang. Dan saya memetik banyak sekali manfaat dari cara ini. Bahkan orang yang
tadinya amat tidak bersahabatpun bisa berubah menjadi baik dengan pendekatan
ini.
Ada harga yang harus
dibayar tentunya. "Gengsi dan harga diri hanya sebagian saja dari kekuatan yang
mesti dikelola dalam hal ini. Belum lagi emosi, marah dan sejenisnya.
Seorang guru meditasi
pernah bertutur sebuah cara yang berhasil menurunkan gengsi saya secara amat
drastis. Di tempat Anda duduk sekarang ini, cobalah tutup mata sebentar. "Ajaklah sang fikiran melompat ke belakang seratus tahun, enam ratus dan bahkan
dua ribu tahun. Kemudian, lompatkan lagi fikiran ke seribu tahu ke depan.
Gambarkan secara jelas, kehidupan di tempat ini pada tahun-tahun tadi. Dalam
perjalanan waktu tadi, kemudian lihat diri Anda yang sedang duduk. Bukankah
diri ini tidak lebih dari sebutir pasir di tengah samudera ? Setetes air di
lautan yang amat luas ?... Pertanyaannya kemudian, layakkah membesar-besarkan diri
dengan gengsi dan harga diri di tengah-tengah kekerdilan macam ini ?
Lama sempat saya dibuat
merenung oleh latihan kecil ini. Sempat juga tidak percaya. Namun, dalam
pemahaman yang lebih dalam, dia banyak menyelamatkan diri ini dari perangkap
gengsi dan harga diri. Dulu, ada perasaan kurang enak kalau naik pesawat kelas
ekonomi. "Sekarang, ia bukan lagi menjadi halangan berarti. Dulu, ada kebutuhan
agar dikagumi orang lain setelah menulis. Sekarang, dia tidak lagi menjadi
syarat dan motivasi menulis. Dulu, ada perasaan tersinggung kalau ada
pertanyaan orang dalam seminar yang memojokkan. Sekarang, dia malah menjadi
sahabat kedewasaan dan kesabaran.
Setelah gengsi dan
harga diri, sarana berikutnya agar menemukan sebanyak mungkin kebaikan adalah
senyum. Inilah sarana murah namun amat meriah hasilnya. Baik mencakup materi
maupun non materi. "Pariwisata Bali, Singapore Airline hanyalah sebagian kecil
contoh, bagaimana senyum bisa menghasilkan sejumlah kedahsyatan. Di tingkatan
individu, senyum tidak saja merubah wajah seseorang menjadi lebih menarik,
tetapi juga menciptakan magnet yang bisa menarik kebaikan orang lain.
Saya punya seorang
rekan yang memiliki mimik muka selalu senyum. Lebih-lebih ditambah dengan
lesung pipit kecil di pipinya. "Didorong oleh keingintahuan akan dampak senyum,
saya bertanya tentang jumlah sahabat yang dia miliki. Ternyata dia memiliki
sahabat di mana-mana. Dalam banyak kejadian, dia bahkan dibantu banyak orang
secara amat suka rela.
Di Amerika sana ada
seorang tua yang berhasil merubah tidak sedikit anak amat nakal menjadi manusia
biasa dan sebagian lagi menjadi anak baik. Tidak sedikit anak-anak pembunuh
yang berhasil dirubahnya. Ketika ditanya rahasianya, dia mengatakan tidak punya
rahasia. "Kalaupun ada rahasia, rahasia tadi ditulis besar-besar di gerbang
depan rumahnya yang bertuliskan : there is no such thing as bad kids. Tidak ada
anak yang pada dasarnya nakal.
Nah inilah sarana
terakhir - setelah menundukkan gengsi dan menebar senyum - dalam usaha
menemukan kebaikan di mana-mana : .... meyakini bahwa orang lain itu baik. Kalau
pembunuh saja bisa dirubah dengan cara ini, apa lagi orang biasa.
Saya masih teringat
betul komentar rekan-rekan ketika saya dan isteri menikah di umur muda. Tidak
sedikit yang meramalkan kami akan cerai tiga bulan kemudian - terutama karena
saya memiliki banyak kekurangan. Sekarang, setelah puteri kami yang tertua
sebentar lagi berumur tujuh belas tahun, tidak jarang isteri saya menelpon dari
tempat yang amat jauh hanya untuk berucap singkat : dad I love you !..... Kalau
Anda tanya rahasianya, tentu saja semuanya sudah saya ungkapkan dalam tulisan
pendek ini.
"Jatuh Cinta
Setiap Hari"
Jatuh Cinta Setiap Hari |
Sekarang bayangkan
sebuah lingkungan kerja yang dihuni hanya oleh manusia-manusia yang
pekerjaannya hanya satu : jatuh cinta. Hari ini jatuh cinta pada pekerjaan.
Besoknya jatuh cinta pada diri sendiri. Lusa jatuh cinta pada istri. Tiga hari
kemudian jatuh cinta pada anak-anak di rumah. "Empat hari berikutnya jatuh cinta
pada orang tua. Lima hari terakhir jatuh cinta pada mertua. Singkat kata, lima
hari kerjanya diisi penuh oleh jadwal jatuh cinta. Siklus kerja mingguan penuh
dengan warna dan spirit hidup jatuh cinta.
Mari kita mulai dengan
jatuh cinta pada pekerjaan. Tidak banyak orang yang bisa hidup 'mewah' dengan
mengganti pekerjaan setiap kali tidak suka. Kalaupun ada orang pintar yang
mudah diterima di sana-sini, "pada suatu titik ada juga batas kebosanan dari
kegiatan pindah-pindah kerja. Salah seorang kutu loncat sahabat saya, bahkan
bertutur bosan bahwa yang namanya jadi pekerja di manapun cirinya hanya dari
itu ke itu saja. Belajar dari sini, bagi mereka yang mengira bahwa tempat kerja
di tempat lain lebih baik dibandingkan tempat sekarang, mungkin sudah saatnya
melakukan refleksi ulang.
Di tempat kerja manapun
ada masalah, tantangan, orang yang tidak cocok, konflik, dan deretan hal
sejenis. Bahkan setelah jadi pengusahapun, deretan hal tadi akan senantiasa
hadir. Kalau berkaitan dengan kenaikan gaji, promosi jabatan dan hal-hal
menyenangkan lainnya, kita tidak memerlukan "usaha untuk menerimanya dengan
ikhlas. Namun bekaitan dengan hal-hal negatif seperti tidak cocok dengan orang lain,
konflik, masalah, diperlukan banyak usaha agar kita bisa jatuh cinta pada
pekerjaan.
Jatuh cinta kedua yang
amat penting adalah jatuh cinta pada diri sendiri. Orang yang teramat sering
jatuh cinta pada dirinya - apa lagi senantiasa awas akan bahaya kesombongan -
sebenarnya sudah sampai pada titik lebih tinggi dari sekadar bahagia. Bahagia
masih dibayang-bayangi oleh kesedihan. Namun, pencinta diri sendiri secara
penuh, "tidak lagi dikejar bayangan kesedihan, atau mengejar bayangan
kebahagiaan. Bayangan itu sendiri sudah tidak ada dan menyatu dengan sang aku.
Bagi saya, tidak ada
orang yang lebih beruntung dari orang yang sudah sampai di titik ini. Di tempat
manapun, di waktu kapanpun, dan bersama siapapun, ia selalu bercumbu dengan
sang aku. Suka-duka, sedih-bahagia, siang-malam, rindu-benci, dan dikotomi
hidup sejenis, sudah musnah bersamaan dengan jatuh cinta dia pada sang aku.
Tidak ada penolakan terhadap sang aku, yang ada hanya penerimaan. Tidak ada
keterpaksaan, sikap ikhlas senantiasa mengalir dalam setiap moment. Tidak ada
pembandingan, yang ada hanya ketulusan untuk melihat bahwa saya ini adalah
saya. Nikmat sekali bukan ?"""" Lebih-lebih ongkos ke arah itu tidak terlalu mahal,
ia hanya memerlukan keikhlasan untuk menerima dan kemudian mencintai sang aku.
Itu saja.
Jatuh cinta berikutnya,
adalah jatuh cinta pada keluarga. Istri, anak, orang tua, mertua serta anggota
keluarga lainnya, adalah serangkaian manusia yang berkontribusi besar terhadap
bangunan hidup kita. Tanpa orang tua dan mertua, mungkin tidak ada kehidupan. "Tanpa istri/suami serta anak, rumah akan lebih menyerupai tempat kering, sepi
dan sunyi. Saya tidak tahu bagaimana kehidupan Anda, namun dalam kehidupan saya
tempat paling indah di dunia ini adalah rumah. Di mana orang-orang yang saya
cintai, orang-orang yang menerima diri saya secara utuh, tinggal dan menunggu
kedatangan saya setiap hari.
Memasuki pintu rumah,
terutama ketika baru pulang dari tugas luar kota, seperti memasuki gerbang
surga. Betapa mewahpun hotel tempat menginap, betapa bersihpun bandar udara
yang saya lalui, betapa cantikpun "wanita-wanita yang lewat di perjalanan,
tetapi tetap tidak bisa menggantikan posisi orang-orang rumah.
Saya bersukur sekali ke
Tuhan karena dikaruniai seorang wanita yang bisa membuat saya jatuh cinta
setiap hari. Dengan seluruh kesabarannya, kesediaannya untuk menerima,
kejujurannya, serta sejumlah kekurangan lainnya, ia berhasil menimbulkan hasrat
jatuh cinta setiap hari.
Sebagaimana sepasang
remaja yang lagi jatuh cinta, perasaan serupa juga sering mengunjungi saya
bersama karunia Tuhan tadi. "Modal yang bisa menimbulkan hasrat jatuh cinta tadi
sebenarnya tidak banyak. Perhatian, kesabaran dan kesediaan untuk menerima
seutuhnya hanyalah hal murah, sederhana dan dimiliki setiap orang yang bisa
menimbulkan hasrat orang lain untuk jatuh cinta pada diri kita.
Sebagaimana pernah
ditulis Deborah Waitley, to love another is to look at the good. (Mencintai
berarti melihat aspek baik dari orang lain). Atau mirip dengan apa yang pernah
ditulis Katherine He Burb, 'love has nothing to do with what you are expecting
to get - only with what you are expecting to give - which is everything'. "(Cinta berkaitan dengan apa yang kita berikan, dan di sinilah letak kebesaran
cinta)".
Kalau demikian,
bukankah tidak terlalu sulit membuat orang lain jatuh cinta pada diri kita
setiap hari ?......
"Perampok-Perampok
Kejernihan"
Perampok-Perampok Kejernihan |
Tadinya, saya fikir
hanya saya seorang diri yang menjaga jarak terhadap berita sehari-hari.
Ternyata, ada sejumlah orang yang bahkan menutup mata dan telinga terhadap
berita. "Disamping bosan, juga karena didominasi manusia-manusia omong kosong.
Dunia politik, demikian
sejumlah rekan yang sudah mulai muak dengan berita seperti skandal bank Bali,
hanyalah dunia omong kosong. Sementara investor dan pelaku ekonomi menunggu
kepastian ekonomi, eh pejabat "KPU" "(komite pemilihan umum)" malah berebut kursi
tidak selesai-selesai. Sementara Ambon, Aceh dan Timtim rusuh, "PHK" di
mana-mana, penyakit sosial seperti copet dan perampokan menjalar, eh mereka
yang di atas seperti tidak tahu penderitaan rakyat, malah cakar-cakaran.
Sebagai konsekwensinya,
menemukan kepala jernih - baik di swasta maupun di pemerintahan - saat ini
amatlah sulit. Saya bertemu dengan banyak sekali pengusaha yang mengaku pusing
tujuh keliling. "Pemimpin perusahaan yang tidak tahu harus mulai dari mana.
Manajer yang dirundung ketakutan di mana-mana. Ibarat air di kolam, semuanya
sudah demikian keruh. Tidak ada yang bisa dilihat secara utuh.
Di tengah-tengah
keadaan seperti ini, saya sering dan teramat sering ditanya : bagaimana bisa
tetap jernih dalam lingkungan yang super keruh ?.....
Huanchu Daoren dalam
Back To The Beginning, Reflection on the Tao, pernah menulis sebuah analogi
yang amat menarik. Fikiran yang marah, benci dan curiga mirip dengan angin
ribut dan hujan deras. "Fikiran gembira seperti bintang terang. Orang yang amat
keras dan kasar tidak jauh berbeda dengan matahari terik tanpa angin. Namun,
apapun yang terjadi, langit tetap jernih berwarna biru.
Berefleksi dari sini,
alangkah inovatifnya bila di zaman yang super keruh ini, ada orang yang
mengelola seperti langit. Jernih, bersih, dan bening. Atau bila ada konsep
manajemen yang bisa melengkapi manajer dengan kejernihan dan kebersihan
berfikir. "Setelah kaca mata dibuat tebal oleh tumpukan teori dan konsep
manajemen, ternyata belum ada satupun konsep manajemen yang secara sengaja
ditujukan untuk memfungsikan fikiran seperti langit. Sebagian malah ikut
memperkeruh penglihatan.
Lihat saja, deretan
konsep yang mengemuka ke tataran terkenal dan dikagumi. Semuanya, sekali lagi
semuanya, mudah sekali membuat fikiran out of date. Baik karena berhenti di
satu tataran belajar, maupun karena membangkitkan keyakinan berlebihan yang
mematikan penglihatan.
Kembali ke soal semula
tentang kejernihan berfikir seperti langit, proses penjernihan fikiran adalah
sebuah kegiatan yang tidak bisa digantikan dengan hanya hadir di sekolah. Atau
hobi menghafal teori pakar manajemen terkemuka.
Ia melibatkan proses
self management yang intensif di sini, di dalam diri. Ibarat sekolah, gurunya,
muridnya, perpustakaannya, laboratoriumnya, semuanya ada di dalam sang diri. "Hanya satu yang ditunggu oleh sekolah terakhir, segera mulai proses
penjernihan. Boleh saja Anda memiliki cara lain. Namun, penting sekali
mewaspadai dua jenis perampok yang selalu memperkosa kejernihan.
Perampok pertama, ia
datang dari luar melalui panca indera. Perampok kedua, ia bersembunyi di dalam
bersama emosi dan perasaan. "Mata dan telinga, sebagai contoh, adalah jendela
tempat perampok kejernihan memasuki rumah fikiran. Bila kita biarkan ia terbuka
secara tanpa disadari, maka perampok kejernihan secara amat leluasa menyakiti
dan mencuri kejernihan.
Nah, di era yang sudah
mendekati liar ini, hati-hatilah memasukkan informasi melalui mata dan telinga. "Tanpa kewapadaan yang memadai, kejernihan sudah dirampok, tapi mengaku diri
sebagai manusia paling jernih.
Perampok kedua lain
lagi. Ia tidak memerlukan jendela. Malah sudah ada berselimut rapi dengan sang
diri di dalam. Ia juga memerlukan kewaspadaan. Membiarkan emosi dan perasaan
tidak terkelola, hanya akan membuat kejernihan lari tunggang langgang entah
kemana.
Aktivitas sekolah "self" management sebagaimana disebutkan di atas, kurang lebih mengatur jendela panca
indera agar perampok kejernihan tidak masuk seenaknya, serta menjaga agar emosi
dan perasaan tidak menjadi penentu satu-satunya.
Siapa yang mengatur
semua ini ?.... Inilah rektor dari Universitas manajemen diri. Ia bernama sang aku.
Mirip apakah sang aku terakhir ?.... Dalam berfikir, ia seperti burung elang,
terbang tinggi seorang diri. Dalam bertindak, ia seperti seniman super antik.
Setiap kali membuat keputusan, ia bayangkan dirinya akan mati besok pagi.
Saya tidak tahu, adakah
Anda setuju dengan sekolah gombal buatan saya ini. Atau, Anda malah punya
sekolah sendiri yang lebih gombal lagi. Yang jelas, tulisan ini juga merampok. "Bagaimana tidak merampok, saya sendiri yang sudah lama tidak memperhatikan
televisi secara serius, membaca koran dan majalah seadanya, Anda baca tulisan
saya sampai habis.