SITI AMINAH BINTI WAHAB |
Keterangan mengenahi hal ini dapat disimak dalam hadits
Nabi sebagai beriut, "Dan selanjutnya Allah memindahkan aku dari tulang
sulbi yang baik ke dalam rahim yang suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang
sulbi itu bercabang menjadi dua. Aku berada dalam yang terbaik dari keduanya itu."
(hadits syarif)
Menurut Al Hamid Al-Hamidi dalam Baitun Nubuwwah-nya
mengatakan, makna umum dari hadits tersebut ialah bahwa dari silsilah pihak
ayah, Rasulullah saw berasal dari keturunan yang suci dan bersih dari perbuatan
tercela. Demikian pula dilihat dari silsilah ibunya, beliaupun berasal dari
keturunan yang tidak pernah ternoda kehormatannya.
Aminah binti Wahb lahir dari silsilah tua pasangan
suami istri bernama Wahb dan Barrah. Yang satu berasal dari Bani Abdu Manaf bin
Zuhrah bin Kilab dan yang lain berasal dari bani Abdul Manaf bin Quraisy bin
Kilab. Jadi, pada Kilab-lah akar silsilah ayah dan ibu Aminah binti Wahb.
Suami Aminah binti Wahb, Abdullah bin Abdul Muthalib,
seorang pria dari Quraisy yang berbudi luhur. Ayah Abdullah, Abdul Muthalib adalah
pria yang disegani. Bahkan kedudukannya sangat dihormati dan dicintai oleh
semua penduduk Makkah, baik yang berasal dari kabilah Quraisy maupun dari
kabilah lain.
Beberapa minggu setelah pernikahan Aminah dengan
Abdullah, pada suatu malam ia bermimpi ada cahaya yang menerangi dirinya.
Sungguh terangnya cahaya itu, hingga seolah-olah Aminah dapat melihat
istana-istana di Bushara dan di negeri Syam. Tidak berapa lama sesudah itu, ia
mendengar suara yang berkata. "Engkau telah hamil dan akan melahirkan seorang
termulia di kalangan ummat ini."
Dengan gembira Aminah menceritakan mimpinya itu kepada
suaminya. Betapa gembiranya Abdullah mendengar kabar tersebut. Akan tetapi rasa
gembira itu hanya berlangsung sejenak, yang disusul dengan kesedihan, karena ia
harus bergabung dengan kafilah dagang Quraisy. Tidak diketahui entah untuk
berapa lama perpisahan itu harus terjadi.
Bahkan ketika sebulan sudah berlalu Abdullah belum juga
pulang. Hari berganti hari dan minggu berganti bulan, Aminah tetap tinggal di
rumah, bahkan lebih sering di tempat tidur. Satu-satunya yang menghibur adalah
keluarga Abdul Muthalib yang bertutur kata manis dan meriangkan.
Sebagaimana lazimnya wanita yag mengandung, Aminah juga
mengidam. Namun keidaman yang dirasakannya itu tidak seberat yang dirasakan
wanita lain. Dengan kehamilannya itu Aminah makin merindukan suaminya yang
sedang bepergian jauh.
Pada suatu pagi, rombongan kafilah berjalan memasuki
kota Makkah. Betapa senangnya Aminah karena beberapa saat lagi ia akan bertemu
kembali dengan suami terkasihnya. Tapi hingga rombongan terakhir ia tidak
mendapati Abdullah. Setengah berputus ada, ia masuk ke dalam kamar dan
berbaring. Baru beberapa saat ia merebahkan diri, tiba-tiba ia mendengar suara
pintu diketuk orang. Adakah yang datang suaminya? Ia pun segera bangun membuka
pintu, ternyata yang datang bukan Abdullah, melainkan mertuanya, Abdul Muthalib
bin Hasyim, ditemani ayahnya sendiri, Wahb, dan beberapa orang dari bani
Hasyim. Dengan penuh perhatian Aminah mendengarkan kata-kata ayahnya.
"Aminah, tabahkan hatimu menghadapi soal-soal yang mencemaskan. Kafilah
yang kita nantikan kedatangannya telah tiba kembali di Makkah. Ketika kami
tanyakan kepada mereka tentang keberadaan suamimu, mereka memberitahu, bahwa
suamimu mendadak sakit dalam perjalanan pulang. Setelah sembuh ia akan segera
kembali dengan selamat..." hiburnya.
Dua bulan Aminah menunggu, diutuslah Al-Harits oleh
Abdul Muthalib untuk menyusul Abdullah ke Yatsrib (Madinah) yang sedang sakit.
Akan tetapi kedatangan Al-Harits dari Yatsrib (Madinah) disambut duka cita yang
mendalam setelah mengabarkan, bahwa Abdullah telah wafat, di tengah kaum
kerabatnya, Bani Makhzum.
Betapa hancur hati Aminah mendengar berita yang sangat
menyedihkan itu. Dua bulan ia menunggu kedatangan suaminya yang meninggalkan
rumah dalam keadaan pengantin baru, tetapi yang datang bukan Abdullah,
melainkan berita wafatnya.
Akan tetapi akhirnya Aminah menyadari setelah ia
memahami hikmah kejadian yang memilukan itu. Pada waktu masih jejaka, Abdullah
nyaris dikorbankan nyawanya untuk memenuhi nadzar ayahnya, Abdul Muthalib. Ia
selamat berkat perubahan sikap ayahnya yang bersedia menebus nadzarnya dengan
menyembelih seratus ekor unta. Tampaknya Allah memberi kesempatan hidup
sementara kepada Abdullah hingga ia meninggalkan janin dalam kandungan
istrinya.
Beberapa minggu menjelang kelahiran Muhammad, kota
Makkah akan diserbu oleh Abrahah, penguasa dari Yaman yang akan menghancurkan
Ka'bah. Akan tetapi sebagaimana diketahui, sebelum niatnya terwujud, Abrahah
beserta beserta seluruh bala tentaranya dihancurkan oleh Allah swt.
Aminah melahirkan puteranya menjelang fajar hari Senin
bulan Rabi'ul Awwal tahun Gajah. Saat itu ia berada seorang diri di dalam
rumah, hanya ditemani seorang pembantunya, Barakah Ummu Aiman. Karena kondisi
kesehatnnya yang memburuk, Aminah tidak dapat mengeluarkan air susu. Penyusuan
bayi yang oleh kakeknya diberi nama Muhammad diserahkan kepada Tsuaibah
Al-Aslamiyah. Selanjutnya penyusuan berpindah kepada Halimah as- Sa'diyah,
seorang wanita yang berasal dari Bani Sa'ad bin Bakr.
Setelah mencapai usia lima tahun Muhammad dikembalikan
kepada ibunya, Aminah. Pada kesempatan itu Aminah bermaksud mengajak buah
hatinya berziarah ke makam ayahnya, Abdullah. Akan tetapi sungguh malang, dalam
perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah, bunda Muhammad saw, ini wafat di
sebuah pedusunan bernama Abwa, terletak di antara Madinah dan Makkah. Selamat
jalan ibu dari manusia termulia Muhammad saw.