Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini :-
a. Iddah. Dihitung dengan terjadinya talak, bukan
dengan nifas. Sebab jika talak jatuh sebelum istri melahirkan, iddahnya akan
habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah
melahirkan, maka ia menunggu setelah haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.-
b. Masa ila’. Masa haid termasuk masa ila’ ,
sedangkan masa nifas tidak.
Ila’ yaitu
jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau
selama lebih dari empat bulan. Apabila ia bersumpah demikian dan si istri
menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat
bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut suami diharuskan menggauli istrinya,
atau menceraikan atas permintaan istri. Dalam masa ila’ selama empat bulan bila
si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap suami, dan ditambahkan atas
empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap
dihitung terhadap sang suami.-
c. Baligh.
Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita
tidak mungkin bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang wanita terjadi
dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.-
d. Darah haid jika berhenti lalu kembali keluar tetapi masih
dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya seorang
wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya
berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan,
maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.-
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh
hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan.
Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya
pada waktunya, dan terlarang baginya apa yang
terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia
harus mengqadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan,
yaitu hal-hal yang wajib diqadha wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur
menurut para fuqaha’ dari madzhab Hanbali.-
Pendapat yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai
nifas maka termasuk darah nifah. Jika tidak, maka ia darah haid. ; kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka
merupakan darah istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan
dalam kitab Al Mughni juz I, hal : 349, bahwa Imam Malik mengatakan :
“Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari; yakni sejak
berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti ia darah haid”.
Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.-
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam
masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing
orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al
Qur’an dan sunnah berisi penjelasan atas
segala sesuatu. Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf
dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat
diatasi dengan mengqadha’. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban
sesuai dengan kemampuannya, maka ia telah terbebas dari tanggungannya,
sebagaimana firman Allah :-
] لا يكلف الله نفسا إلا وسعها [
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”(QS. Al-Baqarah : 286)
] فاتقوا الله ما استطعتم [
“Maka bertaqwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”(QS.
At- taghabun : 16)
e. Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa
kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam
nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya,
menurut yang masyhur dalam madzhab hanbali.-
Tapi pendapat yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang
menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa hal itu
dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Utsman bin Abu
Al Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia
berkata : “ jangan kau dekati aku!”.-
Ucapan utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin
saja merupakan sikap hati-hati Utsman, yakni khawatir kalau istrinya belum suci
benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab
lainnya. -Wallahu a’lam.-